Friday, March 29, 2024
26.7 C
Jayapura

Bukan Hanya Orang Yang Dikerangkeng, Satwa Dilindungi Juga

Bupati Langkat dan Kerangkengnya: Kenapa Mereka Rela Sanak Keluarga Dipenjara di Tempat Ilegal? (2-Habis)

Kontras menilai, mengerangkeng orang tanpa mekanisme yang berlaku itu sudah jelas merampas kemerdekaan. Ditemukan berbagai jenis obat dan vitamin di salah satu ruang kerangkeng di belakang rumah bupati (nonaktif) Langkat.

AGUS DWI PRASETYO, Langkat

DALAM secarik kertas itu tertulis sejumlah nama. Lengkap dengan keterangan usia dan alamat. Di atas deretan nama yang ditulis dengan tinta merah tersebut, terdapat keterangan Kereng 2.

Sementara, secarik kertas yang lain tertulis keterangan nama dan tanggal masuk. Paling baru, 19 September 2021. Atau, empat bulan lalu. Dengan keterangan nomor urut 433.

Lembaran kertas itu berada di salah satu jeruji besi di belakang rumah Bupati (nonaktif) Langkat Terbit Rencana Perangin Angin. Dari keterangan yang tertulis tersebut, diduga kertas itu merupakan bagian dari buku catatan penghuni kerangkeng milik sang bupati yang akrab disapa Cana tersebut.

Selain catatan itu, ada juga beberapa obat yang tersimpan di dalam kotak styrofoam, di atas rak kayu yang tergantung di dinding kamar tersebut. Di antaranya, chloramphenicol (obat antibiotik). Juga flutamol (obat flu), ambroxol (obat pengencer dahak), dextrofen (obat peringan batuk), hingga Bio ATP (multivitamin pemulih stamina).

”Itu (obat dan multivitamin, Red) bisa jadi petunjuk bagaimana kondisi kesehatan penghuni di sana,” kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sumut Amin Multazam Lubis.

Amin menyatakan, temuan obat dan multivitamin itu kontradiktif dengan opini warga sekitar tentang kerangkeng pribadi tersebut. Sebab, keberadaan obat itu identik dengan penyakit.

Sementara, multivitamin menandakan bahwa penghuni mengalami kelelahan fisik. ”Sedangkan masyarakat di sana mengatakan penghuni nyaman berada di kerangkeng,” ujarnya.

Sebelumnya, masyarakat Desa Raja Tengah dan sanak keluarga penghuni kerangkeng kompak menyebut kamar jeruji besi tersebut sebagai pusat pemulihan pengguna narkoba yang manusiawi. Mereka juga menyebut para penghuni diperlakukan sangat baik sehingga betah dan rela berada dalam kurungan selama berbulan-bulan. Bahkan bertahun-tahun.

Baca Juga :  Harus Makin Maju dan Bersih, Warganya Beriman, Kamtibmas Terjaga

Amin menyampaikan, opini positif masyarakat tentang kerangkeng manusia yang berkembang selama ini tentu tidak bisa jadi patokan. Meski, sebagian besar di antara mereka adalah pihak yang ”paling dekat” dengan lokasi tempat tahanan itu. ”Kami bukan menyalahkan masyarakat karena bagaimanapun yang disampaikan masyarakat memang bisa jadi petunjuk,” jelasnya.

Dua kamar berjeruji besi di belakang rumah pribadi Cana memang betul-betul mirip ruang tahanan. Sebagaimana kamar-kamar penjara yang lazim dijumpai di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan). Dari situ, kata Amin, Cana sudah bisa dianggap melakukan pelanggaran. ”Mengerangkeng orang tanpa mekanisme yang berlaku itu sudah jelas merampas kemerdekaan.”

Sebagaimana prosedur hukum yang berlaku, penahanan hanya bisa dilakukan atas perintah pengadilan atau keputusan hukum yang sah. Sementara, yang terjadi di kerangkeng Cana berseberangan dengan prosedur tersebut. Dari keterangan masyarakat setempat, mayoritas penghuni kereng –sebutan warga sekitar untuk kerangkeng– sengaja dititipkan sanak keluarga mereka.

Dari kacamata Kontras, ada banyak persoalan serius di balik praktik pengerangkengan manusia ilegal itu. Pertama, tentu saja berkaitan dengan pelanggaran pidana. Amin menyebut Cana telah melampaui kewenangannya karena mengerangkeng orang-orang secara sengaja tanpa prosedur hukum yang jelas.

”Kami melihat ada peran BNN (Badan Narkotika Nasional) yang diambil Bupati (Cana). Peran kepolisian menghukum remaja nakal juga diambil (oleh Cana),” tegas pria 31 tahun tersebut.

Sudut pandang Kontras sejatinya sederhana melihat fenomena kerangkeng manusia tersebut. Yakni, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), tepatnya merampas kemerdekaan manusia dengan mengerangkeng.

”Terlepas warga mendukung (kerangkeng) atau tidak, semestinya pihak terkait jeli melihat konteks hak manusia untuk merdeka,” terang Amin.

Sebagai pihak berwenang, Komnas HAM berperan penting mengusut peristiwa tersebut. Amin meminta Komnas HAM dengan kewenangannya menginvestigasi dugaan pelanggaran HAM bekerja secara profesional. Tidak sekadar terpaku pada keterangan masyarakat yang mendukung kerangkeng manusia berkedok rehabilitasi tersebut.

Baca Juga :  Peringatan Hari Anak Sedunia, Ini Sejarah Alasan Ditetapkan Setiap 20 November

Bukan hanya soal kerangkeng manusia, Amin juga menyoroti temuan satwa liar dilindungi di rumah Cana. Menurut Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut, ada beberapa satwa liar yang ditemukan dari rumah Cana. Yaitu, seekor orang utan, seekor monyet hitam sulawesi, seekor elang brontok, dua ekor burung jalak bali, dan dua ekor burung beo.

Semua satwa itu merupakan jenis satwa yang dilindungi menurut UU 5/1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya juncto Peraturan Pemerintah 7/1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar juncto Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

Dalam ketentuan tersebut, setiap orang dilarang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. Ancaman hukumannya adalah pidana maksimal lima tahun penjara dan denda maksimal Rp 100 juta.

Sementara itu, Komisioner Komnas HAM M. Choirul Anam sudah mengantongi informasi terkait dengan penghuni yang menderita penyakit. Salah satunya, asam lambung.

Anam menyebut, pihaknya terus mengumpulkan semua informasi dan keterangan di lapangan. ”Kami meminta masyarakat mau bekerja sama dengan Komnas HAM,” tuturnya.

Di sisi lain, Jawa Pos berupaya menemui Ketua DPRD Langkat Sribana Perangin Angin, yang juga merupakan adik Terbit Rencana Perangin Angin, untuk membahas polemik kerangkeng manusia itu. Hanya, Sribana tidak berada di kantornya. Saat dihubungi melalui ajudannya, Sribana juga tidak berkenan ditemui.

Sementara itu, salah seorang alumnus kereng, Edy Syahputra Sitepu, menyatakan bahwa kerangkeng manusia tersebut tidak memaksa penghuninya untuk bekerja keras. Sebaliknya, dia merasa nyaman tinggal di kerangkeng. ”Rasanya enak macam di rumah, pakai karpet,” ucap warga Kuta Parit, Kecamatan Selesai, Langkat, yang masuk kerangkeng pada 2018 tersebut. (*/c14/ttg/JPG)

Bupati Langkat dan Kerangkengnya: Kenapa Mereka Rela Sanak Keluarga Dipenjara di Tempat Ilegal? (2-Habis)

Kontras menilai, mengerangkeng orang tanpa mekanisme yang berlaku itu sudah jelas merampas kemerdekaan. Ditemukan berbagai jenis obat dan vitamin di salah satu ruang kerangkeng di belakang rumah bupati (nonaktif) Langkat.

AGUS DWI PRASETYO, Langkat

DALAM secarik kertas itu tertulis sejumlah nama. Lengkap dengan keterangan usia dan alamat. Di atas deretan nama yang ditulis dengan tinta merah tersebut, terdapat keterangan Kereng 2.

Sementara, secarik kertas yang lain tertulis keterangan nama dan tanggal masuk. Paling baru, 19 September 2021. Atau, empat bulan lalu. Dengan keterangan nomor urut 433.

Lembaran kertas itu berada di salah satu jeruji besi di belakang rumah Bupati (nonaktif) Langkat Terbit Rencana Perangin Angin. Dari keterangan yang tertulis tersebut, diduga kertas itu merupakan bagian dari buku catatan penghuni kerangkeng milik sang bupati yang akrab disapa Cana tersebut.

Selain catatan itu, ada juga beberapa obat yang tersimpan di dalam kotak styrofoam, di atas rak kayu yang tergantung di dinding kamar tersebut. Di antaranya, chloramphenicol (obat antibiotik). Juga flutamol (obat flu), ambroxol (obat pengencer dahak), dextrofen (obat peringan batuk), hingga Bio ATP (multivitamin pemulih stamina).

”Itu (obat dan multivitamin, Red) bisa jadi petunjuk bagaimana kondisi kesehatan penghuni di sana,” kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sumut Amin Multazam Lubis.

Amin menyatakan, temuan obat dan multivitamin itu kontradiktif dengan opini warga sekitar tentang kerangkeng pribadi tersebut. Sebab, keberadaan obat itu identik dengan penyakit.

Sementara, multivitamin menandakan bahwa penghuni mengalami kelelahan fisik. ”Sedangkan masyarakat di sana mengatakan penghuni nyaman berada di kerangkeng,” ujarnya.

Sebelumnya, masyarakat Desa Raja Tengah dan sanak keluarga penghuni kerangkeng kompak menyebut kamar jeruji besi tersebut sebagai pusat pemulihan pengguna narkoba yang manusiawi. Mereka juga menyebut para penghuni diperlakukan sangat baik sehingga betah dan rela berada dalam kurungan selama berbulan-bulan. Bahkan bertahun-tahun.

Baca Juga :  Peringatan Hari Anak Sedunia, Ini Sejarah Alasan Ditetapkan Setiap 20 November

Amin menyampaikan, opini positif masyarakat tentang kerangkeng manusia yang berkembang selama ini tentu tidak bisa jadi patokan. Meski, sebagian besar di antara mereka adalah pihak yang ”paling dekat” dengan lokasi tempat tahanan itu. ”Kami bukan menyalahkan masyarakat karena bagaimanapun yang disampaikan masyarakat memang bisa jadi petunjuk,” jelasnya.

Dua kamar berjeruji besi di belakang rumah pribadi Cana memang betul-betul mirip ruang tahanan. Sebagaimana kamar-kamar penjara yang lazim dijumpai di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan). Dari situ, kata Amin, Cana sudah bisa dianggap melakukan pelanggaran. ”Mengerangkeng orang tanpa mekanisme yang berlaku itu sudah jelas merampas kemerdekaan.”

Sebagaimana prosedur hukum yang berlaku, penahanan hanya bisa dilakukan atas perintah pengadilan atau keputusan hukum yang sah. Sementara, yang terjadi di kerangkeng Cana berseberangan dengan prosedur tersebut. Dari keterangan masyarakat setempat, mayoritas penghuni kereng –sebutan warga sekitar untuk kerangkeng– sengaja dititipkan sanak keluarga mereka.

Dari kacamata Kontras, ada banyak persoalan serius di balik praktik pengerangkengan manusia ilegal itu. Pertama, tentu saja berkaitan dengan pelanggaran pidana. Amin menyebut Cana telah melampaui kewenangannya karena mengerangkeng orang-orang secara sengaja tanpa prosedur hukum yang jelas.

”Kami melihat ada peran BNN (Badan Narkotika Nasional) yang diambil Bupati (Cana). Peran kepolisian menghukum remaja nakal juga diambil (oleh Cana),” tegas pria 31 tahun tersebut.

Sudut pandang Kontras sejatinya sederhana melihat fenomena kerangkeng manusia tersebut. Yakni, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), tepatnya merampas kemerdekaan manusia dengan mengerangkeng.

”Terlepas warga mendukung (kerangkeng) atau tidak, semestinya pihak terkait jeli melihat konteks hak manusia untuk merdeka,” terang Amin.

Sebagai pihak berwenang, Komnas HAM berperan penting mengusut peristiwa tersebut. Amin meminta Komnas HAM dengan kewenangannya menginvestigasi dugaan pelanggaran HAM bekerja secara profesional. Tidak sekadar terpaku pada keterangan masyarakat yang mendukung kerangkeng manusia berkedok rehabilitasi tersebut.

Baca Juga :  Anggota DPR Ajukan Hak Angket, Menkopolhukam: Silakan!

Bukan hanya soal kerangkeng manusia, Amin juga menyoroti temuan satwa liar dilindungi di rumah Cana. Menurut Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut, ada beberapa satwa liar yang ditemukan dari rumah Cana. Yaitu, seekor orang utan, seekor monyet hitam sulawesi, seekor elang brontok, dua ekor burung jalak bali, dan dua ekor burung beo.

Semua satwa itu merupakan jenis satwa yang dilindungi menurut UU 5/1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya juncto Peraturan Pemerintah 7/1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar juncto Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

Dalam ketentuan tersebut, setiap orang dilarang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. Ancaman hukumannya adalah pidana maksimal lima tahun penjara dan denda maksimal Rp 100 juta.

Sementara itu, Komisioner Komnas HAM M. Choirul Anam sudah mengantongi informasi terkait dengan penghuni yang menderita penyakit. Salah satunya, asam lambung.

Anam menyebut, pihaknya terus mengumpulkan semua informasi dan keterangan di lapangan. ”Kami meminta masyarakat mau bekerja sama dengan Komnas HAM,” tuturnya.

Di sisi lain, Jawa Pos berupaya menemui Ketua DPRD Langkat Sribana Perangin Angin, yang juga merupakan adik Terbit Rencana Perangin Angin, untuk membahas polemik kerangkeng manusia itu. Hanya, Sribana tidak berada di kantornya. Saat dihubungi melalui ajudannya, Sribana juga tidak berkenan ditemui.

Sementara itu, salah seorang alumnus kereng, Edy Syahputra Sitepu, menyatakan bahwa kerangkeng manusia tersebut tidak memaksa penghuninya untuk bekerja keras. Sebaliknya, dia merasa nyaman tinggal di kerangkeng. ”Rasanya enak macam di rumah, pakai karpet,” ucap warga Kuta Parit, Kecamatan Selesai, Langkat, yang masuk kerangkeng pada 2018 tersebut. (*/c14/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya