
JAYAPURA- Menyikapi situasi di Papua maupun di luar Papua, sejak ujaran rasis terhadap mahasiswa Papua di asrama mahasiswa di Surabaya maupun Malang, yang berdampak pada gelombang protes demonstrasi di beberapa kota/kabupaten di Papua dan Papua Barat.
Seperti di Jayapura, Manokwari, Sorong, Fak-fak, Kaimana, Nabire dan kabupaten lainnya, menurut tokoh Papua, Thaha Alhamid, perlu diselesaikan secara tuntas. Terutama rekonsiliasi dan membuka komunikasi pada tingkat masyarakat.
Dikatakan, hal yang dari dulu selalu dirinya selalu khawatirkan, yakni bahwa ternyata integrasi kebangsaan ini belum selesai. Belum bisa saling menerima setiap eksistensi yang ada, yang beragam di negara ini. Itu artinya, tugas berat bagi Negara untuk menjawabnya. “ Sedikit tersulut persoalan agama pasti kacau. Persoalan entitas etnis, bisa bikin ricuh, atau sedikit tersulut persoalan perbedaan sangat mungkin memunculkan konflik,” ujarnya.
Disini, negara harus betul-betul perhatikan dan selesaikan. Sebab yang terjadi saat ini bukan cuma disintegrasi geografis, tapi yang utama disintegrasi sosial dan disintegrasi kebangsaan.
Khusus terhadap kasus Papua, menurut Thaha Alhamid, walaupun gubernur sudah minta maaf, pejabat ini dan itu berbicara di media, namun itu sifatnya di kalangan elit saja. Sebab yang terpenting dilakukan sosialisasi, bangun pemahaman yang benar soal integrasi kebangsaan.
Dirinya mengingatkan, untuk masalah disintegrasi sosial, jangan hanya berpikir menyelesaikan persoalan ini ditingkat elitis. “Jokowi hendak undang tokoh-tokoh untuk bicara, menurut saya itu tidak ada arti. Sebab penyelesaian yang lebih baik, yakni komunikasi, buka hati di antara rakyat dengan rakyat, people to people. Ini yang penting supaya bisa saling menerima, saling memperkuat integritas yang ada ini,” ungkap Sekjen PDP ini.
Dikatakan, sepanjang penyelesaian yang sifatnya cuma asesoris belaka, yakni kumpul-kumpul lalu bikin video atau pernyataan lewat media, dan lainnya, itu hanya manis di bibir saja.
Bagaimana dengan tuntutan rakyat Papua terkait dengan pelaku rasisme ? menurut Thaha, pelaku Rasisme harus ditemukan dan dihukum sesuai aturan yang berlaku. “ Polisi punya peralatan yang cangih, pasti mudah ditemukan, apalagi rakyat awam sudah tahu duluan karena ada videonya yang jelas memperlihatkan siapa pelakunya,” ujarnya.
Terkait aksi di beberapa daerah di Papua, bahkan ada yang terjadi kekerusakan seperti di Manokwari dan bentrok di Fakfak, menurut Thana Alhamid, yang terpenting saat ini adalah perlu Rekonsiliasi.
“ Di Papua termasuk di Fakfak, itu ada media-media adat, untuk melakukan proses-proses rekonsiliasi. Itu harus dihidupkan dan didorong,” tergasnya.
Dirinya sangat menyayangkan aksi massa yang terjadi di Fakfak. Menurutnya, penyebab terjadinya aksi massa ini karena ada yang tersumbat. “Sesama negeri harus mau rekonsiliasi, jika ingin keadaan menjadi lebih baik, dan yang terpenting, rekonsilitasi dalam lingkup mikro yakni pada tingkat kampung dengan kampung,” tegasnya.
Dirinya berharap, rekonsiliasi ini bisa difasilitasi oleh pihak gereja, masjid, agama-agama bisa membangun akses yng kuat untuk itu.
Dirinya tambahkan, bahwa perlu juga ada koreksi secara internal di Papua, yakni pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten harus menata kembali keberadaan asrama-asrama mahasiswa di Luar Papua, terutama di Pulau Jawa. “ Asrama-asrama mahasiswa ini perlu ditata agar tidak menjadi sesuatu yang ekslusif, yang jauh dari komunitas setempat, tanpa membendakan agama, suku, sebainya penghuni asrama itu bisa terlibat di dalam kegiatan-kegiatan social kemasyarakatan di lingkungan dimana mereka berada,” paparnya.
Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan bahwa penegakan hukum menjadi satu-satunya jaminan untuk menyelesaikan kasus rasisme dan diskriminasi yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya, Malang dan daerah lainnya.
Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM RI Perwakilan Papua Frits Ramandey mengatakan, dalam penyelesaian kasus ini agar tidak terulang dikemudian hari, tidak bisa berharap kepada Presiden ataupun Kapolri. Melainkan penegakan hukum secara cepat tanpa memandang minoritas ataupun mayoritas.
Menurut Frits, pelaku pemicu kegaduhan haruslah disidangkan secara cepat. Entah itu oknum anggota ataupun oknum masyarakat yang terlibat secara massal.
“Dengan tindakan cepat pihak Kepolisian terhadap penyelesaian kasus ini, itu memberikan rasa keadilan kepada orang Papua,” tegas Frits saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Senin (26/8) kemarin.
Lanjut Frits, jika tindakan tegas sudah dilakukan dan kemudian hal serupa terjadi dikemudian hari. Ini menunjukkan bahwa ada kegagalan sebagai bangsa. Artinya pemerintah tidak sanggup memberikan sosialisasi tentang pentingnya hidup berbangsa dan bernegara untuk saling menghormati dalam keberagaman.
“Kalau kasus serupa berulang lagi, ini menunjukkan bahwa kelalain pemerintah dalam melakukan sosialisasi dan membangun rasa sebuah bangsa,” tegas Frits.
Terkait persoalan yang terjadi saat ini, Komnas HAM menurut Frits telah membentuk tim dan sudah melakukan investigasi di Kabupaten Manokwari, Sorong, dan akan dilanjutkan di Timika dan Fak-fak.
Tim ini menjadi penting untuk memastikan bahwa kejadian itu dilakukan oleh oknum atau kelompok. Tim ini mengungkapkan suatu peristiwa menjadi laporan pembanding terhadap kerja- kerja polisi dalam rangka mengungkap kasus tersebut.
“Tim ini juga menunjukan kepada mahasiswa Papua yang sedang studi di luar Papua bahwa pemerintah memberikan perhatian dan respon terhadap situasi yang sedang mereka alami saat ini,” tuturnya.
Yang terjadi di Papua saat ini menurut Frits bukanlah demonstrasi. Tetapi gerakan moral dalam rangka menggugat hidup sebagai bangsa untuk bisa saling menerima keberagaman, saling menghargai dan menjaga toleransi demi bangsa ini sendiri.
“Situasi Papua memang sudah kondusif. Namun perlu diingat penegakan hukum menjadi jawaban terhadap perasaan psikologi dari orang Papua saat ini. Saya juga meminta masyarakat di Papua yang hendak melakukan gerakan protes moral sebagai gugatan kepada orang Indonesia lain di daerah lain jangan anarkis,” pintanya.
Sementara itu, terkait dengan perlakuan rasisme yang dialami oleh mahasiswa Papua, menurut Frits Pasal UU 40 tahun 2008 itu memberi jaminan sebuah kepastian tentang ujaran kebencian dan ujaran rasis yang wajib untuk diproses secara hukum.
Sementara itu, ribuan masyarakat di daerah Pegunungan Tengah Papua atau wilayah adat La Pago, kemarin menggelar aksi demo damai di halaman kntor Bupati Jayawijaya.
Dalam aksi demo yang difasilitasi Dewan Adat Papua, massa menolak permintaan maaf yang disampaikan oleh pemerintah pusat dan menuntut keadilan memproses oknum yang menyuarakan rasisme.
Ketua Dewan Adat Papua, Dominikus Sorabut menyebutkan ada tiga hal penting yang dituntut dalam aksi demo damai ini. Yaitu, anak-anak Papua yang sedang belajar atau kuliah di seluruh Indonesia pulang ke tanah Papua agar mereka dapat dihargai seperti manusia dan melanjutkan pendidikannya di Papua.
“Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat bersama dengan masyarakat adat akan membiayai kepulangan mahasiswa Papua yang kuliah di luar Papua,” tandasnya.
Aspirasi ribuan masyarakat ini diterima langsung Bupati Jayawijaya, Jhon Richard Banua didampingi Forkopimda Kabupaten Jayawijaya.
Mewakili pemerintah, Bupati Jhon Banua mengatakan, Forkopimda Kabupaten Jayawijaya telah menerima aspirasi masyarakat La Pago. Aspirasi ini akan diteruskan ke Gubernur Papua dan dilanjutkan ke Presiden Joko Widodo.
“Mewakili pemerintah kami mengucapkan terima kasih kepada semua masyarakat La Pago yang bisa menjaga keamanan di Jayawijaya dengan aman dan tertib dalam menyampaikan aspirasi,” tuturnya.
Di tempat yang sama Kapolres Jayawijaya AKBP. Tonny Ananda Swadaya juga mengapresiasi masyarakat yang menyampaikan aspirasi secara tertib, aman dan damai. “Kami sangat memberikan apresiasi kepada masyarakat Jayawijaya yang dengan konsisten melaksanakan demo dengan damai dan tak ada kegiatan anarkis,” pungkasnya. (luc/fia/jo/nat)