Bincang-bincang dengan Pustakawan Perpusnas RI Yoyo Wahyono Soal Transformasi Perpustakaan
Mendengar kata Perpustakaan, spontan orang langsung terbayang tumpukan ratusan bahkan ribuan buku di rak/lemari dan juga suasana yang senyap, untuk memberikan kenyamanan pembaca di perpustakaan. Namun, seiring perkembanagan tehnologi informasi dan komunikasi, kini paradigma atau pandangan terhadap fungsi perpustakaan mulai diubah.
Laporan: Agung Tri Handono_Jayapura
Perkembangan tehnologi informasi yang berkembang pesat memang harus disikapi para pustakawan atau pengelola perpustakaan dengan melakukan adaptasi sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat. Jika tidak, maka perpustakaan bisa menjadi gedung tua, atau gudang tempat penyimpanan buku-buku tebal dan berdebu.
Sebab, dengan tehnologi informasi saat ini, dan semakin mudahnya akses internet, pencarian berbagai referensi buku ini bisa didapatkan melalui smartphone yang ada dalam genggaman tangan. Tak perlu jauh-jauh ke perpustakaan lagi. Hal ini yang disadari kalangan Pustakawan untuk melakukan perubahan dengan transformasi berbasis inklusi sosial (TBIS).
Artinya, ada peningkatan peran dan fungsi perpustakaan melalui pelibatan masyarakat sebagai wahana belajar sepanjang hayat, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan penggunaan perpustakaan. Ada perubahan, tak hanya sekedar tempat sumber informasi, tapi juga ada peran nyata untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat malalui berbagai informasi yang dikelola perpustakaan.
Yoyo Wahyono Pustakawan Ahli Utama Perpusnas RI yang ditemui Cenderawasih Pos di SwissBell Hotel, pekan kemarin mengkui bahwa perlu strategi pengembangan perpustakaan sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Menurut Pustakawan yang sudah mencapai golongan dan kepangkatan tertinggi di kepegawaian ini, pada era tehnologi informasi yang semakin canggih saat ini, menuntut adanya perubahan paradigma tentang keberadaan perpustakaan dan peran para pustakawan.
Kini perpustakaan harus mulai bertransformasi berbasis inklusi sosial. Dimana kebaruan ini dapat langsung terlihat dari implementasi perpustakaan yang focus kepada Knowledge Transfer atau transfer ilmu pengetahuan kepada masyarakat.
“Perpustakaan yang dahulu tercermin sebagai gudang buku yang senyap, kini didorong untuk berkegiatan dengan melibatkan masyarakat, bahkan dengan pihak-pihak lain yang potensial mendorong terjadinya peningkatan literasi masyarakat, sehingga kualitas hidup masyarakat meningkat.” Ungkapnya.
Karena itu, perpustakaan yang dulunya hanya mengelola buku, sekarang di era tehnologi informasi ini, sudah berubah. Dimana, fungsi perpustakaan dan peran para pustakawan ini, kini 10 persen kelola koleksi buku, 20 persen kelola informasi dan 70 persen knowledge transfer.
“Artinya, Pustakawan saat ini harus banyak melakukan perubahan di tengah masyarakat, dari berbagai informasi yang didapat di perpustakaan ini ditransfer kepada masyarakat, sehingga dengan transfer informasi yang baru ini bisa ada perubahan terhadap kesejahteraan di masyarakat,” tuturnya.
Contoh sederhana, informasi terkait dengan tehnologi pertanian yang ada dari buku-buku perpustakan ditransfer dan diterapkan di tengah masyarakat petani untuk mengelola pertaniannya lebih efektif dan produktif. Hal ini, tentunya tidak serta merta bisa dilakukan oleh pustakawan atau pengelola perpustakaan.
Karena itu, memang dibutuhkan bimbingan teknis bagi para Pustakawan ini, terkait program transformasi perpustakaan di Indonesia ini. “Para pustakawan yang kita berikan bimtek ini, kita harapkan bisa mengimplementasikan di daerahnya masing-masing , sesuai dengan potensi yang ada. “ujarnya.
Karya nyata para perpustakaan ini, akan dievaluasi. Bahkan sebagai bentuk apresiasi bagi inovasi transfer knowledge yang dialukkan pustakawan/pengelola perpustakaan ini, akan ditampilkan di tingkat nasional untuk bisa memberi motivasi dan inspirasi bagi pustakawan lainnya di seluruh Indonesia.
Intinya, Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial (TPBIS) diharapkan bisa meningkatkan peran dan fungsi perpustakaan melalui pelibatkan masyarakat sebagai wahana belajar sepanjang hayat, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan penggunaan perpustakaan.
Menurut Yoyo, Program TPIBS ini merupakan program implementasi kebijakan pemerintah dalam RPJMN 2020-2024, yakni peningkatan SDM melalui penguatan budaya literasi. “Kegiatan ini dilaksanaan oleh Perpustakaan Nasional yang melibatkan pemerintah daerah untuk mengembangkan fungsi dan peran perpustakaan dalam memberikan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat pengguna perpustakaan.”u ngkapnya.
Metode yang digunakan dalam TPBIS yaitu peningkatan layanan informasi dengan penyelenggaran capacity building bagi pustakawan dan tenaga perpustakaan, sehingga perpustakaan sampai di tingkat kampung/kelurahan dapat berproses knowledge transfer.
Hingga saat ini, menurut Yoyo Wahyono, perpustakaan yang sudah melaksanakan transformasi perpustakan berbasis inklusi sosial dengan stimulan yang bersumber dari APBD melalui Perpusnas RI tahun 2022 mencapai 33 perpustakaan provinsi, 296 perpustakaan kabupaten/kota dan 1.696 perpustakaan desa/kelurahan.
“Sampai dengan Februari 2023, TPBIS telah direplikasi di 1.205 desa/kelurahan di 26 provinsi dengan sumber dana APBD atau sumber lain. Tahun ini, 450 perpustakaan desa/kelurahan menjadi mitra baru TPBIS,”terangnya. (*)