Thursday, April 25, 2024
25.7 C
Jayapura

Soal Sekda Papua, Empat Pengacara Mulai Ajukan Gugatan

Habel Rumbiak SH, SpN ( FOTO: Habel For Cepos)

JAYAPURA-Sudah cukup lama Papua belum memiliki sekda definitif dan persoalan ini nampaknya masih sedap dibahas. Meski sebelumnya sudah ada tiga nama dari proses seleksi yang diusulkan ke pemerintah pusat dimana Doren Wakerwa mendapatkan nilai tertinggi, namun Presiden Jokowi memiliki pendapat lain dan lebih memilih nama Dance Yulian Flassy sebagai Sekda Papua lewat keputusan presiden (Kepres).  

 Dasar inilah yang membuat sejumlah tokoh asal Papua yaitu Deerd Tabuni, SE., sebagai penggugat I, Benny Kogoya sebagai Penggugat II, Yan Wenda  sebagai penggugat III dan Natiben Kogoya sebagai Penggugat IV bertolak ke Jakarta untuk mengajukan gugatannya. 

Tercatat ada empat penasehat hukum yang menerima kuasa dan mengajukan gugatan yakni Habel Rumbiak, SH, SpN, Dr. Heru Widodo, SH, MH, Ivan Robert Kairupan dan SH Ana Rita Yocelina Ohee, SH.  

 Gugatan ini resmi didaftarkan ke PTUN Jakarta, Jumat (13/11) dengan perihal Gugatan  Pembatalan Terhadap Keputusan Presiden Republik Indonesia    Nomor 159/TPA Tahun 2020 Tentang Pengangkatan Pejabat Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua tanggal 23 September 2020. Adapun pihak yang digugat adalah Presiden Joko Widodo. 

Dalam perkara ini yang menjadi objek gugatan adalah Surat Keputusan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 159/TPA Tahun 2020 Tentang Pengangkatan Pejabat Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua tertanggal 23 September 2020.

Para pihak mengajukan gugatan dengan alasan-alasan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan Sekretaris Daerah Provinsi Papua maka telah dibentuk Panitia Seleksi (Pansel) Jabatan Pimpinan Tinggi di Lingkungan Provinsi Papua. Lalu setelah ditetapkan,  Pansel mulai bekerja dengan melakukan serangkaian seleksi mulai dari tes assessment, penulisan makalah, wawancara,  dan lainnya guna menjaring calon yang tepat untuk mengisi jabatan Sekda Papua. 

Nah setelah rangkaian tes dilakukan secara profesional dan ketat, Pansel akhirnya mengumumkan “raport” seleksi terbuka jabatan pimpinan tinggi madya di lingkungan Pemprov Papua dengan hasil Doren Wakerkwa, SH., mengantongi nilai 74,99, Drs. Wasuok Demianus Siep memiliki nilai 67,49, Dance Yulian Flassy SE, M.Si memiliki nilai 67,30 dan Dr Juliana J Waromi SE, M.Si memiliki nilai 66,96. 

Baca Juga :  Sedang Dilengkapi, Kasus Cinta Segitiga Segera Digeser ke Pengadilan

“Disini jelas perbedaan angka yang diperoleh dan menurut klien kami Pak Doren mengantongi nilai tertinggi dibanding tiga lainnya namun mengapa bukan beliau yang terpilih. Kalau begini lalu buat apa ada tes,” kata Habel Rumbiak, Minggu (15/11). 

 Dari hasil ini Pansel kemudian menyerahkan hasil seleksi ke Kementerian Dalam Negeri melanjutkan mengusulkan 3 (tiga) nama teratas ke Presiden pada tanggal 15 Juli 2020. Namun pada 23 September 2020 Presiden  memutuskan Dance Yulian Flassy, SE, M.Si yang menduduki peringkat ketiga sebagai calon Sekretaris Daerah Provinsi Papua melalui Keputusannya Nomor 159/TPA Tahun 2020. 

 “Akan tetapi hasil ternyata Presiden tidak menjadikan hasil seleksi tersebut sebagai acuan memutuskan calon mengisi posisi Sekda Papua dan tidak memperhatikan kekhususan daerah Papua yang masih tunduk pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi  Papua,” beber  Habel. 

Selain itu dari SK Presiden yang dalam konsiderannya sama sekali tidak menyebutkan tentang UU Nomor 21 Tahun 2001 sebagai salah satu dasar hukum pertimbangan hukumnya.

Nah calon atas nama Dance Yulian Flassy, SE, M.Si yang diputuskan oleh presiden  inilah yang menjadi pokok sengketa atau permasalahan dalam gugatan yang diajukan ke PTUN Jakarta Timur. Dimana menurut para penggugat tidak ada alasan hukum yang patut bagi Presiden untuk mengesampingkan calon atas nama Doren Wakerkwa, SH, sebagai Calon Sekda Papua yang merupakan calon nomor urut 1 yang lolos seleksi dari Pansel. Kedua tak ada alasan hukum juga yang patut bagi Presiden untuk memutuskan calon atas nama Dance Yulian Flassy, SE, M.Si sebagai Calon Sekda Papua.

 “Kami menganggap Presiden telah melakukan pelanggaran karena memutuskan calon atas nama Dance Yulian Flassy, SE, M.Si yang tidak memenuhi syarat secara maksimal dan keputusan tergugat memilih Dance Yulian Flassy, SE, M.Si nyata-nyata melanggar hasil seleksi yang dilakukan Pansel sekaligus mempermalukan Pansel  dan calon lainnya yang mengikuti secara adil,” sambung Habel.  Ini juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa (Onrechmatige Overheids Daad).

Baca Juga :  Antisipasi Kerumunan, Maksimalkan Kurban Online

 Para penasehat hukum penggugat juga melihat bahwa  tindakan tergugat untuk menerbitkan objek gugatan tanpa memperhatian  hasil seleksi Pansel UU Otsus Papua merupakan perbuatan yang bertentangan pula dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi Pemerintahan. 

 “Asas ini terdiri dari asas kepastian hukum, dimana tergugat melanggar asas kepastian hukum karena dengan memutuskan untuk memilih calon Sekda Papua yang tidak memenuhi syarat secara maksimal, justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan menimbulkan sengketa hukum,” ujar Habel menguraikan isi atau maksud asas itu sendiri. Lalu asas lainnya yakni asas Tertib Penyelenggaraan Negara dimana dikatakan keputusan tergugat bertentangan dengan asas tertib penyelenggaraan negara karena tergugat tidak taat asas dan tidak tertib karena memutuskan untuk memilih calon sekretaris daerah Provinsi Papua yang tidak memenuhi syarat maksimal sesuai dengan hasil seleksi Pansel.

  Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan ini para penggugat  mengajukan permohonan ke majelis hakim PTUN  agar mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya. Kedua menyatakan batal atau tidak sah keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 159/TPA Tahun 2020 tentang pengangkatan pejabat pimpinan tinggi madya di lingkungan Pemprov Papua tanggal 23 September 2020 kemudian mewajibkan kepada tergugat untuk mencabut Surat Keputusan tanggal 23 September 2020, mewajibkan kepada Presiden untuk memutuskan calon Sekda Papua yang sah Doren Wakerkwa, SH, sesuai dengan hasil Pansel. 

 “Kami pikir ada sejumlah poin termasuk asas yang dilanggar dan kami menuntut agar majelis hakim bisa memberi pertimbangan yang baik dan mengabulkan  seluruh gugatan kami. Tentunya kami berharap Papua juga bisa memiliki sosok Sekda yang lahir dari aturan yang tak berpolemik,” pungkas Habel. (ade/nat)

Habel Rumbiak SH, SpN ( FOTO: Habel For Cepos)

JAYAPURA-Sudah cukup lama Papua belum memiliki sekda definitif dan persoalan ini nampaknya masih sedap dibahas. Meski sebelumnya sudah ada tiga nama dari proses seleksi yang diusulkan ke pemerintah pusat dimana Doren Wakerwa mendapatkan nilai tertinggi, namun Presiden Jokowi memiliki pendapat lain dan lebih memilih nama Dance Yulian Flassy sebagai Sekda Papua lewat keputusan presiden (Kepres).  

 Dasar inilah yang membuat sejumlah tokoh asal Papua yaitu Deerd Tabuni, SE., sebagai penggugat I, Benny Kogoya sebagai Penggugat II, Yan Wenda  sebagai penggugat III dan Natiben Kogoya sebagai Penggugat IV bertolak ke Jakarta untuk mengajukan gugatannya. 

Tercatat ada empat penasehat hukum yang menerima kuasa dan mengajukan gugatan yakni Habel Rumbiak, SH, SpN, Dr. Heru Widodo, SH, MH, Ivan Robert Kairupan dan SH Ana Rita Yocelina Ohee, SH.  

 Gugatan ini resmi didaftarkan ke PTUN Jakarta, Jumat (13/11) dengan perihal Gugatan  Pembatalan Terhadap Keputusan Presiden Republik Indonesia    Nomor 159/TPA Tahun 2020 Tentang Pengangkatan Pejabat Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua tanggal 23 September 2020. Adapun pihak yang digugat adalah Presiden Joko Widodo. 

Dalam perkara ini yang menjadi objek gugatan adalah Surat Keputusan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 159/TPA Tahun 2020 Tentang Pengangkatan Pejabat Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua tertanggal 23 September 2020.

Para pihak mengajukan gugatan dengan alasan-alasan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan Sekretaris Daerah Provinsi Papua maka telah dibentuk Panitia Seleksi (Pansel) Jabatan Pimpinan Tinggi di Lingkungan Provinsi Papua. Lalu setelah ditetapkan,  Pansel mulai bekerja dengan melakukan serangkaian seleksi mulai dari tes assessment, penulisan makalah, wawancara,  dan lainnya guna menjaring calon yang tepat untuk mengisi jabatan Sekda Papua. 

Nah setelah rangkaian tes dilakukan secara profesional dan ketat, Pansel akhirnya mengumumkan “raport” seleksi terbuka jabatan pimpinan tinggi madya di lingkungan Pemprov Papua dengan hasil Doren Wakerkwa, SH., mengantongi nilai 74,99, Drs. Wasuok Demianus Siep memiliki nilai 67,49, Dance Yulian Flassy SE, M.Si memiliki nilai 67,30 dan Dr Juliana J Waromi SE, M.Si memiliki nilai 66,96. 

Baca Juga :  Pelni Jayapura Tunggu Juknis Pemprov Papua

“Disini jelas perbedaan angka yang diperoleh dan menurut klien kami Pak Doren mengantongi nilai tertinggi dibanding tiga lainnya namun mengapa bukan beliau yang terpilih. Kalau begini lalu buat apa ada tes,” kata Habel Rumbiak, Minggu (15/11). 

 Dari hasil ini Pansel kemudian menyerahkan hasil seleksi ke Kementerian Dalam Negeri melanjutkan mengusulkan 3 (tiga) nama teratas ke Presiden pada tanggal 15 Juli 2020. Namun pada 23 September 2020 Presiden  memutuskan Dance Yulian Flassy, SE, M.Si yang menduduki peringkat ketiga sebagai calon Sekretaris Daerah Provinsi Papua melalui Keputusannya Nomor 159/TPA Tahun 2020. 

 “Akan tetapi hasil ternyata Presiden tidak menjadikan hasil seleksi tersebut sebagai acuan memutuskan calon mengisi posisi Sekda Papua dan tidak memperhatikan kekhususan daerah Papua yang masih tunduk pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi  Papua,” beber  Habel. 

Selain itu dari SK Presiden yang dalam konsiderannya sama sekali tidak menyebutkan tentang UU Nomor 21 Tahun 2001 sebagai salah satu dasar hukum pertimbangan hukumnya.

Nah calon atas nama Dance Yulian Flassy, SE, M.Si yang diputuskan oleh presiden  inilah yang menjadi pokok sengketa atau permasalahan dalam gugatan yang diajukan ke PTUN Jakarta Timur. Dimana menurut para penggugat tidak ada alasan hukum yang patut bagi Presiden untuk mengesampingkan calon atas nama Doren Wakerkwa, SH, sebagai Calon Sekda Papua yang merupakan calon nomor urut 1 yang lolos seleksi dari Pansel. Kedua tak ada alasan hukum juga yang patut bagi Presiden untuk memutuskan calon atas nama Dance Yulian Flassy, SE, M.Si sebagai Calon Sekda Papua.

 “Kami menganggap Presiden telah melakukan pelanggaran karena memutuskan calon atas nama Dance Yulian Flassy, SE, M.Si yang tidak memenuhi syarat secara maksimal dan keputusan tergugat memilih Dance Yulian Flassy, SE, M.Si nyata-nyata melanggar hasil seleksi yang dilakukan Pansel sekaligus mempermalukan Pansel  dan calon lainnya yang mengikuti secara adil,” sambung Habel.  Ini juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa (Onrechmatige Overheids Daad).

Baca Juga :  ASN Pemprov Papua Wajib Ikut Upacara

 Para penasehat hukum penggugat juga melihat bahwa  tindakan tergugat untuk menerbitkan objek gugatan tanpa memperhatian  hasil seleksi Pansel UU Otsus Papua merupakan perbuatan yang bertentangan pula dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi Pemerintahan. 

 “Asas ini terdiri dari asas kepastian hukum, dimana tergugat melanggar asas kepastian hukum karena dengan memutuskan untuk memilih calon Sekda Papua yang tidak memenuhi syarat secara maksimal, justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan menimbulkan sengketa hukum,” ujar Habel menguraikan isi atau maksud asas itu sendiri. Lalu asas lainnya yakni asas Tertib Penyelenggaraan Negara dimana dikatakan keputusan tergugat bertentangan dengan asas tertib penyelenggaraan negara karena tergugat tidak taat asas dan tidak tertib karena memutuskan untuk memilih calon sekretaris daerah Provinsi Papua yang tidak memenuhi syarat maksimal sesuai dengan hasil seleksi Pansel.

  Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan ini para penggugat  mengajukan permohonan ke majelis hakim PTUN  agar mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya. Kedua menyatakan batal atau tidak sah keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 159/TPA Tahun 2020 tentang pengangkatan pejabat pimpinan tinggi madya di lingkungan Pemprov Papua tanggal 23 September 2020 kemudian mewajibkan kepada tergugat untuk mencabut Surat Keputusan tanggal 23 September 2020, mewajibkan kepada Presiden untuk memutuskan calon Sekda Papua yang sah Doren Wakerkwa, SH, sesuai dengan hasil Pansel. 

 “Kami pikir ada sejumlah poin termasuk asas yang dilanggar dan kami menuntut agar majelis hakim bisa memberi pertimbangan yang baik dan mengabulkan  seluruh gugatan kami. Tentunya kami berharap Papua juga bisa memiliki sosok Sekda yang lahir dari aturan yang tak berpolemik,” pungkas Habel. (ade/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya