Sunday, December 22, 2024
34.7 C
Jayapura

Papua Butuh Keadilan, Dialog Atau Penegakan Hukum

  Novita menyebut di Papua antuasias politik ada yang kiri dan ada yang kanan dan sebagai perempuan jika melihat situasi politik saat ini dirinya sedikit kecewa, sebab penyebutan perempuan dari debat tersebut masih minim. Keberadaan perempuan masih dianggap sebelah mata. “Paslon satu 19 kali menyebut, paslon dua 11 kali dan paslon tiga 5 kali. Kami merasa perempuan tidak banyak diperhitungkan,” bebernya.Novita Opki

  “Pengabaian terhadap perempuan akhirnya mengakibatkan  banyak terjadi kekerasan fisik maupun kekerasan secara digital padalah perempuan bisa dibilang  sebagai harga diri suatu bangsa,” paparnya.

  Novita sedikit menyimpulkan bahwa para paslon jika dilihat dari visi misi lebih banyak membahas tentang investasi dan pembangunan infrastruktur.

  “Ketika kami berbicara kesetaraan gender maka kita harus keluar dari kelas-kelas yang dibatasi. Visi misi untuk satu isu penting sepatutnya bisa dimulai dengan isu kesetaraan gender,” tambahnya.

Baca Juga :  Dulu Kamar Kos, Kini Dipenuhi Foto Berbagai Hiasan Lokal

   Pandangan lain disampaikan Margaretha M. Yarisetouw dari Duta Damai Papua. Ia mengaku sempat kecewa pada salah satu paslon yang dianggap sempat terlibat skandal intoleran. “Kami Duta Damai Papua dibentuk untuk membangun kesadaran bagaimana bisa menyebar konten positif dan melawan konten negatif di media sosial. Kami berharap kaum minoritas juga dapat merasa nyaman berada di lingkungannya yang mayoritas, sehingga kami  berpegang bahwa silahkan  memilih asal jangan yang intoleransi,” bebernya.

  Pandangan lain disampaikan Kilitus Wetipo dari Swara Akar Papua. Ia lebih tertarik membahas soal visi misi paslon tentang perdamaian. Kilitus menyampaikan bahwa Papua memiliki trauma yang mendalam dari cerita masa lalu melihat visi misi tiga paslon diingatkan agar masyarakat Papua harus lebih jeli memberikan suara.

Baca Juga :  Pernah Juarai Turnamen dan Sosok Boaz Solosa Jadi Inspirasi Kembangkan Bakat

“Melihat debat sedari awal ketiganya juga membahas isu pertahanan, keamanan dan Papua masuk dalam isu Internasional. Persoalan ini sepatutnya lebih dikuasai paslon nomor 2  namun solusinya justru melakukan penegakan hukum dan mengirim pasukan untuk perdamaian,” ungkapnya.

Kilitus menyampaikan paslon nomor 2 menjelaskan pendekatan di Papua harus menggunakan hard power tapi paslon 1 menjelaskan bahwa penyelesaikan konflik bukan hanya tentang hard power tapi juga ada yang namanya pendekatan soft power  dan Papua membutuhkan keadilan.

   Sedangkan paslon 3 mengatakan bahwa Papua memerlukan dialog untuk mengetahui akar persoalan dan upaya penyelesaiannya. “Kami lihat ada upaya pendekatan militer dan ini bahaya sekali dan kami lihat presiden ganti presiden memang tidak pernah terselesaikan sekalipun niatnya ada,” sindirnya.

  Novita menyebut di Papua antuasias politik ada yang kiri dan ada yang kanan dan sebagai perempuan jika melihat situasi politik saat ini dirinya sedikit kecewa, sebab penyebutan perempuan dari debat tersebut masih minim. Keberadaan perempuan masih dianggap sebelah mata. “Paslon satu 19 kali menyebut, paslon dua 11 kali dan paslon tiga 5 kali. Kami merasa perempuan tidak banyak diperhitungkan,” bebernya.Novita Opki

  “Pengabaian terhadap perempuan akhirnya mengakibatkan  banyak terjadi kekerasan fisik maupun kekerasan secara digital padalah perempuan bisa dibilang  sebagai harga diri suatu bangsa,” paparnya.

  Novita sedikit menyimpulkan bahwa para paslon jika dilihat dari visi misi lebih banyak membahas tentang investasi dan pembangunan infrastruktur.

  “Ketika kami berbicara kesetaraan gender maka kita harus keluar dari kelas-kelas yang dibatasi. Visi misi untuk satu isu penting sepatutnya bisa dimulai dengan isu kesetaraan gender,” tambahnya.

Baca Juga :  Simfoni Tanah Papua Cetak Sejarah Bagi Masyarakat Papua

   Pandangan lain disampaikan Margaretha M. Yarisetouw dari Duta Damai Papua. Ia mengaku sempat kecewa pada salah satu paslon yang dianggap sempat terlibat skandal intoleran. “Kami Duta Damai Papua dibentuk untuk membangun kesadaran bagaimana bisa menyebar konten positif dan melawan konten negatif di media sosial. Kami berharap kaum minoritas juga dapat merasa nyaman berada di lingkungannya yang mayoritas, sehingga kami  berpegang bahwa silahkan  memilih asal jangan yang intoleransi,” bebernya.

  Pandangan lain disampaikan Kilitus Wetipo dari Swara Akar Papua. Ia lebih tertarik membahas soal visi misi paslon tentang perdamaian. Kilitus menyampaikan bahwa Papua memiliki trauma yang mendalam dari cerita masa lalu melihat visi misi tiga paslon diingatkan agar masyarakat Papua harus lebih jeli memberikan suara.

Baca Juga :  Waspada Gelombang Tinggi dan Permukaan Air Laut

“Melihat debat sedari awal ketiganya juga membahas isu pertahanan, keamanan dan Papua masuk dalam isu Internasional. Persoalan ini sepatutnya lebih dikuasai paslon nomor 2  namun solusinya justru melakukan penegakan hukum dan mengirim pasukan untuk perdamaian,” ungkapnya.

Kilitus menyampaikan paslon nomor 2 menjelaskan pendekatan di Papua harus menggunakan hard power tapi paslon 1 menjelaskan bahwa penyelesaikan konflik bukan hanya tentang hard power tapi juga ada yang namanya pendekatan soft power  dan Papua membutuhkan keadilan.

   Sedangkan paslon 3 mengatakan bahwa Papua memerlukan dialog untuk mengetahui akar persoalan dan upaya penyelesaiannya. “Kami lihat ada upaya pendekatan militer dan ini bahaya sekali dan kami lihat presiden ganti presiden memang tidak pernah terselesaikan sekalipun niatnya ada,” sindirnya.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya