Saturday, April 27, 2024
30.7 C
Jayapura

Besok MK Putuskan Batas Usia Capres-Cawapres

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang putusan uji materi Undang-Undang Pemilu terkait batas usia minimum calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres), pada Senin (16/10) besok. Gugatan batas usia capres-cawapres tak dipungkiri menjadi sorotan publik.
Pakar hukum tata negara Fahri Bachmid menilai, secara prinsip hakikatnya MK tak berwenang untuk menetapkan norma batas umur usia capres-cawapres. Menurutnya, penentuan batas umur terkait persyaratan untuk mengisi jabatan-jabatan publik secara konstitusional merupakan domain pembentuk UU, yaknu DPR dan Presiden.
“Pranata itu harus melalui proses legislation, wetgeving, sehingga persoalan tersebut harus diletakan pada konteks statutory rules,” kata Fahri dalam keterangannya, Minggu (15/10).
Akdemisi Universitas Muslim Indonesia (UMI) ini menjelaskan, jika mengacu pada ketentuan Pasal 57 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah diubah dengan UU 7 Tahun 2020, serta Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam perkara pengujian undang-undang, ada beberapa kemungkinan serta varian putusan MK dalam perkara tersebut.
Ia menyebut, MK bisa sajar berpandangan bahwa pengujian materiil itu tidak memenuhi ketentuan syarat formil pengajuan permohonan antara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 10, Pasal 11, dan/atau Pasal 12, amar putusan, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima. Kemungkinan berikutnya adalah dalam hal pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum, maka MK dalam amar putusan menyatakan, menolak permohonan pemohon.
Namun, kata Fahri, MK bisa saja mengabulkan permohonan pemohon sebagian atau seluruhnya. MK bisa saja berpendapat bahwa permohonan pengujian materiil inkonstitusional bersyarat, maka amar putusan adalah mengabulkan permohonan pemohon.
“Yang terahir, dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Jika kita mencermati perkembangan persidangan MK dalam mengadili perkara “a quo” selama ini, sangat potensial akan terjadi dua kemungkinan,” ucap Fahri.
Menurut Fahri, MK dalam putusannya bisa saja akan menurubkan batas usia capres-cawapres dari 40 menjadi 35 tahun. Kemungkinan kedua, tetap mempertahankan usia 40 tahun namun ditambahkan dengan suatu syarat khusus yaitu pernah menjabat atau menjadi kepala daerah dengan segala konsekuensi konstitusionalnya.
Namun, Fahri menyebut dengan melihat pengalaman putusan-putusan MK sebelumnya, termasuk pernah mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), permohonan diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam Nomor 112/PUU-XX/2022, amar putusan tersebut, MK menyatakan Pasal 29 huruf e UU KPK yang semula berbunyi, berusia paling rendah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan bertentangan dengan UUD 1945.
“Karena itu, MK mengubah berusia paling rendah 50 tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan. Dengan demikian, MK dapat membuat putusan dengan corak dan karakter yang demikian itu, sehingga batas usia 40 tahun eksistensi normanya tetap berlaku, tetapi ditambah keadaan hukum khusus agar dapat menjangkau subjek hukum tertentu,” pungkas Fahri.

Editor: Kuswandi

Baca Juga :  Jelang Pilkada, Banyak PR yang Dikerjakan Bawaslu

Sumber : Jawapos

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang putusan uji materi Undang-Undang Pemilu terkait batas usia minimum calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres), pada Senin (16/10) besok. Gugatan batas usia capres-cawapres tak dipungkiri menjadi sorotan publik.
Pakar hukum tata negara Fahri Bachmid menilai, secara prinsip hakikatnya MK tak berwenang untuk menetapkan norma batas umur usia capres-cawapres. Menurutnya, penentuan batas umur terkait persyaratan untuk mengisi jabatan-jabatan publik secara konstitusional merupakan domain pembentuk UU, yaknu DPR dan Presiden.
“Pranata itu harus melalui proses legislation, wetgeving, sehingga persoalan tersebut harus diletakan pada konteks statutory rules,” kata Fahri dalam keterangannya, Minggu (15/10).
Akdemisi Universitas Muslim Indonesia (UMI) ini menjelaskan, jika mengacu pada ketentuan Pasal 57 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah diubah dengan UU 7 Tahun 2020, serta Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam perkara pengujian undang-undang, ada beberapa kemungkinan serta varian putusan MK dalam perkara tersebut.
Ia menyebut, MK bisa sajar berpandangan bahwa pengujian materiil itu tidak memenuhi ketentuan syarat formil pengajuan permohonan antara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 10, Pasal 11, dan/atau Pasal 12, amar putusan, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima. Kemungkinan berikutnya adalah dalam hal pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum, maka MK dalam amar putusan menyatakan, menolak permohonan pemohon.
Namun, kata Fahri, MK bisa saja mengabulkan permohonan pemohon sebagian atau seluruhnya. MK bisa saja berpendapat bahwa permohonan pengujian materiil inkonstitusional bersyarat, maka amar putusan adalah mengabulkan permohonan pemohon.
“Yang terahir, dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Jika kita mencermati perkembangan persidangan MK dalam mengadili perkara “a quo” selama ini, sangat potensial akan terjadi dua kemungkinan,” ucap Fahri.
Menurut Fahri, MK dalam putusannya bisa saja akan menurubkan batas usia capres-cawapres dari 40 menjadi 35 tahun. Kemungkinan kedua, tetap mempertahankan usia 40 tahun namun ditambahkan dengan suatu syarat khusus yaitu pernah menjabat atau menjadi kepala daerah dengan segala konsekuensi konstitusionalnya.
Namun, Fahri menyebut dengan melihat pengalaman putusan-putusan MK sebelumnya, termasuk pernah mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), permohonan diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam Nomor 112/PUU-XX/2022, amar putusan tersebut, MK menyatakan Pasal 29 huruf e UU KPK yang semula berbunyi, berusia paling rendah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan bertentangan dengan UUD 1945.
“Karena itu, MK mengubah berusia paling rendah 50 tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan. Dengan demikian, MK dapat membuat putusan dengan corak dan karakter yang demikian itu, sehingga batas usia 40 tahun eksistensi normanya tetap berlaku, tetapi ditambah keadaan hukum khusus agar dapat menjangkau subjek hukum tertentu,” pungkas Fahri.

Editor: Kuswandi

Baca Juga :  Ajak Umat Tidak Boleh  Golput

Sumber : Jawapos

Berita Terbaru

Artikel Lainnya