Wednesday, April 24, 2024
27.7 C
Jayapura

Apa pun Orderannya, Wajib Selesai Kurang dari Dua Minggu

”Republik” Spanduk Pecel Lele dengan Bulutengger, Lamongan, sebagai Ibu Kota (1)

Di berbagai penjuru Indonesia, spanduk pecel lele buatan paguyuban di Bulutengger selalu sama dalam font, bentuk lukisan, warna, dan kainnya. Di tempat lain ada juga yang bikin, tapi dulu mereka belajarnya di desa di Lamongan itu.

WAHYU ZANUAR BUSTOMI, Lamongan

DI tepi jalanan kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, di samping pintu keluar dermaga Penajam Paser Utara, sampai seruas jalan nun di Ternate sana. ”Panji-panji kebesaran” pecel lele lamongan bisa dengan gampang ditemukan.

Dengan ciri khasnya yang mencolok: media kain tiga warna, putih, kuning, dan hijau. Dan, gambar ayam, bebek, burung dara, dan lele, serta bentuk huruf (font) yang serupa. Juga aneka seafood (makanan laut). Kadang pula dengan lele termasuk di dalamnya…

Di mana pun Anda tinggal di Indonesia ini, kota besar atau kecil, bahkan sampai ke kecamatan dan kampung-kampung, spanduk alias kleber dalam bahasa Jawa dengan gambar, kain, dan font yang khas itu selalu ada. Luas edarannya, seiring dengan tingginya daya rantau warga Lamongan, bisa dibilang seluas republik ini.

Dan, republik letter alias spanduk pecel lele yang luas itu beribu kota di Bulutengger, sebuah desa di Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Sejak sekitar 33 tahun lalu, tradisi melukis tangan kleber dengan beragam gambar unggas serta hewan laut dilakukan di sana.

”Di luar Bulutengger, bahkan luar Lamongan, memang ada juga yang bikin. Tapi, mereka semua belajarnya dari sini,” kata Lanang Mijar Anggoro, sekretaris Paguyuban Central Letter Lamongan, kepada Jawa Pos.

Ada sekitar 25 perajin letter di Bulutengger. Sebanyak 15 perajin di antaranya telah berhimpun di dalam paguyuban. Markas besarnya berada di rumah sang ketua, Bagus Eka Pria Suka Dhana.

Ketika Jawa Pos bertandang ke rumah di Dusun Bulu, RT 5, RW 1, Bulutengger, Selasa (18/1) pekan lalu, tak tampak ada perabot di dalamnya. Hanya meja kecil yang terlihat di ruang tamu. Yang tampak menonjol, dindingnya berhias lukisan mural. Ikonnya adalah gambar ayam jago. Kain putih dan kuning juga terpampang memanjang.

Baca Juga :  12 Pintu Hilang, Dari 204 Meja Kursi Kini Tersisa 15 Meja Kursi

Motifnya, aneka bentuk seafood dan unggas. Semua berbentuk sama. Termasuk font tulisan hurufnya.

Aturan paguyuban, bentuk lukisan di letter memang wajib sama. Termasuk font-nya. Begitu juga warna. Penanda lainnya, dalam karya semua anggota paguyuban pasti ada latar gambar bulan di tepi kiri-kanan kain. ”Tujuannya tentu biar ada ciri khasnya,” ujar Dhana.

Sebelum ada paguyuban yang berdiri sejak 23 Juni 2020 itu, lanjut lulusan Institut Seni Indonesia, Jogjakarta, tersebut, para perajin saling telikung orderan. Muncullah konflik yang buntutnya tak saling sapa.

Selain meredam perseteruan, paguyuban didirikan untuk mewujudkan misi besar: pemberdayaan anggota dan masyarakat. Terlebih para pemuda desa yang menganggur. Karena itu, sirkulasi ekonomi sengaja dibuat. Caranya sederhana dengan melibatkan warga sekitar. Misalnya, ada yang ditugasi menjahit kain. Atau mengurusi pengepakan dan pengiriman.

Standar pelayanan juga diterapkan. Mulai tenggat pengerjaan, kualitas produk, hingga harga. Tarif dipatok sama: Rp 150 ribu per meter.

Orderan yang diterima paguyuban, termasuk dari marketplace, nanti dibagi rata kepada anggota. Tak selalu dari pedagang penyetan, ada pula dari penjual soto ayam, misalnya, yang juga khas dengan Lamongan.

Apa pun orderannya, syaratnya, pengerjaan wajib selesai kurang dari dua minggu. Hasilnya juga harus sesuai dengan standar.

Namun, anggota juga bebas menerima pesanan sendiri tanpa melalui paguyuban. Pemesan juga bebas order sesuai dengan dagangannya nanti. Jadi, tak usah heran kalau jualan seafood, tapi ada gambar lelenya.

Selain font huruf dan bentuk lukisan, warna spanduk karya para anggota paguyuban juga mesti sesuai. Harus ngejreng. Kain juga wajib tembus pandang untuk memperkuat kesan pencahayaan di warung.

Baca Juga :  Selain Untuk Pembinaan Atlet, Akan Dikomersialkan Sebagai Tempat Wisata

Menurut Dhana, jika dibandingkan dengan printing, produk letter lukis mampu bertahan lebih lama. Kurang lebih sampai tiga tahun. Produk printing setahun bisa rusak. Apalagi kalau terkena hujan. Di samping itu, cahaya tidak tembus sehingga warung terlihat gelap. ”Kami menargetkan maksimal ada 19 anggota paguyuban agar bisa fokus,” tutur Dhana.

Dari 15 anggota yang ada sekarang, setidaknya ada 40 pegawai yang dipekerjakan. Setiap anggota bisa memiliki dua atau lebih pekerja. Dalam sebulan, rata-rata anggota mendapat pesanan 80–100 meter letter. Harga per meternya mencapai Rp 150 ribu. Artinya, omzet mereka sebulan bisa sampai Rp 25 juta. ”Harus ngoyo pokoknya,” kata salah seorang anggota, Yayan Dwi Cahyo.

Adanya paguyuban juga memungkinkan transfer ilmu. Tak sedikit anak muda yang semula bekerja di bawah perajin lain yang kini mendirikan usaha letter sendiri.

Salah seorang anggota muda, Linggar Bagus Pratama, mengakui belajar setahun di paguyuban. Setelah itu, dia baru berani menerima orderan. ”Saya tidak punya basic seni lukis (ketika memulai, Red). Yang ada musik,” ucap pria 19 tahun itu.

Untuk memulai usaha letter sendiri, tak dibutuhkan modal besar. Dengan modal sekitar Rp 1,5 juta saja, usaha sudah bisa jalan. ”Yang susah kan wajib bisa melukis di spanduk,” ungkap Lanang.

Melukis di atas kain itu memang tradisi yang berusaha diuri-uri paguyuban. Mereka juga berusaha keras melindungi ciri khas ibu kota letter republik pecel lele tersebut biar tak diplagiat.

Diharapkan, sampai kapan pun, di mana pun itu, baik di ibu kota Jakarta maupun calon ibu kota baru di Penajam Paser Utara, begitu melihat spanduk pecel lele lamongan di tepi jalan, semua orang langsung tahu. ”Panji kebesaran” itu berasal dari Bulutengger. (*/c14/ttg)

”Republik” Spanduk Pecel Lele dengan Bulutengger, Lamongan, sebagai Ibu Kota (1)

Di berbagai penjuru Indonesia, spanduk pecel lele buatan paguyuban di Bulutengger selalu sama dalam font, bentuk lukisan, warna, dan kainnya. Di tempat lain ada juga yang bikin, tapi dulu mereka belajarnya di desa di Lamongan itu.

WAHYU ZANUAR BUSTOMI, Lamongan

DI tepi jalanan kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, di samping pintu keluar dermaga Penajam Paser Utara, sampai seruas jalan nun di Ternate sana. ”Panji-panji kebesaran” pecel lele lamongan bisa dengan gampang ditemukan.

Dengan ciri khasnya yang mencolok: media kain tiga warna, putih, kuning, dan hijau. Dan, gambar ayam, bebek, burung dara, dan lele, serta bentuk huruf (font) yang serupa. Juga aneka seafood (makanan laut). Kadang pula dengan lele termasuk di dalamnya…

Di mana pun Anda tinggal di Indonesia ini, kota besar atau kecil, bahkan sampai ke kecamatan dan kampung-kampung, spanduk alias kleber dalam bahasa Jawa dengan gambar, kain, dan font yang khas itu selalu ada. Luas edarannya, seiring dengan tingginya daya rantau warga Lamongan, bisa dibilang seluas republik ini.

Dan, republik letter alias spanduk pecel lele yang luas itu beribu kota di Bulutengger, sebuah desa di Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Sejak sekitar 33 tahun lalu, tradisi melukis tangan kleber dengan beragam gambar unggas serta hewan laut dilakukan di sana.

”Di luar Bulutengger, bahkan luar Lamongan, memang ada juga yang bikin. Tapi, mereka semua belajarnya dari sini,” kata Lanang Mijar Anggoro, sekretaris Paguyuban Central Letter Lamongan, kepada Jawa Pos.

Ada sekitar 25 perajin letter di Bulutengger. Sebanyak 15 perajin di antaranya telah berhimpun di dalam paguyuban. Markas besarnya berada di rumah sang ketua, Bagus Eka Pria Suka Dhana.

Ketika Jawa Pos bertandang ke rumah di Dusun Bulu, RT 5, RW 1, Bulutengger, Selasa (18/1) pekan lalu, tak tampak ada perabot di dalamnya. Hanya meja kecil yang terlihat di ruang tamu. Yang tampak menonjol, dindingnya berhias lukisan mural. Ikonnya adalah gambar ayam jago. Kain putih dan kuning juga terpampang memanjang.

Baca Juga :  Ibu yang Cemas Itu Gendong Anaknya Seberangi Sungai

Motifnya, aneka bentuk seafood dan unggas. Semua berbentuk sama. Termasuk font tulisan hurufnya.

Aturan paguyuban, bentuk lukisan di letter memang wajib sama. Termasuk font-nya. Begitu juga warna. Penanda lainnya, dalam karya semua anggota paguyuban pasti ada latar gambar bulan di tepi kiri-kanan kain. ”Tujuannya tentu biar ada ciri khasnya,” ujar Dhana.

Sebelum ada paguyuban yang berdiri sejak 23 Juni 2020 itu, lanjut lulusan Institut Seni Indonesia, Jogjakarta, tersebut, para perajin saling telikung orderan. Muncullah konflik yang buntutnya tak saling sapa.

Selain meredam perseteruan, paguyuban didirikan untuk mewujudkan misi besar: pemberdayaan anggota dan masyarakat. Terlebih para pemuda desa yang menganggur. Karena itu, sirkulasi ekonomi sengaja dibuat. Caranya sederhana dengan melibatkan warga sekitar. Misalnya, ada yang ditugasi menjahit kain. Atau mengurusi pengepakan dan pengiriman.

Standar pelayanan juga diterapkan. Mulai tenggat pengerjaan, kualitas produk, hingga harga. Tarif dipatok sama: Rp 150 ribu per meter.

Orderan yang diterima paguyuban, termasuk dari marketplace, nanti dibagi rata kepada anggota. Tak selalu dari pedagang penyetan, ada pula dari penjual soto ayam, misalnya, yang juga khas dengan Lamongan.

Apa pun orderannya, syaratnya, pengerjaan wajib selesai kurang dari dua minggu. Hasilnya juga harus sesuai dengan standar.

Namun, anggota juga bebas menerima pesanan sendiri tanpa melalui paguyuban. Pemesan juga bebas order sesuai dengan dagangannya nanti. Jadi, tak usah heran kalau jualan seafood, tapi ada gambar lelenya.

Selain font huruf dan bentuk lukisan, warna spanduk karya para anggota paguyuban juga mesti sesuai. Harus ngejreng. Kain juga wajib tembus pandang untuk memperkuat kesan pencahayaan di warung.

Baca Juga :  Perusak Lingkungan Dipastikan Disanksi, Semua Pihak Diminta Untuk Menjaga

Menurut Dhana, jika dibandingkan dengan printing, produk letter lukis mampu bertahan lebih lama. Kurang lebih sampai tiga tahun. Produk printing setahun bisa rusak. Apalagi kalau terkena hujan. Di samping itu, cahaya tidak tembus sehingga warung terlihat gelap. ”Kami menargetkan maksimal ada 19 anggota paguyuban agar bisa fokus,” tutur Dhana.

Dari 15 anggota yang ada sekarang, setidaknya ada 40 pegawai yang dipekerjakan. Setiap anggota bisa memiliki dua atau lebih pekerja. Dalam sebulan, rata-rata anggota mendapat pesanan 80–100 meter letter. Harga per meternya mencapai Rp 150 ribu. Artinya, omzet mereka sebulan bisa sampai Rp 25 juta. ”Harus ngoyo pokoknya,” kata salah seorang anggota, Yayan Dwi Cahyo.

Adanya paguyuban juga memungkinkan transfer ilmu. Tak sedikit anak muda yang semula bekerja di bawah perajin lain yang kini mendirikan usaha letter sendiri.

Salah seorang anggota muda, Linggar Bagus Pratama, mengakui belajar setahun di paguyuban. Setelah itu, dia baru berani menerima orderan. ”Saya tidak punya basic seni lukis (ketika memulai, Red). Yang ada musik,” ucap pria 19 tahun itu.

Untuk memulai usaha letter sendiri, tak dibutuhkan modal besar. Dengan modal sekitar Rp 1,5 juta saja, usaha sudah bisa jalan. ”Yang susah kan wajib bisa melukis di spanduk,” ungkap Lanang.

Melukis di atas kain itu memang tradisi yang berusaha diuri-uri paguyuban. Mereka juga berusaha keras melindungi ciri khas ibu kota letter republik pecel lele tersebut biar tak diplagiat.

Diharapkan, sampai kapan pun, di mana pun itu, baik di ibu kota Jakarta maupun calon ibu kota baru di Penajam Paser Utara, begitu melihat spanduk pecel lele lamongan di tepi jalan, semua orang langsung tahu. ”Panji kebesaran” itu berasal dari Bulutengger. (*/c14/ttg)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya