Friday, April 19, 2024
33.7 C
Jayapura

Mau Nangis Tapi Bingung, Malu Karena Makan Numpang Sana Sini

Para penumpang asal Saireri ketika mendengar arahan sebelum keberangkatan dari Pelabuhan Jayapura, Kamis (11/6) kemarin. Ada ribuan warga yang “terjebak” di Jayapura dan masing – masing memiliki cerita sedih dan penuh perjuangan selama menunggu akses transportasi dibuka. (Gamel Cepos)

Mendengar Kisah Warga yang “Terjebak” di Jayapura Setelah Akses Transportasi Ditutup Pemerintah

Sebuah langkah cepat diambil  pemerintah Provinsi Papua seketika mengetahui ada yang sudah terjangkit Covid-19. Akses penerbangan dan pelabuhan ditutup. Ribuan warga tak bisa apa-apa akibat kebijakan penutupan Bandara dan Pelabuhan, Apa perasaan mereka?.

Laporan : Abdel Gamel Naser 

Ngerinya penularan covid 19 di berbagai negara besar di dunia termasuk informasi yang beredar cepat tentang ganasnya covid hingga menewaskan penduduk dengan jumlah ratusan bahkan ribuan dalam sekejap nampaknya berhasil mendorong pemerintah Provinsi Papua untuk mengambil langkah segera terkait pencegahan. Papua dengan jumlah penduduk tak lebih dari 4 juta jiwa jika terjangkit maka bisa dibayangkan berapa banyak yang akan tumbang. 

 Alhasil pada 26 Maret pemerintah resmi menutup akses transportasi baik di pelabuhan maupun di bandara.  Tujuannya hanya satu, tak ada penyebaran yang masive terjadi di Papua. Hanya sayangnya niat menyelamatkan ini memberi ekses lain yakni banyaknya korban. Disebut korban bukan bersentuhan dengan covid melainkan mereka yang “terjebak” di daerah lain. Di Jayapura sendiri jumlahnya tak sedikit, ribuan warga luar terjebak dan bingung harus berbuat apa. Bagi mereka yang berduit dan terjebak dimanapun mungkin tidak masalah. 

 Tapi bagaimana dengan mereka yang berstatus petani, pegawai harian termasuk buruh yang bukan ber KTP Jayapura atau yang datang hanya numpang kerja sementara. Ini baru di Jayapura, belum yang tertahan di kabupaten lain bahkan di luar Papua termasuk mereka yang ingin kembali ke Papua dari luar negeri. Artinya kebijakan menutup akses disatu sisi ingin menyelamatkan namun tidak memperhitungkan mereka yang harusnya pulang lebih dulu. Untungnya ini segera disikapi dengan ramai –ramai mendrop bahan makanan meski banyak juga yang tak kebagian. 

 Cenderawasih Pos berhasil  mendapat beberapa cerita dari mereka yang jadi korban pembatasan akses ini. “Yang jelas sudah bingung mas, bingung mau ngapain. Uang habis, bekal makanan menipis dan tidak tahu mau bagaimana,” kata Eko Prasetyo, salah satu tenaga buruh bangunan di Jayapura. Eko sendiri berasal dari Semarang, Jawa Tengah. Ia bersama 16 teman lainnya datang ke Jayapura untuk mengerjakan pekerjaan salah satu venue PON di Jayapura. Kontraknya sendiri telah berakhir sejak awal Maret lalu dan disaat akan pulang ternyata akses sudah ditutup.

Baca Juga :  Intensitas Hujan Bulan Maret Tergolong Normal

 Alhasil gaji selama ia bekerja harus habis untuk  membeli makanan. Terkadang mereka juga harus saling sumbang untuk membeli makanan. “Kami tinggal di mes tapi kontrak kan sudah habis jadi mau tidak mau harus keluar. Kami sudah tidak ada kaitan dengan pekerjaan venue lagi apalagi sudah selesai, tapi mau bagaimana,” bebernya. Eko mengaku bingung karena duit yang dipegang menipis dan ia juga harus pulang membeli tiket. Belum lagi keluarga atau anak dan istri menghubungi menanyakan setiap hari.

 “Kadang mau menangis kalau telponan tapi menangis juga tidak selesaikan masalah. Perut tetap lapar dan tidur juga tidak tahu harus numpang kemana,” ceritanya. 

 Untungnya kata Eko ia sempat mendapat bantuan sembako sehingga bisa dipakai beberapa hari bersama teman-temannya. Namun saat ini ia bisa lebih tenang setelah pihak paguyuban melakukan pendataan dan menampung semua mulai tempat tinggal hingga makan. “Ia kami bersyukur, kemarin bingung mau tidur mau makan bagaimana,” ceritanya. Selain Eko aa juga seorang gembala bernama Andreas. Pria ini berasal dari pegunungan dan  datang ke Jayapura karena ada kegiatan sekaligus  untuk mengambil obat kemo therapy bagi sang ibu. 

 Ia awalnya merencanakan paling lama seminggu sudah kembali namun seteah urusannya selesai ternyata akses sudah ditutup. Adreas akhirnya memilih menumpang di rumah sanak familinya di Sentani. Hanya meskipun masih ada hubungan keluarga jika bukan rumah sendiri tetap dianggap tak nyaman. “Saya datang sekalian cari obat dan setelah obatnya dapat kemudian mau pulang tapi sudah tidak bisa. Saya sedih karena obat buat ibu saya ini sudah berbulan – bulan saya pegang dan saya pikir  sudah expired (kadaluarsa) dan tidak bisa digunakan lagi, kondisi ibu saya pasti lebih buruk,” bebernya.

Baca Juga :  Seharusnya Masuk Kota Jayapura Harus Antigen

 Cobaan belum berhenti disitu, menumpang berbulan – bulan di rumah sanak keluarga ternyata makin tak nyaman. Andreas mengaku kadang ia mendengar ada kalimat yang tidak enak termasuk sikap tuan rumah yang tak lagi ramah. “Kadang sudah membanting pintu dan itu membuat saya sedih sekali. Saya malu karena terus tinggal disitu tapi mau bagaimana lagi,” ungkapnya. Seorang Wanita bernama Susance juga merasakan hal serupa. Ia berada di Jayapura karena suka ikut kapal dan berjualan di kapal. 

 Nah setibanya di Jayapura ternyata pekan depannya pemerintah sudah membatasi akses pelabuhan yang mengangkut penumpang. Iapun harus “terdampar” di rumah keluarganya di Weref untuk beberapa bulan. Susance menyebut selama hampir 4 bulan ia tak memiliki penghasilan dan hanya bisa membantu pekerjaan rumah. “Jelas rindu dengan rumah makanya hari ini saya harus pastikan bisa pulang. Rumah saya ada di Supiori dan bagi saya mending tidak ada uang tapi di rumah sendiri ketimbang tidak punya uang namun berada di tempat orang,” bebernya.

 Apalagi untuk hidup di Supiori ia tak perlu pusing. Ikan dan sayur mayur mudah diperoleh. “Kalau mau ikan tinggal mending dan kalau butuh sayur itu juga banyak di kebun. Tidak punya uang tapi kami bisa tenang. Disini (Jayapura) tidak, jadi saya mending tidak punya uang tapi di rumah sendiri,”  sambungnya. Menariknya wanita yang memiliki tato di lengannya ini mengaku tak takut dengan covid 19. Baginya covid seperti penyakit biasa. “Di Jayapura saja saya pakai masker, kalau di kampung kami tidak perlu masker. Saya percaya Tuhan menjaga saya,” tutupnya. (*/wen) 

Para penumpang asal Saireri ketika mendengar arahan sebelum keberangkatan dari Pelabuhan Jayapura, Kamis (11/6) kemarin. Ada ribuan warga yang “terjebak” di Jayapura dan masing – masing memiliki cerita sedih dan penuh perjuangan selama menunggu akses transportasi dibuka. (Gamel Cepos)

Mendengar Kisah Warga yang “Terjebak” di Jayapura Setelah Akses Transportasi Ditutup Pemerintah

Sebuah langkah cepat diambil  pemerintah Provinsi Papua seketika mengetahui ada yang sudah terjangkit Covid-19. Akses penerbangan dan pelabuhan ditutup. Ribuan warga tak bisa apa-apa akibat kebijakan penutupan Bandara dan Pelabuhan, Apa perasaan mereka?.

Laporan : Abdel Gamel Naser 

Ngerinya penularan covid 19 di berbagai negara besar di dunia termasuk informasi yang beredar cepat tentang ganasnya covid hingga menewaskan penduduk dengan jumlah ratusan bahkan ribuan dalam sekejap nampaknya berhasil mendorong pemerintah Provinsi Papua untuk mengambil langkah segera terkait pencegahan. Papua dengan jumlah penduduk tak lebih dari 4 juta jiwa jika terjangkit maka bisa dibayangkan berapa banyak yang akan tumbang. 

 Alhasil pada 26 Maret pemerintah resmi menutup akses transportasi baik di pelabuhan maupun di bandara.  Tujuannya hanya satu, tak ada penyebaran yang masive terjadi di Papua. Hanya sayangnya niat menyelamatkan ini memberi ekses lain yakni banyaknya korban. Disebut korban bukan bersentuhan dengan covid melainkan mereka yang “terjebak” di daerah lain. Di Jayapura sendiri jumlahnya tak sedikit, ribuan warga luar terjebak dan bingung harus berbuat apa. Bagi mereka yang berduit dan terjebak dimanapun mungkin tidak masalah. 

 Tapi bagaimana dengan mereka yang berstatus petani, pegawai harian termasuk buruh yang bukan ber KTP Jayapura atau yang datang hanya numpang kerja sementara. Ini baru di Jayapura, belum yang tertahan di kabupaten lain bahkan di luar Papua termasuk mereka yang ingin kembali ke Papua dari luar negeri. Artinya kebijakan menutup akses disatu sisi ingin menyelamatkan namun tidak memperhitungkan mereka yang harusnya pulang lebih dulu. Untungnya ini segera disikapi dengan ramai –ramai mendrop bahan makanan meski banyak juga yang tak kebagian. 

 Cenderawasih Pos berhasil  mendapat beberapa cerita dari mereka yang jadi korban pembatasan akses ini. “Yang jelas sudah bingung mas, bingung mau ngapain. Uang habis, bekal makanan menipis dan tidak tahu mau bagaimana,” kata Eko Prasetyo, salah satu tenaga buruh bangunan di Jayapura. Eko sendiri berasal dari Semarang, Jawa Tengah. Ia bersama 16 teman lainnya datang ke Jayapura untuk mengerjakan pekerjaan salah satu venue PON di Jayapura. Kontraknya sendiri telah berakhir sejak awal Maret lalu dan disaat akan pulang ternyata akses sudah ditutup.

Baca Juga :  Jangan Selalu Berharap Pada Pemerintah

 Alhasil gaji selama ia bekerja harus habis untuk  membeli makanan. Terkadang mereka juga harus saling sumbang untuk membeli makanan. “Kami tinggal di mes tapi kontrak kan sudah habis jadi mau tidak mau harus keluar. Kami sudah tidak ada kaitan dengan pekerjaan venue lagi apalagi sudah selesai, tapi mau bagaimana,” bebernya. Eko mengaku bingung karena duit yang dipegang menipis dan ia juga harus pulang membeli tiket. Belum lagi keluarga atau anak dan istri menghubungi menanyakan setiap hari.

 “Kadang mau menangis kalau telponan tapi menangis juga tidak selesaikan masalah. Perut tetap lapar dan tidur juga tidak tahu harus numpang kemana,” ceritanya. 

 Untungnya kata Eko ia sempat mendapat bantuan sembako sehingga bisa dipakai beberapa hari bersama teman-temannya. Namun saat ini ia bisa lebih tenang setelah pihak paguyuban melakukan pendataan dan menampung semua mulai tempat tinggal hingga makan. “Ia kami bersyukur, kemarin bingung mau tidur mau makan bagaimana,” ceritanya. Selain Eko aa juga seorang gembala bernama Andreas. Pria ini berasal dari pegunungan dan  datang ke Jayapura karena ada kegiatan sekaligus  untuk mengambil obat kemo therapy bagi sang ibu. 

 Ia awalnya merencanakan paling lama seminggu sudah kembali namun seteah urusannya selesai ternyata akses sudah ditutup. Adreas akhirnya memilih menumpang di rumah sanak familinya di Sentani. Hanya meskipun masih ada hubungan keluarga jika bukan rumah sendiri tetap dianggap tak nyaman. “Saya datang sekalian cari obat dan setelah obatnya dapat kemudian mau pulang tapi sudah tidak bisa. Saya sedih karena obat buat ibu saya ini sudah berbulan – bulan saya pegang dan saya pikir  sudah expired (kadaluarsa) dan tidak bisa digunakan lagi, kondisi ibu saya pasti lebih buruk,” bebernya.

Baca Juga :  RAPBD Kota Jayapura Tahun 2024 Turun Rp 3 Miliar Lebih

 Cobaan belum berhenti disitu, menumpang berbulan – bulan di rumah sanak keluarga ternyata makin tak nyaman. Andreas mengaku kadang ia mendengar ada kalimat yang tidak enak termasuk sikap tuan rumah yang tak lagi ramah. “Kadang sudah membanting pintu dan itu membuat saya sedih sekali. Saya malu karena terus tinggal disitu tapi mau bagaimana lagi,” ungkapnya. Seorang Wanita bernama Susance juga merasakan hal serupa. Ia berada di Jayapura karena suka ikut kapal dan berjualan di kapal. 

 Nah setibanya di Jayapura ternyata pekan depannya pemerintah sudah membatasi akses pelabuhan yang mengangkut penumpang. Iapun harus “terdampar” di rumah keluarganya di Weref untuk beberapa bulan. Susance menyebut selama hampir 4 bulan ia tak memiliki penghasilan dan hanya bisa membantu pekerjaan rumah. “Jelas rindu dengan rumah makanya hari ini saya harus pastikan bisa pulang. Rumah saya ada di Supiori dan bagi saya mending tidak ada uang tapi di rumah sendiri ketimbang tidak punya uang namun berada di tempat orang,” bebernya.

 Apalagi untuk hidup di Supiori ia tak perlu pusing. Ikan dan sayur mayur mudah diperoleh. “Kalau mau ikan tinggal mending dan kalau butuh sayur itu juga banyak di kebun. Tidak punya uang tapi kami bisa tenang. Disini (Jayapura) tidak, jadi saya mending tidak punya uang tapi di rumah sendiri,”  sambungnya. Menariknya wanita yang memiliki tato di lengannya ini mengaku tak takut dengan covid 19. Baginya covid seperti penyakit biasa. “Di Jayapura saja saya pakai masker, kalau di kampung kami tidak perlu masker. Saya percaya Tuhan menjaga saya,” tutupnya. (*/wen) 

Berita Terbaru

Artikel Lainnya