Saturday, April 27, 2024
24.7 C
Jayapura

Puncak Memanas Dua Pekan Terakhir, Korban Terus Berguguran

Frits Ramandey ( FOTO: Elfira/Cepos)

JAYAPURA – Dua pekan terakhir, Kabupaten Puncak yang berada di ketinggian rata-rata 4.500 meter di atas permukaan laut Dalam kondisi mencekam. Teror Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pimpinan Lekagak Telenggen semakin menjadi.

Teror itu bermula pada Kamis (8/4), dimana KKB menembak mati seorang guru SD Inpres Beoga bernama Oktovianus Rayo di kiosnya di Kampung Julugoma. Dihari yang sama, KKB juga membakar tiga ruang SMAN 1 Beoga.

Pada Jumat (9/4) sore, KKB kembali menembak seorang guru SMPN 1 Beoga bernama Yonatan Randen dengan luka tembak di bagian dada hingga meninggal dunia.

Minggu (11/4) malam, KKB berulah dengan membakar sembilan ruang SMPN 1 Beoga. Tanggal 14 April, KKB menembak seorang tukang ojek bernama Udin (41) di Kampung Eromoga, Distrik Emokia.

Aksi KKB berlanjut dengan menembak seorang pelajar kelas 1 SMAN Ilaga bernama Ali Mom di Kampung Tagaloa pada Kamis (15/4).

Tidak hanya itu, KKB kembali berulah di Kampung Dambet (17/4) dengan membakar gedung sekolah, rumah kepala suku dan tiga rumah dinas guru.

Teror masih berlanjut, pada Minggu (25/4) KKB menembak Kabinda Papua Mayjen TNI Anumerta I Gusti Putu Danny Nugraha Karya di Kampung Dambet. Selasa (27/4), KKB kembali menembak tiga anggota Polri di sekitar Markas Lumawi, Kampung Makki, Distrik Ilaga utara, Kabupaten Puncak yang menyebabkan  Bharada I Komang Wira Natha gugur.

Baca Juga :  Masih Berjubel tapi Tak Sepadat Pekan Lalu

Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Papua, Frits Ramandey menyebut, kekerasan pasti menimbulkan kekerasan baru yang menyebabkan korban terus berjatuhan. Untuk itu, kehadiran negara sangat penting untuk memastikan bahwa situasi Kamtibmas bisa dikendalikan di daerah tersebut.

“Kehadiran aparat menjadi penting. Tetapi perlu keterlibatan pihak otoritas setempat yakni pemerintah daerah yang memiliki peran strategis dengan meminta masyarakatnya untuk menghentikan aksi-aksi kekerasan,” papar Frits kepada Cenderawasih Pos,  Selasa (27/4)

Menurut Frits, siklus kekerasan di Kabupaten Puncak tidak akan berhenti, karena para pihak memegang senjata. Sehingga kalau senjata berhadapan dengan senjata maka pilihannya siapa yang lebih cepat, yang lebih cermat dan siapa yang punya kekuatan memadai untuk melakukan tindakan keamanan.

Dalam perspektif HAM, konflik bersenjata harus didekati dengan dua pendekatan yakni pendekatan pertama para pihak meletakan senjata untuk berbicara. Dalam konteks meletakan senjata yang dimaksud Frits ini akan sangat sulit karena bukan dalam situasi perang, sehingga pemerintah  akan sangat mempertimbangkan situasi agar para pihak meletakan senjata.

Pendekatan kedua yakni, para pihak bersedia mengirim utusan untuk berdialog dan berbicara tentang apa sebenarnya akar masalah yang terjadi di Papua dalam hal ini di wilayah Puncak.

“Dalam konteks kekerasan saat ini, untuk berdialog dalam negeri itu akan sangat berat karena pemerintah Indonesia tidak akan menempatkan kelompok separatis bersenjata setara dengan negara,” tutur Frits.

Baca Juga :  Tak Patuhi Maklumat Kapolri, Polisi Lakukan Tindakan Tegas

Adapun dialog yang dimaksudkan Komnas HAM yakni bicara dalam konteks penyelesaian masalah yang dituntut di dalam konflik saat ini. Apakah konflik yang terjadi saat ini terkait dengan kesejahteraan pembangunana atau ada tuntutan lain.

“Hal lain yang paling penting KSB harus memahami bahwa mekanisme HAM sepanjang negara masih memliki otoritas dan kewenangan untuk melakukan upaya penegakan hukum. Maka tidak bisa melibatkan mekanisme internasional, karena mekanisme intarnasional apalagi dalam mekanisme ham selalu menghormati yudisial negara berdaulat,” papar Frits.

Hal lainnya lanjut Frits, negara tidak boleh kalah dengan situasi ini dan negara tidak boleh menempatkan KSB yang melakukan kekerasan sebagai musuh negara. Harus menempatkan kelompok ini sebagai kelompok yang sedang melakukan kejahatan, sehingga pendekatannya adalah pendekatan penegakan hukum.

“Komnas HAM menyerukan KSB hentikan aksi kekerasan di lingkungan masyarakat sipil. Karena ketika KSB melakukan aksi kekerasan di lingkungan masyarakat sipil yang tidak punya hubungan langsung dengan kelompok ini. Maka yang menjadi korban adalah masyarakat sipil. Untuk itu, Komnas punya keyakinan mereka (KSB) akan menghentikan aksi kekerasan ini,” tutupnya. (fia/nat)

Frits Ramandey ( FOTO: Elfira/Cepos)

JAYAPURA – Dua pekan terakhir, Kabupaten Puncak yang berada di ketinggian rata-rata 4.500 meter di atas permukaan laut Dalam kondisi mencekam. Teror Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pimpinan Lekagak Telenggen semakin menjadi.

Teror itu bermula pada Kamis (8/4), dimana KKB menembak mati seorang guru SD Inpres Beoga bernama Oktovianus Rayo di kiosnya di Kampung Julugoma. Dihari yang sama, KKB juga membakar tiga ruang SMAN 1 Beoga.

Pada Jumat (9/4) sore, KKB kembali menembak seorang guru SMPN 1 Beoga bernama Yonatan Randen dengan luka tembak di bagian dada hingga meninggal dunia.

Minggu (11/4) malam, KKB berulah dengan membakar sembilan ruang SMPN 1 Beoga. Tanggal 14 April, KKB menembak seorang tukang ojek bernama Udin (41) di Kampung Eromoga, Distrik Emokia.

Aksi KKB berlanjut dengan menembak seorang pelajar kelas 1 SMAN Ilaga bernama Ali Mom di Kampung Tagaloa pada Kamis (15/4).

Tidak hanya itu, KKB kembali berulah di Kampung Dambet (17/4) dengan membakar gedung sekolah, rumah kepala suku dan tiga rumah dinas guru.

Teror masih berlanjut, pada Minggu (25/4) KKB menembak Kabinda Papua Mayjen TNI Anumerta I Gusti Putu Danny Nugraha Karya di Kampung Dambet. Selasa (27/4), KKB kembali menembak tiga anggota Polri di sekitar Markas Lumawi, Kampung Makki, Distrik Ilaga utara, Kabupaten Puncak yang menyebabkan  Bharada I Komang Wira Natha gugur.

Baca Juga :  Mantapkan Ketahanan Pangan Nasional, Bupati Koordinasi Lintas Kementerian

Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Papua, Frits Ramandey menyebut, kekerasan pasti menimbulkan kekerasan baru yang menyebabkan korban terus berjatuhan. Untuk itu, kehadiran negara sangat penting untuk memastikan bahwa situasi Kamtibmas bisa dikendalikan di daerah tersebut.

“Kehadiran aparat menjadi penting. Tetapi perlu keterlibatan pihak otoritas setempat yakni pemerintah daerah yang memiliki peran strategis dengan meminta masyarakatnya untuk menghentikan aksi-aksi kekerasan,” papar Frits kepada Cenderawasih Pos,  Selasa (27/4)

Menurut Frits, siklus kekerasan di Kabupaten Puncak tidak akan berhenti, karena para pihak memegang senjata. Sehingga kalau senjata berhadapan dengan senjata maka pilihannya siapa yang lebih cepat, yang lebih cermat dan siapa yang punya kekuatan memadai untuk melakukan tindakan keamanan.

Dalam perspektif HAM, konflik bersenjata harus didekati dengan dua pendekatan yakni pendekatan pertama para pihak meletakan senjata untuk berbicara. Dalam konteks meletakan senjata yang dimaksud Frits ini akan sangat sulit karena bukan dalam situasi perang, sehingga pemerintah  akan sangat mempertimbangkan situasi agar para pihak meletakan senjata.

Pendekatan kedua yakni, para pihak bersedia mengirim utusan untuk berdialog dan berbicara tentang apa sebenarnya akar masalah yang terjadi di Papua dalam hal ini di wilayah Puncak.

“Dalam konteks kekerasan saat ini, untuk berdialog dalam negeri itu akan sangat berat karena pemerintah Indonesia tidak akan menempatkan kelompok separatis bersenjata setara dengan negara,” tutur Frits.

Baca Juga :  Pemkab Jayapura Raih Delapan Kali WTP

Adapun dialog yang dimaksudkan Komnas HAM yakni bicara dalam konteks penyelesaian masalah yang dituntut di dalam konflik saat ini. Apakah konflik yang terjadi saat ini terkait dengan kesejahteraan pembangunana atau ada tuntutan lain.

“Hal lain yang paling penting KSB harus memahami bahwa mekanisme HAM sepanjang negara masih memliki otoritas dan kewenangan untuk melakukan upaya penegakan hukum. Maka tidak bisa melibatkan mekanisme internasional, karena mekanisme intarnasional apalagi dalam mekanisme ham selalu menghormati yudisial negara berdaulat,” papar Frits.

Hal lainnya lanjut Frits, negara tidak boleh kalah dengan situasi ini dan negara tidak boleh menempatkan KSB yang melakukan kekerasan sebagai musuh negara. Harus menempatkan kelompok ini sebagai kelompok yang sedang melakukan kejahatan, sehingga pendekatannya adalah pendekatan penegakan hukum.

“Komnas HAM menyerukan KSB hentikan aksi kekerasan di lingkungan masyarakat sipil. Karena ketika KSB melakukan aksi kekerasan di lingkungan masyarakat sipil yang tidak punya hubungan langsung dengan kelompok ini. Maka yang menjadi korban adalah masyarakat sipil. Untuk itu, Komnas punya keyakinan mereka (KSB) akan menghentikan aksi kekerasan ini,” tutupnya. (fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya