Saat ditanya Cepos, Senin (2/10), apakah ada kemungkinan pemerintah akan melakukan pembayaran uang permisi terhadap pemilik ulayat, sebagai syarat untuk membuka palang? Dengan tegas Frans Pekey menjawab, hal itu tidak akan dilakukan. Pemerintah Kota Jayapura akan mengambil kebijakan sesuai dengan aturan yang ada.
Diakuinya dalam proses pembangunan perkantoran kala itu, ada masyarakat adat dari suku Hamadi Machbi, lakukan komunikasi dengan pemerintah Kota Jayapura terkait tanah tersebut hingga berujung pada aksi pemalangan. Bahkan kata dia, aksi pemalangan ini sebenarnya sudah terjadi beberapa kali sejak pemerintahan Walikota Kambu dan Walikota Benhur Tomi Mano hingga terbaru Senin (2/10).
Aksi palang memalang fasilitas milik pemerintah yang dilakukan oleh oknum masyarakat adat, di kota Jayapura belakangan ini memang semakin marak. Jika sebelumnya menyasar Kantor Gubernur Papua, lembaga pendidikan fasilitas kesehatan hingga kantor BPBD Provinsi Papua, saat ini menyasar Kantor Walikota Jayapura.
Sekda Jayawijaya Thony M Mayor, SPd, MM menyabutkan pemetaan wilayah adat Klen Suku ini memang haru berjalan, namun dari keterangan tim yang telah turun ke lapangan masih ada 5 Distrik yang belum dilakukan pemetaan wilayah adat seperti Bolakme, Melagalome, Tagime, Tagineri dan Koragi
Kampung Skouw Yambe, salah satu kampung adat di Kota Jayapura yang letaknya berada di Distrik Muara Tami. Letak kampung ini cukup jauh dari pusat Kota Jayapura, kurang lebih butuh waktu sekitar 1 jam bahkan lebih, untuk bisa sampai ke kampung yang memiliki pantai berharap langsung dengan samudra pacific ini.
Mereka meminta dilakukan pencabutan SK Nomor 82 tahun 2021 yang dikeluarkan Dinas PMPTSP lantaran dianggap merugikan dan menyalahi. Putusan PTUN Jakarta telah menolak gugatan yang diajukan PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama atas surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menjadi dasar untuk meminta SK ini dicabut.
“Kami organisasi masyarakat adat Indonesia, Thailand, Philippines dan Nepal di fasilitasi oleh CI untuk berkonsultasi dan berdialog berbagi pengalaman dari negara masing tentang kendala serta tantangan mengakses pendanaan untuk mendukung masyarakat adat dalam menjaga, mengelola dan melestarikan hutan yang merupakan sumber kehidupannya,” ungkap Weyasu kepada Cenderawasih Pos via telepon selulernya, Rabu (16/9).
Wakil Ketua DPRD Biak Numfor, Adrianus Mambobo, S.Pd mengatakan, Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat sama dengan Perda tentang Kampung Adat, karena belum ada nomor registrasinya dari pemerintah daerah Biak Numfor untuk diundangkan.
Nurushafa Assauqiyah mengungkapkan rasa antusiasmenya bertemu langsung dengan Menteri Sandiaga Uno. Sebab selama ini bagi para finalis kebanyakan mereka hanya melihat dari televisi ataupun media massa lainnya. Momen ini adalah peluang emas untuk berinteraksi dan berdialog dengan tokoh sentral di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.