Friday, March 29, 2024
25.7 C
Jayapura

250 Ha Kawasan Mangrove Hilang, Ancaman Mikro Plastik Kian Nyata

Suasana diskusi Beda Plastik, Merawat yang Tersisa yang dilakukan di Rumah Bakau Jayapura, Ahad (25/4) kemarin. Disini tercatat banyak sekali ancaman dari keberadaan ekosistem mangrove plus ancaman dari mikro plastik. (Gamel Cepos)

JAYAPURA – Upaya  untuk mempertahankan kawasan ekosistem mangrove di Kota Jayapura nampaknya tak mudah. Tak sekedar membutuhkan komitmen tetapi nampaknya perlu diproteksi dengan sebuah regulasi. Derasnya pembangunan seiring bertambahnya populasi penduduk menjadi satu indokator utama hilangnya kawasan mangrove. Laju ini jika tak dibendung maka potensi degradasi semakin terbuka.

 Bahkan menurut Ketua Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan FMIPA Universitas Cenderawasih, John Kalor  ada sekitar 250 Ha kawasan mangrove yang sudah hilang dalam kurun waktu beberapa  dekade terakhir. “Jadi saat dulunya kawasan mangrove ini ada 500 an hektar tapi saat ini tersisa 233 Ha atau hilang sekitar 50 persennya. Saya mencatat di tahun 2000 laju kehilangan kawasan ini sangat cepat tapi di tahun 2021 ini perlahan menurun,” kata John dalam kegiatan Bedah Plastik, Merawat yang Tersisa yang digelar Rumah Bakau Jayapura bersama Greenpeace dan Ocean Defender di Sekretariat Rumah Bakau di Pantai Hamadi, Ahad (25/4).

Baca Juga :  Harusnya Sosmed yang Diblok Bukan Internet

 Ia melihat laju ini bisa tertahan tak lepas dari upaya untuk terus menyuarakan pentingnya kawasan ekosistem mangrove termasuk komitmen masyarakat adat untuk tidak melepas. “Saya pikir ekosistem mangrove ini tak hanya bicara soal tempat mencari bia atau kerang tetapi ada fungsi ekologi dan sosialnya. Ini yang patut dipahami,” kata John. Dosen Uncen ini juga mewanti bahwa ancaman lain yang muncul adalah soal limbah logam berat yang mencemari perairan. “Dan itu sudah terjadi. Saya pikir pengambil kebijakan harus lebih aware,” tegasnya. 

 Sementara Yayan Sofyan, salah satu guru Biologi SMA PGRI Waena lebih banyak berbicara soal sampah plastik. Ia menyebut pertambahan penduduk berbanding lurus dengan pertambahan limbah dan dari desakan populasi akan berdampak dimana semakin banyak orang yang ingin memiliki tempat tinggal sehingga ada  tutupan baru bermunculan,” bebernya. Ia mencatat harusnya masyarakat khawatir dengan kondisi terkini dimana ancaman lain yang juga muncul adalah berkaitan dengan mikro plastik . 

Baca Juga :  Turun 50 Persen, Sejumlah Intake PDAM Termakan Usia

 “Dan saya pikir kita semua sudah terpapar, saat ini garam yang dikonsumsi juga bisa jadi sudah terkontaminasi dengan mikro plastik  makanya tidak heran jika ada orang yang lebih memilih memesan garam dari negara luar  yang mengolah atau mendapatkan garam dari gunung, bukan dari laut,” jelasnya. Ia menyebut bahwa dari data menyebut 1 lembar plastik  menghasilkan 84 ribu mikro plastik  dan tidak menutup kemungkinan tahun 2050 jumlah plastik  akan lebih banyak ketimbang ikan di laut,” tutupnya. (ade/wen)

Suasana diskusi Beda Plastik, Merawat yang Tersisa yang dilakukan di Rumah Bakau Jayapura, Ahad (25/4) kemarin. Disini tercatat banyak sekali ancaman dari keberadaan ekosistem mangrove plus ancaman dari mikro plastik. (Gamel Cepos)

JAYAPURA – Upaya  untuk mempertahankan kawasan ekosistem mangrove di Kota Jayapura nampaknya tak mudah. Tak sekedar membutuhkan komitmen tetapi nampaknya perlu diproteksi dengan sebuah regulasi. Derasnya pembangunan seiring bertambahnya populasi penduduk menjadi satu indokator utama hilangnya kawasan mangrove. Laju ini jika tak dibendung maka potensi degradasi semakin terbuka.

 Bahkan menurut Ketua Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan FMIPA Universitas Cenderawasih, John Kalor  ada sekitar 250 Ha kawasan mangrove yang sudah hilang dalam kurun waktu beberapa  dekade terakhir. “Jadi saat dulunya kawasan mangrove ini ada 500 an hektar tapi saat ini tersisa 233 Ha atau hilang sekitar 50 persennya. Saya mencatat di tahun 2000 laju kehilangan kawasan ini sangat cepat tapi di tahun 2021 ini perlahan menurun,” kata John dalam kegiatan Bedah Plastik, Merawat yang Tersisa yang digelar Rumah Bakau Jayapura bersama Greenpeace dan Ocean Defender di Sekretariat Rumah Bakau di Pantai Hamadi, Ahad (25/4).

Baca Juga :  Grand Desain Penggunaan Dana Otsus Perlu Dibentuk

 Ia melihat laju ini bisa tertahan tak lepas dari upaya untuk terus menyuarakan pentingnya kawasan ekosistem mangrove termasuk komitmen masyarakat adat untuk tidak melepas. “Saya pikir ekosistem mangrove ini tak hanya bicara soal tempat mencari bia atau kerang tetapi ada fungsi ekologi dan sosialnya. Ini yang patut dipahami,” kata John. Dosen Uncen ini juga mewanti bahwa ancaman lain yang muncul adalah soal limbah logam berat yang mencemari perairan. “Dan itu sudah terjadi. Saya pikir pengambil kebijakan harus lebih aware,” tegasnya. 

 Sementara Yayan Sofyan, salah satu guru Biologi SMA PGRI Waena lebih banyak berbicara soal sampah plastik. Ia menyebut pertambahan penduduk berbanding lurus dengan pertambahan limbah dan dari desakan populasi akan berdampak dimana semakin banyak orang yang ingin memiliki tempat tinggal sehingga ada  tutupan baru bermunculan,” bebernya. Ia mencatat harusnya masyarakat khawatir dengan kondisi terkini dimana ancaman lain yang juga muncul adalah berkaitan dengan mikro plastik . 

Baca Juga :  Data Petugas Kebersihan Digelembungkan, Wali Kota Berang

 “Dan saya pikir kita semua sudah terpapar, saat ini garam yang dikonsumsi juga bisa jadi sudah terkontaminasi dengan mikro plastik  makanya tidak heran jika ada orang yang lebih memilih memesan garam dari negara luar  yang mengolah atau mendapatkan garam dari gunung, bukan dari laut,” jelasnya. Ia menyebut bahwa dari data menyebut 1 lembar plastik  menghasilkan 84 ribu mikro plastik  dan tidak menutup kemungkinan tahun 2050 jumlah plastik  akan lebih banyak ketimbang ikan di laut,” tutupnya. (ade/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya