Saturday, April 27, 2024
30.7 C
Jayapura

Bahas Dialog Kemanusiaan, Para Gubernur di Tanah Papua Didesak Temui Presiden

JAYAPURA – Konflik bersenjata di tanah Papua yang tiada berakhir, dengan memakan korban sipil maupun TNI-Polri. Terakhir, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) menembak Brigadir Anumerta Rudi Agung hingga meninggal dunia, KKB juga menembak dua warga di Kampung Okpol, Distrik Oksibil, juga meb Kabupaten Pegunungan Bintang.

Terkait dengan hal itu, Kepala Komnas HAM Papua Frits Ramandey menyampaikan, beberapa daerah sudah harus dipetakkan sebagai daerah rawan konflik 1. Misalnya, Intan Jaya, puncak, nduga, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Dogiyai dan maybrat.

“Daerah tersebut merupakan daerah konflik rawan 1 lantaran ada kelompok sipil bersenjata aktif di sana. Sehingga siklus kekerasan terus terjadi, dengan pendekatannya adalah keamanan versus kelompok sipil bersenjata,” kata Frits kepada Cenderawasih Pos, Rabu (20/9).

Dilain sisi lanjut Frits, kita sama sekali tidak berusaha mendorong sebuah proses yang bisa menyelesaikan kasus kekerasan bersenjata di tanah Papua. Bahkan, pemekaran dan Otsus pun bukan jawaban untuk mengakhiri kekerasan bersenjata di timur Indonesia.

“Pemekaran dan Otsus terbantahkan untuk bisa mengakhiri konflik bersenjata di tanah Papua,” tegasnya.

Baca Juga :  Ekonomi Biru  Berdampak Positif untuk Papua

Bahkan kata Frits, sepanjang tahun 2023. Siklus kekerasan di tanah Papua dari segi kuantitas dan kualitas semakin bertambah. Bahkan sejak Otsus tahun 2008, siklus kekerasan sudah mulai meningkat. Pun setelah Otsus, siklus kekerasan bersenjata meningkatnya luar biasa.

“Artinya, Otsus dan pemekaran tidak bisa menyelesaikan konflik bersenjata di tanah Papua. Komnas HAM memandang yang bisa menyelesaikan konflik bersenjata di Papua dengan cara dialog kemanusiaan.

Untuk menyudahi konflik di tanah Papua, Komnas HAM mendorong para gubernur yang berada di wilayah konflik secepatnya melaporkan kepada Presiden segera merumuskan upaya dialog kemanusiaan. Sebab, tak mampan lagi menyerukan seruan kemanusiaan kepada kelompok sipil bersenjata.

“Sekarang konflik bersenjata di tanah Papua sudah emergency, segera dilakukan tindakan konkrit untuk mengakhiri konflik ini. Para bupati dan gubernur di wilayah konflik harus menjadi garda terdepan untuk berkomunikasi dengan warganya,” tutur Frits.

Selain itu, Pemerintah Pusat segera membentuk tim dialog kemanusiaan dan diumumkan kepada masyarakt Papua. Kemudian menunjuk tim untuk mengfasilitasi proses dialog kemanusiaan tersebut.

Baca Juga :  KMAN Momen Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara

“Dialog kemanusiaan ini dengan melibatkan elemen PNPB, korban, pemerintah. Mereka bertemu di meja dialog kemanusiaan. Terlebih di Papua sudah masuk kategori konflik bersenjata yang adalah siklus kekerasan balas dendam dan operasi,” jelasnya.

Menurut Frits, kondisi saat ini sudah sangat mendesak. Sehingga enam gubernur yang ada di tanah Papua segera bertemu presiden, lalu mengundang pihak pihak yang memiliki  pengalaman dan kompotensi. Kemudian membentuk tim dialog kemanusiaan.

“Harus ada langkah konkrit, tidak bisa lagi dengan seruan. Karena pendekatan keamanan dan pendekatan hukum yang sudah berjalan selama ini tidak lagi efektif, justru menimbulkan  kekerasan yang lebih masif lagi,” ucapnya.

Komnas HAM sendiri kata Frits, sangat bersedia bersama sama dengan gubernur untuk menghadap presiden memaparkan tentang bagaimana dialog kemanusiaan, paling tidak  mengurangi konflik bersenjata di tanah Papua. (fia/wen)

JAYAPURA – Konflik bersenjata di tanah Papua yang tiada berakhir, dengan memakan korban sipil maupun TNI-Polri. Terakhir, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) menembak Brigadir Anumerta Rudi Agung hingga meninggal dunia, KKB juga menembak dua warga di Kampung Okpol, Distrik Oksibil, juga meb Kabupaten Pegunungan Bintang.

Terkait dengan hal itu, Kepala Komnas HAM Papua Frits Ramandey menyampaikan, beberapa daerah sudah harus dipetakkan sebagai daerah rawan konflik 1. Misalnya, Intan Jaya, puncak, nduga, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Dogiyai dan maybrat.

“Daerah tersebut merupakan daerah konflik rawan 1 lantaran ada kelompok sipil bersenjata aktif di sana. Sehingga siklus kekerasan terus terjadi, dengan pendekatannya adalah keamanan versus kelompok sipil bersenjata,” kata Frits kepada Cenderawasih Pos, Rabu (20/9).

Dilain sisi lanjut Frits, kita sama sekali tidak berusaha mendorong sebuah proses yang bisa menyelesaikan kasus kekerasan bersenjata di tanah Papua. Bahkan, pemekaran dan Otsus pun bukan jawaban untuk mengakhiri kekerasan bersenjata di timur Indonesia.

“Pemekaran dan Otsus terbantahkan untuk bisa mengakhiri konflik bersenjata di tanah Papua,” tegasnya.

Baca Juga :  Papua Butuh Keadilan, Dialog Atau Penegakan Hukum

Bahkan kata Frits, sepanjang tahun 2023. Siklus kekerasan di tanah Papua dari segi kuantitas dan kualitas semakin bertambah. Bahkan sejak Otsus tahun 2008, siklus kekerasan sudah mulai meningkat. Pun setelah Otsus, siklus kekerasan bersenjata meningkatnya luar biasa.

“Artinya, Otsus dan pemekaran tidak bisa menyelesaikan konflik bersenjata di tanah Papua. Komnas HAM memandang yang bisa menyelesaikan konflik bersenjata di Papua dengan cara dialog kemanusiaan.

Untuk menyudahi konflik di tanah Papua, Komnas HAM mendorong para gubernur yang berada di wilayah konflik secepatnya melaporkan kepada Presiden segera merumuskan upaya dialog kemanusiaan. Sebab, tak mampan lagi menyerukan seruan kemanusiaan kepada kelompok sipil bersenjata.

“Sekarang konflik bersenjata di tanah Papua sudah emergency, segera dilakukan tindakan konkrit untuk mengakhiri konflik ini. Para bupati dan gubernur di wilayah konflik harus menjadi garda terdepan untuk berkomunikasi dengan warganya,” tutur Frits.

Selain itu, Pemerintah Pusat segera membentuk tim dialog kemanusiaan dan diumumkan kepada masyarakt Papua. Kemudian menunjuk tim untuk mengfasilitasi proses dialog kemanusiaan tersebut.

Baca Juga :  Wamendagri Tegaskan Para Pj Dilarang Berpolitik Praktis

“Dialog kemanusiaan ini dengan melibatkan elemen PNPB, korban, pemerintah. Mereka bertemu di meja dialog kemanusiaan. Terlebih di Papua sudah masuk kategori konflik bersenjata yang adalah siklus kekerasan balas dendam dan operasi,” jelasnya.

Menurut Frits, kondisi saat ini sudah sangat mendesak. Sehingga enam gubernur yang ada di tanah Papua segera bertemu presiden, lalu mengundang pihak pihak yang memiliki  pengalaman dan kompotensi. Kemudian membentuk tim dialog kemanusiaan.

“Harus ada langkah konkrit, tidak bisa lagi dengan seruan. Karena pendekatan keamanan dan pendekatan hukum yang sudah berjalan selama ini tidak lagi efektif, justru menimbulkan  kekerasan yang lebih masif lagi,” ucapnya.

Komnas HAM sendiri kata Frits, sangat bersedia bersama sama dengan gubernur untuk menghadap presiden memaparkan tentang bagaimana dialog kemanusiaan, paling tidak  mengurangi konflik bersenjata di tanah Papua. (fia/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya