Ketika itu, kawasan Mosso masih berupa hutan lebat. Abisai membangun tiga rumah sederhana sebagai titik awal pemukiman. “Saya sendiri tinggal di gubuk pinggir hutan. Tapi niat saya cuma satu: saudara-saudara saya harus hidup di atas tanahnya sendiri,” tegasnya.
Perlahan, satu per satu warga Mosso kembali. Kehidupan adat yang sempat hilang, kini tumbuh lagi. Abisai sebagai Ondoafi Skouw Yambe bersama Ondoafi Skouw Sae dan Mabo, menegaskan pengakuan bahwa tanah, air, dan hutan di Mosso adalah milik masyarakat adat Mosso.
“Saya percaya, suatu saat Mosso akan berkembang seperti Koya dan sekitarnya. Peradaban masyarakat di perbatasan ini tidak boleh padam,” katanya penuh keyakinan.
Hari ini, keyakinan itu mulai tampak nyata. Kepala Kampung Mosso, Billiam W. Foa, menyebut saat ini sudah ada 235 kepala keluarga dengan hampir 600 jiwa yang tinggal kembali di Mosso. Mereka terdiri dari 12 suku, dengan Ondoafi masih dipegang oleh suku Foa.
“Kehidupan kami ini unik. Karena wilayah adat kami terbentang di dua negara, RI dan PNG. Masih banyak saudara kami yang tinggal di Kampung Nyao, PNG. Jadi sekarang kami terbagi: ada di Mosso, ada juga di Nyao,” ungkap Billiam.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa kehadiran Abisai Rollo menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan masyarakat Mosso. “Bapak Wali Kota bagi kami adalah saudara. Sentuhan kasihnya membuat kami kembali menjejakkan kaki di tanah leluhur ini,” katanya.
Kini, peradaban Mosso yang sempat terhenti, kembali bangkit. Di ujung batas RI-PNG itu, jejak perjuangan Abisai Rollo terpatri sebagai bagian dari sejarah panjang bagaimana tanah adat, hutan, dan manusia bersatu dalam satu peradaban yang terus bertahan di tengah tantangan zaman.(*/tri)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos