Saturday, April 27, 2024
33.7 C
Jayapura

Gugatan Ditolak, MRP Masih Melihat UU Otsus Berpeluang Merugikan Rakyat Papua

JAYAPURA – Setelah menunggu 1 tahun 1 hari, Majelis Rakyat Papua (MRP) akhirnya mendengarkan hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perkara nomor 47/PUU/XIX/2021. MK memberi putusan tidak menerima alias menolak judicial review UU Nomor 2/2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang diajukan MRP. Pasalnya, MK menilai pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan judicial review.

Sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dilakukan secara terbuka dan MRP sendiri mengikuti proses sidang tersebut  secara virtual di Hotel Horison Ultima, Rabu (31/8). MK berpendapat bahwa pemohon atau MK tidak dapat menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusionalnya seperti  isi gugatan baik yang bersifat aktual, spesifik, atau paling tidak ada hubungan sebab-akibat. Namun keputusan MK ini tidak bulat sebab salah satu hakim justru menyampaikan dissenting opinion atau berbeda pendapat dengan hakim lainnya.

MRP dalam permohonannya juga membeberkan alasan melakukan judicial review lantaran lahirnya undang – undang ini tidak dilakukan dengan melibatkan rakyat Papua melalui MRP. Konkritnya tanpa partisipasi dari pemerintah Provinsi Papua baik MRP maupun DPRP  yang merupakan representasi kultural orang asli Papua. MRP menganggap ini menunjukkan tidak adanya iktikad baik dari pemerintah untuk mendengar atau menjaring aspirasi akar rumput dalam membangun sebuah negara demokrasi.

Padahal pemohon dalam hal ini menyampaikan bahwa Otsus lebih  pada sebuah proses consensus atau kompromi politik antara masyarakat Papua dan pemerintah pusat dari cerita perjalanan sejarah sejak 1962. Otsus ada untuk menyelesaikan persoalan yang berkepanjangan di Papua.

“Kami berpendapat bahwa setelah 20 tahun seharusnya undang – undang ini dilakukan evaluasi secara menyeluruh. Apakah ada perubahan yang nyata di tengah masyarakat atau biasa – biasa saja. pasalnya esensinya politik hukum Undang- undang Otsus ini untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat serta mewujudkan keadilan yang merata dan menjunjung penegakan HAM termasuk  supremasi hukum,” kata Timotius Murib di Hotel Horison Ultima, Rabu (31/8).

Baca Juga :  Pangdam Apresiasi Semua Pihak

Meski hasil yang diketok tak sesuai harapan namun kata Timotius MRP tetap menghormati keputusan tersebut. “Kami menyimak ada tiga  keputusan, pertama tidak semua pasal dibacakan baik versi MK maupun versi MRP. Yang kedua dari keputusan yang dibacakan oleh Ketua MK  masih ada pro dan kontra dan terakhir  adalah UU Nomor 2 tahun 2001 ini sudah sah untuk daerah khusus di Papua. Keputusan ini kami melihat bahwa keputusan ini tidak terlau memihak ke orang asli Papua dan juga pembuat Undang – undang di Jakarta,” bebernya.

Alhasil ada pandangan bahwa keputusan ini tidak memberikan kepastian hukum bagi masyarakat mengingat dalam intenal MK sendiri masih pro kontra. “Namun MRP secara lembaga akan tetap menerima hasil ini sebab sudah final. MK itu ibarat  pengambil keputusan yang paling terakhir di dunia. Keputusan Tuhan barulah keputusan MK  dan kami harus menerima ini,” tambahnya.

Dalam kesempatan ini Timotius juga menyampaikan kepada seluruh rakyat bahwa uji materil yang kadiajukan MRP sudah ada keputusannya meski harus menunggu cukup lama.

“Kami membutuhkan waktu 1 tahun 1 hari untuk mendengarkan hasil dimana ini terdorong karena ada 8 pasal yang menurut MRP berpotensi merugikan hak – hak dasar orang asli Papua,” tegas Timotius.

Disini ia mengaku dalam menjalankan amanah sebagai anggota MRP, ada banyak halang rintang baik secara pribadi maupun lembaga. Namun ia meyakini bangsa Papua menyaksikan hasil uji materi  yang menjadi buah perjuangan MRP. “Yang jelas kami merasa tidak dilibatkan dimana dari 20 pasal ada 19 pasal yang berpotensi merugikan  rakyat Papua tapi MK sudah memutuskan dan kami dan juga rakyat harus menerima itu,” tambahnya.

Baca Juga :  El Nino Banyak Berdampak Pada Penyakit Kulit

Tapi disini Timotius menegaskan bahwa  dari gugatannya sejatinya bukan soal hasil yang ditunggu MRP dan rakyat tapi  bagaimana memperjuangkan harga diri rakyat asli Papua dalam koridor konstitusi. 

“Ya sudah seperti itu hasilnya, selanjutnya pimpinan dan panmus akan merumuskan dan mensosialisasikan kepada konstrituen terkait hasil ini. Kami pikir MRP perlu mensosialisasikan hasil perjuangan MRP. Kami juga sampaikan terimakasih kepada pimpinan pokja karena ikut bertanggungjawab dan mengawal gugatan tersebut,” tandasnya.

Sebelumnya pada sidang pada September lalu pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).  Pasalnya pemohon merupakan representasi kultural OAP. Dijelaskan bahwa perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang kedudukan, susunan, tugas, dan wewenang hak dan tanggung kawab keanggotaan pimpinan dan alat kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum.

Kemudian dipertahankannya norma Pasal 77 UU Otsus Papua menjadikan pasal tersebut multitafsir. Pasal tersebut mengatur mengenai usul perubahan atas UU Otsus Papua dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terkait pasal tersebut, ia mengungkapkan bahwa perubahan beberapa pasal atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah murni inisiatif pemerintah pusat dan bukan usul saran dari rakyat Papua.

“Sekali lagi bukan soal hasil  tapi kami ingin menunjukkan bahwa kami tetap berusaha mengawal dan memperjuangkan apa yang menjadi hak dasar masyarakat asli. Jangan sampai kebijakan kedua justru merugikan masyarakat sebab kami tidak mau seperti itu,” tutupnya. (ade/wen)

JAYAPURA – Setelah menunggu 1 tahun 1 hari, Majelis Rakyat Papua (MRP) akhirnya mendengarkan hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perkara nomor 47/PUU/XIX/2021. MK memberi putusan tidak menerima alias menolak judicial review UU Nomor 2/2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang diajukan MRP. Pasalnya, MK menilai pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan judicial review.

Sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dilakukan secara terbuka dan MRP sendiri mengikuti proses sidang tersebut  secara virtual di Hotel Horison Ultima, Rabu (31/8). MK berpendapat bahwa pemohon atau MK tidak dapat menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusionalnya seperti  isi gugatan baik yang bersifat aktual, spesifik, atau paling tidak ada hubungan sebab-akibat. Namun keputusan MK ini tidak bulat sebab salah satu hakim justru menyampaikan dissenting opinion atau berbeda pendapat dengan hakim lainnya.

MRP dalam permohonannya juga membeberkan alasan melakukan judicial review lantaran lahirnya undang – undang ini tidak dilakukan dengan melibatkan rakyat Papua melalui MRP. Konkritnya tanpa partisipasi dari pemerintah Provinsi Papua baik MRP maupun DPRP  yang merupakan representasi kultural orang asli Papua. MRP menganggap ini menunjukkan tidak adanya iktikad baik dari pemerintah untuk mendengar atau menjaring aspirasi akar rumput dalam membangun sebuah negara demokrasi.

Padahal pemohon dalam hal ini menyampaikan bahwa Otsus lebih  pada sebuah proses consensus atau kompromi politik antara masyarakat Papua dan pemerintah pusat dari cerita perjalanan sejarah sejak 1962. Otsus ada untuk menyelesaikan persoalan yang berkepanjangan di Papua.

“Kami berpendapat bahwa setelah 20 tahun seharusnya undang – undang ini dilakukan evaluasi secara menyeluruh. Apakah ada perubahan yang nyata di tengah masyarakat atau biasa – biasa saja. pasalnya esensinya politik hukum Undang- undang Otsus ini untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat serta mewujudkan keadilan yang merata dan menjunjung penegakan HAM termasuk  supremasi hukum,” kata Timotius Murib di Hotel Horison Ultima, Rabu (31/8).

Baca Juga :  El Nino Banyak Berdampak Pada Penyakit Kulit

Meski hasil yang diketok tak sesuai harapan namun kata Timotius MRP tetap menghormati keputusan tersebut. “Kami menyimak ada tiga  keputusan, pertama tidak semua pasal dibacakan baik versi MK maupun versi MRP. Yang kedua dari keputusan yang dibacakan oleh Ketua MK  masih ada pro dan kontra dan terakhir  adalah UU Nomor 2 tahun 2001 ini sudah sah untuk daerah khusus di Papua. Keputusan ini kami melihat bahwa keputusan ini tidak terlau memihak ke orang asli Papua dan juga pembuat Undang – undang di Jakarta,” bebernya.

Alhasil ada pandangan bahwa keputusan ini tidak memberikan kepastian hukum bagi masyarakat mengingat dalam intenal MK sendiri masih pro kontra. “Namun MRP secara lembaga akan tetap menerima hasil ini sebab sudah final. MK itu ibarat  pengambil keputusan yang paling terakhir di dunia. Keputusan Tuhan barulah keputusan MK  dan kami harus menerima ini,” tambahnya.

Dalam kesempatan ini Timotius juga menyampaikan kepada seluruh rakyat bahwa uji materil yang kadiajukan MRP sudah ada keputusannya meski harus menunggu cukup lama.

“Kami membutuhkan waktu 1 tahun 1 hari untuk mendengarkan hasil dimana ini terdorong karena ada 8 pasal yang menurut MRP berpotensi merugikan hak – hak dasar orang asli Papua,” tegas Timotius.

Disini ia mengaku dalam menjalankan amanah sebagai anggota MRP, ada banyak halang rintang baik secara pribadi maupun lembaga. Namun ia meyakini bangsa Papua menyaksikan hasil uji materi  yang menjadi buah perjuangan MRP. “Yang jelas kami merasa tidak dilibatkan dimana dari 20 pasal ada 19 pasal yang berpotensi merugikan  rakyat Papua tapi MK sudah memutuskan dan kami dan juga rakyat harus menerima itu,” tambahnya.

Baca Juga :  MRP Minta Mendagri Tinjau Keputusan Panpil MRP yang Langgar Perdasi

Tapi disini Timotius menegaskan bahwa  dari gugatannya sejatinya bukan soal hasil yang ditunggu MRP dan rakyat tapi  bagaimana memperjuangkan harga diri rakyat asli Papua dalam koridor konstitusi. 

“Ya sudah seperti itu hasilnya, selanjutnya pimpinan dan panmus akan merumuskan dan mensosialisasikan kepada konstrituen terkait hasil ini. Kami pikir MRP perlu mensosialisasikan hasil perjuangan MRP. Kami juga sampaikan terimakasih kepada pimpinan pokja karena ikut bertanggungjawab dan mengawal gugatan tersebut,” tandasnya.

Sebelumnya pada sidang pada September lalu pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).  Pasalnya pemohon merupakan representasi kultural OAP. Dijelaskan bahwa perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang kedudukan, susunan, tugas, dan wewenang hak dan tanggung kawab keanggotaan pimpinan dan alat kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum.

Kemudian dipertahankannya norma Pasal 77 UU Otsus Papua menjadikan pasal tersebut multitafsir. Pasal tersebut mengatur mengenai usul perubahan atas UU Otsus Papua dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terkait pasal tersebut, ia mengungkapkan bahwa perubahan beberapa pasal atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah murni inisiatif pemerintah pusat dan bukan usul saran dari rakyat Papua.

“Sekali lagi bukan soal hasil  tapi kami ingin menunjukkan bahwa kami tetap berusaha mengawal dan memperjuangkan apa yang menjadi hak dasar masyarakat asli. Jangan sampai kebijakan kedua justru merugikan masyarakat sebab kami tidak mau seperti itu,” tutupnya. (ade/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya