Saturday, December 20, 2025
28.5 C
Jayapura

Giliran Dana Dipangas Baru Teriak Merdeka

Menurutnya, dana otonomi khusus bukan sekadar angka dalam APBN, melainkan instrumen keadilan politik dan konstitusional yang lahir dari pengakuan atas kegagalan pendekatan pembangunan yang bersifat umum di Tanah Papua.

Lanjutnya menjelaskan, dalam praktik kebijakan nasional, dana otonomi khusus kerap diperlakukan sama dengan transfer fiskal reguler lainnya. Ketika negara berbicara efisiensi dan penyesuaian anggaran, dana otonomi khusus ikut dimasukkan ke dalam logika teknokratis yang seragam.

“Di sinilah persoalan mendasarnya. Papua kembali dilihat sebagai objek pengelolaan anggaran, bukan sebagai subjek kebijakan yang memiliki kekhususan historis, sosial, dan politik,” jelasnya.

Secara formal, Dosen Hukum Tata Negara itu menjelaskan, pemerintah pusat dapat menyatakan bahwa yang terjadi bukan pemotongan, melainkan penyesuaian alokasi. Namun bagi Papua, perbedaan istilah tersebut tidak mengubah kenyataan di lapangan.

Baca Juga :  Rugikan Negara Ratusan Juta, Kadis Pertanian Dieksekusi

Sebutnya, yang dirasakan adalah menyempitnya ruang fiskal untuk menjawab persoalan mendasar seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan hak Orang Asli Papua. Ketika dana otonomi khusus direduksi menjadi pos anggaran yang dapat dinegosiasikan setiap tahun, makna kekhususannya ikut tergerus.

Tegas Lily, negara tidak dapat berlindung di balik bahasa teknis anggaran untuk menjelaskan persoalan ini. Mengelola dana otonomi khusus dengan pendekatan fiskal yang sama seperti daerah lain justru bertentangan dengan semangat kelahirannya.

Lanjutnya menjelaskan, Otonomi khusus diberikan karena pendekatan normal terbukti gagal. Ungkapnya menggunakan kembali pendekatan normal untuk Papua berarti mengulangi kesalahan yang sama, dengan konsekuensi sosial dan politik yang tidak ringan.

Jika selama ini terdapat anggapan bahwa dana otonomi khusus belum sepenuhnya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas dan masih dipersepsikan sebagai dana yang elitis, tertutup, serta minim dampak langsung, maka persoalannya bukan terletak pada besaran dana, melainkan pada penegakan hukum dan akuntabilitas.

Baca Juga :  Gaji DPRK Jalur Otsus Rp 2 M Lebih Belum Bisa Dibayarkan

Kondisi ini mengakibatkan, ketika terjadi penyimpangan, respon negara seharusnya adalah memperkuat pengawasan, menindak pelanggaran, dan memastikan pertanggungjawaban hukum, bukan justru memangkas anggaran yang pada hakikatnya diperuntukkan bagi masyarakat.

Menurutnya, dana otonomi khusus bukan sekadar angka dalam APBN, melainkan instrumen keadilan politik dan konstitusional yang lahir dari pengakuan atas kegagalan pendekatan pembangunan yang bersifat umum di Tanah Papua.

Lanjutnya menjelaskan, dalam praktik kebijakan nasional, dana otonomi khusus kerap diperlakukan sama dengan transfer fiskal reguler lainnya. Ketika negara berbicara efisiensi dan penyesuaian anggaran, dana otonomi khusus ikut dimasukkan ke dalam logika teknokratis yang seragam.

“Di sinilah persoalan mendasarnya. Papua kembali dilihat sebagai objek pengelolaan anggaran, bukan sebagai subjek kebijakan yang memiliki kekhususan historis, sosial, dan politik,” jelasnya.

Secara formal, Dosen Hukum Tata Negara itu menjelaskan, pemerintah pusat dapat menyatakan bahwa yang terjadi bukan pemotongan, melainkan penyesuaian alokasi. Namun bagi Papua, perbedaan istilah tersebut tidak mengubah kenyataan di lapangan.

Baca Juga :  Demo FRPHAMP Nabire Dibubarkan Aparat

Sebutnya, yang dirasakan adalah menyempitnya ruang fiskal untuk menjawab persoalan mendasar seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan hak Orang Asli Papua. Ketika dana otonomi khusus direduksi menjadi pos anggaran yang dapat dinegosiasikan setiap tahun, makna kekhususannya ikut tergerus.

Tegas Lily, negara tidak dapat berlindung di balik bahasa teknis anggaran untuk menjelaskan persoalan ini. Mengelola dana otonomi khusus dengan pendekatan fiskal yang sama seperti daerah lain justru bertentangan dengan semangat kelahirannya.

Lanjutnya menjelaskan, Otonomi khusus diberikan karena pendekatan normal terbukti gagal. Ungkapnya menggunakan kembali pendekatan normal untuk Papua berarti mengulangi kesalahan yang sama, dengan konsekuensi sosial dan politik yang tidak ringan.

Jika selama ini terdapat anggapan bahwa dana otonomi khusus belum sepenuhnya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas dan masih dipersepsikan sebagai dana yang elitis, tertutup, serta minim dampak langsung, maka persoalannya bukan terletak pada besaran dana, melainkan pada penegakan hukum dan akuntabilitas.

Baca Juga :  Setubuhi Anak Kandung, Pria Paruh Baya Ditangkap

Kondisi ini mengakibatkan, ketika terjadi penyimpangan, respon negara seharusnya adalah memperkuat pengawasan, menindak pelanggaran, dan memastikan pertanggungjawaban hukum, bukan justru memangkas anggaran yang pada hakikatnya diperuntukkan bagi masyarakat.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya