Saturday, April 27, 2024
27.7 C
Jayapura

Berbuat Baik untuk Semua dan Kebaikan Itu Akan Kembali ke Kita

Harmoni dan Keguyuban di Balik Yadnya Kasada (1)

Hari-hari menyambut Yadnya Kasada adalah hari-hari ketika pintu semua rumah di desa-desa lereng Bromo dibuka untuk siapa saja dan ada makanan-minuman yang siap menyambut. Tua-muda, laki-laki-perempuan, semua turun tangan membuat ongkek.   

ARIF ADI WIJAYA, Kab Probolinggo

KESIBUKAN mewarnai kediaman Tutik. Sang pemilik rumah mondar-mandir menyiapkan menu berbagai masakan. Sedangkan di depan rumah, tangan-tangan terampil sejumlah warga sekitar membereskan pembuatan ongkek.

Semua kesibukan di rumah yang berada di Dusun Wanasari, Desa Ngadisari, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, itu demi tujuan serupa: menyambut Yadnya Kasada. Sebuah ritual masyarakat Tengger-Bromo yang diyakini telah menjulur panjang sejak zaman Kerajaan Majapahit.

Bromo bagian dari Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru. Wilayah taman nasional itu membentang di empat kabupaten di Jawa Timur: Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang.

Di balik ritual itu, ada keguyuban antarwarga, tak peduli apa pun latar belakangnya. Yang seperti mewakili harmoni di antara para penduduk di lereng Bromo.

Seperti disaksikan Jawa Pos kemarin (15/6), janur yang dibentuk seperti bunga menghiasi sepanjang jalan menuju lautan pasir. Umbul-umbul berwarna putih, merah, hijau, dan kuning pun ikut menghiasi teras rumah warga di tepi jalan.

Meski rumah penduduk umumnya tampak sepi, suasana jalan memperlihatkan warga yang begitu antusias menyambut Yadnya Kasada. Meriah, tetapi tetap khidmat.   

Pembuatan ongkek adalah salah satu contoh keguyuban di balik Yadnya Kasada. Warga tua-muda, laki-laki-perempuan, bergotong royong membuatnya. ’’Nanti ongkek ini dibawa ke rumah kepala desa (Kades) dan carik,” kata Tutik yang juga istri Soetomo, romo Dukun Desa Ngadisari, kepada Jawa Pos di sela turun tangan membantu membuat ongkek.

Rangka ongkek terbuat dari bambu. Isinya berbagai hasil bumi dari warga setempat. Mulai wortel, kacang koro, kubis, sampai kembang kenikir. Ada pula terong tengger, semacam cabai berukuran jumbo.    

Baca Juga :  Harus Dorong  Sagu Sebagai Pangan Utama, Jangan Hanya Sekedar Makanan Khas

Di rumah Pak Kades dan Pak Carik (sekretaris desa), satu pasang ongkek ditata di depan sesajen. Beberapa warga dan tokoh adat maupun tokoh masyarakat ikut hadir dalam ritual kecil tersebut. Romo dukun lalu memimpin ritual untuk pengukuhan. Istilahnya, netepno ongkek.

Nun di lautan pasir Bromo kemarin, ratusan warga memadati sekitar Pura Luhur Poten. Ada rombongan yang datang dengan menggunakan mobil pikap. Ada pula yang naik bak truk.

Bukan hanya suku Tengger yang mayoritas beragama Hindu yang datang ke Pura Luhur Poten. Banyak warga beragama Islam dan Kristen yang juga datang dengan membawa sesajen. Isinya tidak seperti ongkek. Ada yang membawa hasil bumi, roti, sampai kembang.

Di depan pura tersebut, ada delapan sesepuh yang berbusana serbahitam dengan udeng di kepala. Mereka adalah romo dukun pandita perwakilan dari desa-desa yang ada di lereng Gunung Bromo. Warga yang datang membawa sesajen meminta doa atau mantra dari para romo dukun yang berasal dari delapan desa di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo.

Setelah meminta doa dari para romo dukun, warga tidak langsung pulang. Mereka mendirikan tenda di atas bak pikap atau truk yang ditumpangi menggunakan terpal. Mereka, baik suku Tengger maupun bukan, menunggu puncak ritual Yadnya Kasada berupa larung sesajen di kawah Gunung Bromo yang berlangsung dini hari tadi.

Sri Astutik, warga Desa Jetak, Kabupaten Probolinggo, mengaku mengikuti ritual Kasada setiap tahun. Hanya tahun lalu dia absen lantaran ritualnya digelar tertutup dan dengan pembatasan. ’’Bukan soal keyakinan, melainkan apa yang menjadi tradisi warga sini, kita ikut,” kata perempuan berkerudung itu.

Lastoko, carik Desa Ngadisari, menceritakan, ongkek berasal dari kata ’’aung” dan ’’kek”. Aung artinya anak –urip– mati. Kek, artinya tua. ’’Semua itu mengarah ke sangkan paraning dumadi. Asal muasal sebuah penciptaan,” terangnya.

Ongkek yang dibuat memang dua buah. Istilahnya, satu pasang. Satu dusun diwajibkan membuat sepasang ongkek. Dengan syarat, tidak ada orang meninggal selama 44 hari menjelang ritual Yadnya Kasada. ’’Kalau ada yang meninggal dalam waktu tersebut, dusun itu tidak membuat ongkek,” katanya.

Baca Juga :  Jam Besuk Ditiadakan, Penunggu Pasien Harus Swab Antigen juga

Lastoko mengakui, kebersamaan warga dalam menyambut ritual Yadnya Kasada memang luar biasa. Semua elemen masyarakat begitu antusias. ’’Dalam momen seperti ini, kita istilahnya gupuh-suguh. Artinya, memang waktunya sibuk dan menyiapkan suguhan untuk para tamu,” paparnya.

Layaknya hari raya, semua ruang tamu di rumah penduduk dipenuhi kue, minuman, dan makanan untuk siapa saja yang datang. Baik yang beragama Hindu, Islam, maupun Kristen. ’’Karena kita di sini tidak memandang agama atau keyakinan. Yang penting berbuat baik untuk semua, maka kebaikan itu akan kembali kepada diri kita,” ungkapnya.

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Probolinggo Bambang Suprapto mengatakan bersyukur karena pandemi Covid-19 telah melandai. Tahun ini sudah ada kelonggaran terkait jumlah peserta ritual meski tetap dibatasi. Wisatawan pun sejatinya boleh naik.

Tapi, hanya sampai Cemoro Lawang. ’’Kalau tahun lalu ditutup sampai Sukapura. Sekarang ditutup sampai Cemoro Lawang,” katanya.

Dalam ritual tersebut, ada pengukuhan dua romo dukun pandito. Mereka berasal dari Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, dan Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. Keduanya akan mengemban empat tugas utama.

Pertama, menjaga kesucian diri. Kedua, berhak menentukan hari baik untuk sebuah upacara individu maupun komunal. Ketiga, berhak dan berkewajiban menyelesaikan semua urusan ritual. Keempat, menjadi pembimbing atas semua permasalahan umat.

Bambang berharap rangkaian Yadnya Kasada bisa berjalan lancar. Yang lebih penting, keharmonisan antarwarga dan antara manusia dan sang pencipta alam harus tetap dijaga seperti yang sudah berjalan selama ini. ’’Karena ketika kita baik dengan sesama manusia, kita akan mendapat kebaikan pula. Jika kita menjaga lingkungan, alam akan menjaga kita,” tandasnya. (*/c7/ttg/JPG)

Harmoni dan Keguyuban di Balik Yadnya Kasada (1)

Hari-hari menyambut Yadnya Kasada adalah hari-hari ketika pintu semua rumah di desa-desa lereng Bromo dibuka untuk siapa saja dan ada makanan-minuman yang siap menyambut. Tua-muda, laki-laki-perempuan, semua turun tangan membuat ongkek.   

ARIF ADI WIJAYA, Kab Probolinggo

KESIBUKAN mewarnai kediaman Tutik. Sang pemilik rumah mondar-mandir menyiapkan menu berbagai masakan. Sedangkan di depan rumah, tangan-tangan terampil sejumlah warga sekitar membereskan pembuatan ongkek.

Semua kesibukan di rumah yang berada di Dusun Wanasari, Desa Ngadisari, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, itu demi tujuan serupa: menyambut Yadnya Kasada. Sebuah ritual masyarakat Tengger-Bromo yang diyakini telah menjulur panjang sejak zaman Kerajaan Majapahit.

Bromo bagian dari Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru. Wilayah taman nasional itu membentang di empat kabupaten di Jawa Timur: Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang.

Di balik ritual itu, ada keguyuban antarwarga, tak peduli apa pun latar belakangnya. Yang seperti mewakili harmoni di antara para penduduk di lereng Bromo.

Seperti disaksikan Jawa Pos kemarin (15/6), janur yang dibentuk seperti bunga menghiasi sepanjang jalan menuju lautan pasir. Umbul-umbul berwarna putih, merah, hijau, dan kuning pun ikut menghiasi teras rumah warga di tepi jalan.

Meski rumah penduduk umumnya tampak sepi, suasana jalan memperlihatkan warga yang begitu antusias menyambut Yadnya Kasada. Meriah, tetapi tetap khidmat.   

Pembuatan ongkek adalah salah satu contoh keguyuban di balik Yadnya Kasada. Warga tua-muda, laki-laki-perempuan, bergotong royong membuatnya. ’’Nanti ongkek ini dibawa ke rumah kepala desa (Kades) dan carik,” kata Tutik yang juga istri Soetomo, romo Dukun Desa Ngadisari, kepada Jawa Pos di sela turun tangan membantu membuat ongkek.

Rangka ongkek terbuat dari bambu. Isinya berbagai hasil bumi dari warga setempat. Mulai wortel, kacang koro, kubis, sampai kembang kenikir. Ada pula terong tengger, semacam cabai berukuran jumbo.    

Baca Juga :  Masih Ada Keterbatasan, Namun Bisa Deteksi Dini Kasus Jantung dan Pasang Ring

Di rumah Pak Kades dan Pak Carik (sekretaris desa), satu pasang ongkek ditata di depan sesajen. Beberapa warga dan tokoh adat maupun tokoh masyarakat ikut hadir dalam ritual kecil tersebut. Romo dukun lalu memimpin ritual untuk pengukuhan. Istilahnya, netepno ongkek.

Nun di lautan pasir Bromo kemarin, ratusan warga memadati sekitar Pura Luhur Poten. Ada rombongan yang datang dengan menggunakan mobil pikap. Ada pula yang naik bak truk.

Bukan hanya suku Tengger yang mayoritas beragama Hindu yang datang ke Pura Luhur Poten. Banyak warga beragama Islam dan Kristen yang juga datang dengan membawa sesajen. Isinya tidak seperti ongkek. Ada yang membawa hasil bumi, roti, sampai kembang.

Di depan pura tersebut, ada delapan sesepuh yang berbusana serbahitam dengan udeng di kepala. Mereka adalah romo dukun pandita perwakilan dari desa-desa yang ada di lereng Gunung Bromo. Warga yang datang membawa sesajen meminta doa atau mantra dari para romo dukun yang berasal dari delapan desa di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo.

Setelah meminta doa dari para romo dukun, warga tidak langsung pulang. Mereka mendirikan tenda di atas bak pikap atau truk yang ditumpangi menggunakan terpal. Mereka, baik suku Tengger maupun bukan, menunggu puncak ritual Yadnya Kasada berupa larung sesajen di kawah Gunung Bromo yang berlangsung dini hari tadi.

Sri Astutik, warga Desa Jetak, Kabupaten Probolinggo, mengaku mengikuti ritual Kasada setiap tahun. Hanya tahun lalu dia absen lantaran ritualnya digelar tertutup dan dengan pembatasan. ’’Bukan soal keyakinan, melainkan apa yang menjadi tradisi warga sini, kita ikut,” kata perempuan berkerudung itu.

Lastoko, carik Desa Ngadisari, menceritakan, ongkek berasal dari kata ’’aung” dan ’’kek”. Aung artinya anak –urip– mati. Kek, artinya tua. ’’Semua itu mengarah ke sangkan paraning dumadi. Asal muasal sebuah penciptaan,” terangnya.

Ongkek yang dibuat memang dua buah. Istilahnya, satu pasang. Satu dusun diwajibkan membuat sepasang ongkek. Dengan syarat, tidak ada orang meninggal selama 44 hari menjelang ritual Yadnya Kasada. ’’Kalau ada yang meninggal dalam waktu tersebut, dusun itu tidak membuat ongkek,” katanya.

Baca Juga :  Menulis Cita Cita di Lembar Diary “Menjadi Pengacara Hebat”

Lastoko mengakui, kebersamaan warga dalam menyambut ritual Yadnya Kasada memang luar biasa. Semua elemen masyarakat begitu antusias. ’’Dalam momen seperti ini, kita istilahnya gupuh-suguh. Artinya, memang waktunya sibuk dan menyiapkan suguhan untuk para tamu,” paparnya.

Layaknya hari raya, semua ruang tamu di rumah penduduk dipenuhi kue, minuman, dan makanan untuk siapa saja yang datang. Baik yang beragama Hindu, Islam, maupun Kristen. ’’Karena kita di sini tidak memandang agama atau keyakinan. Yang penting berbuat baik untuk semua, maka kebaikan itu akan kembali kepada diri kita,” ungkapnya.

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Probolinggo Bambang Suprapto mengatakan bersyukur karena pandemi Covid-19 telah melandai. Tahun ini sudah ada kelonggaran terkait jumlah peserta ritual meski tetap dibatasi. Wisatawan pun sejatinya boleh naik.

Tapi, hanya sampai Cemoro Lawang. ’’Kalau tahun lalu ditutup sampai Sukapura. Sekarang ditutup sampai Cemoro Lawang,” katanya.

Dalam ritual tersebut, ada pengukuhan dua romo dukun pandito. Mereka berasal dari Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, dan Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. Keduanya akan mengemban empat tugas utama.

Pertama, menjaga kesucian diri. Kedua, berhak menentukan hari baik untuk sebuah upacara individu maupun komunal. Ketiga, berhak dan berkewajiban menyelesaikan semua urusan ritual. Keempat, menjadi pembimbing atas semua permasalahan umat.

Bambang berharap rangkaian Yadnya Kasada bisa berjalan lancar. Yang lebih penting, keharmonisan antarwarga dan antara manusia dan sang pencipta alam harus tetap dijaga seperti yang sudah berjalan selama ini. ’’Karena ketika kita baik dengan sesama manusia, kita akan mendapat kebaikan pula. Jika kita menjaga lingkungan, alam akan menjaga kita,” tandasnya. (*/c7/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya