Mereka berdiri mematung, belum mampu menerima kenyataan bahwa sang ibu kini hanya tinggal nama pada sepotong kayu salib. “Mama… ma… ma…” tangis Yohan pecah memanggil-manggil ibunya. Air matanya mengalir deras, ia menyeka wajahnya dengan kaus biru yang dikenakannya. Di sampingnya, Ivon hanya terdiam sambil memegang salib bercat hitam itu. Sesekali ia menarik napas panjang, mencoba menahan tangis yang terus mendesak keluar.
Dari pekuburan yang sedikit terjal setinggi dua meter, terlihat rumah adat Kampung Hobong berdiri gagah. Tepat di sampingnya, rumah keluarga mertua Irene masih dipasangi tenda biru dan deretan kursi plastik dari upacara kedukaan yang baru selesai beberapa hari sebelumnya. Di depan rumah itu terdapat sebuah kios kecil. Itulah kios yang dikelola Irene semasa hidup. Kini pintu kios tertutup, lengang, dan sepi, seperti berhenti berdenyut bersama kepergian pemiliknya.
Beberapa tetangga masih terlihat keluar masuk halaman rumah, namun suasananya tak lagi seramai hari-hari biasa. Wajah-wajah mereka memancarkan ketidakpercayaan dan kesedihan mendalam. Bagi warga Hobong, Irene bukan hanya tetangga dia adalah saudara, sahabat, perempuan yang dikenal lembut, periang, dan selalu siap membantu siapa saja.
Kisah kepergiannya yang tragis menyentak seluruh kampung. Banyak warga masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang ibu yang tengah berjuang melahirkan bisa berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain tanpa mendapatkan pertolongan hingga akhirnya menghembuskan napas terakhir di dalam mobil ambulans.
Bagi Yohan dan Ivon, duka itu jauh lebih dalam dari sekadar kehilangan. Mereka kehilangan pusat kehangatan keluarga di usia yang masih sangat muda. Dalam waktu yang seharusnya dipenuhi kegembiraan menyambut Natal, keduanya justru harus berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa rumah mereka kini tak lagi memiliki suara seorang mama.
“Yohan belum siap, dia masih tanya terus mama kapan pulang,” kata seorang anggota keluarga pelan, menahan tangis.
Kepergian Irene juga memicu ketegangan baru dalam hubungan kedua keluarga. Rasa kecewa dan saling menyalahkan mulai muncul di tengah ketidakpastian mencari keadilan. Suami Irene, Neil Kastro Kabey berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi. Wajahnya terlihat letih. Sesekali ia menunduk, seperti menahan beban yang tak sanggup ia pikul sendiri.
“Dengan kelalaian medis, permasalahan baru muncul di keluarga kami,” ujarnya perlahan.