Monday, April 29, 2024
25.7 C
Jayapura

Masyarakat Sipil jadi Korban Terbanyak Konflik Bersenjata

Belasan kali Persiden Jokowi Datang ke Papua, namun Tak Berikan Perubahan Signifikan Penegakan HAM

JAYAPURA – Pada momen peringatan Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia, Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) membeberkan aksi kekerasan dan konflik bersenjata yang terjadi di tanah Papua, sepanjang tahun 2023. Sejak Januari hingga November.

  ALDP mencatat setidaknya ada 56 aksi kekerasan dan konflik bersenjata yang mengorbankan masyarakat sipil, aparat TNI-Polri dan Kelompok bersenjata TPNPB, memakan korban sebanyak 81 jiwa, dari jumlah itu terbesar dari masyarakat sipil yang berjumlah 44 orang, sementara dari TNI sebanyak 22 orang.

Dari 56 kasus tersebut, 12 diantaranya disertai dengan peristiwa pengerusakan sejumlah fasilitas publik, termasuk pesawat terbang, sekolah, bandara, kios dan kantor pemerintah.

Divisi Keadilan dan Hukum ALDP Latifah Alhamid menyebut, pada kasus tersebut, jumlah pengungsi makin bertambah secara signifikan, berasal dari masyarakat sipil OAP dan juga non-OAP. Mobilisasi pengungsi OAP yang jumlahnya sangat besar, tidak mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius dari pemerintah.

Baca Juga :  Kasus Covid Masih Bertambah, Warga Harus Pahami Pembatasan Aktivitas

“Adapun data korban meninggal dunia diantaranya masyarakat sipil berjumlah 44 orang, TNI sebanyak 22 orang, Polri 5 orang, TPNPB sebanyak 10 orang. Sementara data korban luka luka terdiri dari masyarakat sipil sebanyak 37 orang, TNI 4 orang, Polri 22 orang dan TPNPB 5 orang,” terang Latifah bersama Antoni Ibra sebagai Demokrasi dan Kepemiluan ALDP dalam rilis yang diterima  Cenderawasih Pos, Minggu (10/12).

Menurut Latifah, meluasnya korban dari masyarakat sipil dikarenakan ruang gerak dan ruang perang diantara para pihak yakni TNI-Polri dan TPNPB cenderung dilakukan di ruang publik, tempat masyarakat sipil hidup, tinggal dan beraktifitas sehari hari.

“Padahal di tempat tempat terpencil seperti itu pada situasi yang tanpa perang sekalipun, mereka bagian dari kelompok yang tidak berdaya karena keterbatasan akses dan fasilitas untuk pemenuhan hak hak dasar,” terangnya.

Baca Juga :  Berburu Tiket AFC

Selain itu, peristiwa penyiksaan (torture) dan pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing), stigma dan intimidasi yang sangat memilukan terhadap masyarakat biasa terjadi di banyak peristiwa antara lain perisitiwa penyiksaan dan pembunuhan pada peristiwa Sinakma 23 Pebruari 2023, kematian dua ibu di Dekai pada 11 Oktober 2023, penyerangan terhadap para penambang illegal di Seradala, Kabupaten Yahukimo pada 16 Oktober 2023 atau pekerja bangunan Puskesmas di Kepala Air Kab Puncak tanggal 19 Oktober 2023.

Menurut Latifah, rangkaian tragedi kemanusiaan ini mengoyak ngoyak akal sehat dan hati nurani kita. Meskipun pemerintah telah berulang kali menyampaikan strategi pendekatan keamanan dengan menggunakan bahasa atau istilah yang berbeda-beda, namun pada praktiknya masyarakat masih menjadi sasaran intimidasi dan represi secara berulang.

Belasan kali Persiden Jokowi Datang ke Papua, namun Tak Berikan Perubahan Signifikan Penegakan HAM

JAYAPURA – Pada momen peringatan Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia, Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) membeberkan aksi kekerasan dan konflik bersenjata yang terjadi di tanah Papua, sepanjang tahun 2023. Sejak Januari hingga November.

  ALDP mencatat setidaknya ada 56 aksi kekerasan dan konflik bersenjata yang mengorbankan masyarakat sipil, aparat TNI-Polri dan Kelompok bersenjata TPNPB, memakan korban sebanyak 81 jiwa, dari jumlah itu terbesar dari masyarakat sipil yang berjumlah 44 orang, sementara dari TNI sebanyak 22 orang.

Dari 56 kasus tersebut, 12 diantaranya disertai dengan peristiwa pengerusakan sejumlah fasilitas publik, termasuk pesawat terbang, sekolah, bandara, kios dan kantor pemerintah.

Divisi Keadilan dan Hukum ALDP Latifah Alhamid menyebut, pada kasus tersebut, jumlah pengungsi makin bertambah secara signifikan, berasal dari masyarakat sipil OAP dan juga non-OAP. Mobilisasi pengungsi OAP yang jumlahnya sangat besar, tidak mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius dari pemerintah.

Baca Juga :  LBH Papua Diteror?

“Adapun data korban meninggal dunia diantaranya masyarakat sipil berjumlah 44 orang, TNI sebanyak 22 orang, Polri 5 orang, TPNPB sebanyak 10 orang. Sementara data korban luka luka terdiri dari masyarakat sipil sebanyak 37 orang, TNI 4 orang, Polri 22 orang dan TPNPB 5 orang,” terang Latifah bersama Antoni Ibra sebagai Demokrasi dan Kepemiluan ALDP dalam rilis yang diterima  Cenderawasih Pos, Minggu (10/12).

Menurut Latifah, meluasnya korban dari masyarakat sipil dikarenakan ruang gerak dan ruang perang diantara para pihak yakni TNI-Polri dan TPNPB cenderung dilakukan di ruang publik, tempat masyarakat sipil hidup, tinggal dan beraktifitas sehari hari.

“Padahal di tempat tempat terpencil seperti itu pada situasi yang tanpa perang sekalipun, mereka bagian dari kelompok yang tidak berdaya karena keterbatasan akses dan fasilitas untuk pemenuhan hak hak dasar,” terangnya.

Baca Juga :  Silaturahmi dengan Warga, BTM Minta Jaga Kamtibmas dan Toleransi

Selain itu, peristiwa penyiksaan (torture) dan pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing), stigma dan intimidasi yang sangat memilukan terhadap masyarakat biasa terjadi di banyak peristiwa antara lain perisitiwa penyiksaan dan pembunuhan pada peristiwa Sinakma 23 Pebruari 2023, kematian dua ibu di Dekai pada 11 Oktober 2023, penyerangan terhadap para penambang illegal di Seradala, Kabupaten Yahukimo pada 16 Oktober 2023 atau pekerja bangunan Puskesmas di Kepala Air Kab Puncak tanggal 19 Oktober 2023.

Menurut Latifah, rangkaian tragedi kemanusiaan ini mengoyak ngoyak akal sehat dan hati nurani kita. Meskipun pemerintah telah berulang kali menyampaikan strategi pendekatan keamanan dengan menggunakan bahasa atau istilah yang berbeda-beda, namun pada praktiknya masyarakat masih menjadi sasaran intimidasi dan represi secara berulang.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya