Friday, November 22, 2024
34.7 C
Jayapura

Dulu Negara Lain Belajar ke Indonesia soal Puskesmas

Soegijo Sapoetro, Pencetus dan Saksi Sejarah Hari Kesehatan Nasional

Soegijo Sapoetro berada di samping Bung Karno saat presiden pertama Indonesia itu melakukan penyemprotan DDT pertama untuk membasmi malaria di tanah air.  Kini, di usia menjelang satu abad, perhatiannya pada dunia kesehatan masih sangat besar.

ILHAM WANCOKO, Jakarta

PERISTIWA itu menerbangkan ingatan Eyang Soegijo Sapoetro balik ke masa sekitar enam dekade silam. Yang kelak di kemudian hari menjadi salah satu titimangsa penting dalam sejarah tanah air.

’’Pada 12 November 1959, Bung Karno menghadiri acara kenegaraan di Solo,’’ tutur pria 91 tahun itu kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang tengah berkunjung ke kediamannya di Jogjakarta.

Tapi, sebelum ke Solo, Bung Karno mampir ke Jogjakarta terlebih dahulu. Sebab, saat itu Indonesia mengalami wabah malaria dan Jogjakarta salah satu daerah yang paling parah.

Terjadilah peristiwa bersejarah itu: Bung Karno menyemprotkan cairan insektisida DDT (dichloro diphenyl trichloroethane)  di sebuah rumah warga di Kalasan, Jogjakarta. Peristiwa itu merupakan kali pertama cairan DDT untuk mengendalikan malaria disemprotkan di Indonesia. ’’Setelahnya, DDT digunakan untuk melawan wabah di seluruh penjuru Indonesia,’’ paparnya dalam video dokumentasi keluarga yang ditonton Jawa Pos.

Soegijo yang menjabat kepala Komando Operasi Pembasmian Malaria (Kopem) berada di samping presiden pertama Indonesia tersebut saat penyemprotan DDT. Setelah itu, Soegijo mengusulkan kepada Menkes saat itu, dr Satrio, agar peristiwa penyemprotan pertama tersebut menjadi Hari Kesehatan Nasional (HKN). Satrio setuju meneruskan usulan itu ke Bung Karno. ’’Setelahnya, hingga saat ini 12 November menjadi HKN. Yang terus diperingati,’’ terang pria kelahiran 21 Juli 1930 tersebut.

Baca Juga :  Bersyukur Bisa Umroh di Bulan Ramadan yang Pahalannya Dilipatgandakan

Eyang Soegijo dan Menkes Budi sejatinya memiliki persamaan: tidak berlatar belakang dokter atau pendidikan kesehatan lainnya, tapi sama-sama berkecimpung di dunia tersebut.

’’Latar belakang pendidikan beliau itu ekonomi. Ekonom satu-satunya yang jadi Kopem,’’ terang Jagaddhito Probokusumo, cucu Eyang Soegijo, kepada Jawa Pos.

Waktu telah lama berlalu sejak Eyang Soegijo tak lagi di Kopem. Tapi, perhatiannya pada dunia kesehatan masih sangat besar.

Misalnya yang dia sampaikan kepada Menkes Budi tentang bagaimana saat rakyat sehat, rakyat bisa bekerja dalam semua bidang. ’’Pendidikan kesehatan terhadap masyarakat juga harus terus diajarkan,’’ urainya.

Karena faktor usia dan kesehatan, Jawa Pos belum berkesempatan mewawancarai langsung Eyang Soegijo. Anak Soegijo sekaligus ayah Jagaddhito, Priyo Suprobo, menceritakan bahwa semangat sang bapak dalam menjaga kesehatan tak pernah luntur. Saat bertemu dengan cucu dan cicitnya pun, Eyang Soegijo masih mengenakan masker dan berjarak 3 meter. ’’Lalu, hanya melambaikan tangannya,’’ ujarnya.

Sang cucu menuturkan, semboyan rakyat sehat negara kuat itu diartikan Eyang Soegijo bukan hanya sehat badannya. Melainkan juga mental dan rohaninya. ’’Yang membuat ekonomi dan pertahanan negaranya menjadi kuat,’’ ungkapnya.

Baca Juga :  Jokowi Dorong Bisa Diterapkan di Kota Lain seperti Surabaya dan Bandung

Saat eyang menyinggung soal keberadaan puskesmas dalam perbincangannya dengan Menkes Budi, lanjut Jagaddhito, itu disebabkan puskesmas salah satu faktor yang membuat negara lain belajar ke Indonesia di era Presiden Soekarno. Salah satunya, Malaysia.

Saat itu negara lain tidak memiliki layanan kesehatan semacam puskesmas. Yang secara lokasi dan relasi paling dekat dengan masyarakat.

Karena itu, lanjut Jagaddhito, Eyang Soegijo berpendapat, setiap HKN alangkah baiknya kepala puskesmas beserta camat dan tokoh masyarakat setempat memberikan laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat tentang profil kesehatan di wilayahnya agar menjadi perhatian bersama. Sebab, setiap wilayah memiliki profil kesehatan yang berbeda-beda.

Eyang Soegijo dikaruniai 6 anak, 15 cucu, dan 8 cicit. Kiprahnya di kesehatan menurun kepada salah seorang putrinya yang menjadi dokter. Di generasi ketiga, tiga cucunya juga berprofesi dokter, termasuk Jagaddhito.

Sehari-hari, menurut Priyo, sang bapak sedikit bicara. Tapi, soal kedisiplinan  menjaga protokol kesehatan, tanpa kompromi.

Begitu pula kecintaan Eyang Soegijo terhadap Indonesia selalu terpatri dalam hati cucu-cucunya. Salah satu nasihat eyang yang paling diingat Jagaddhito: hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri orang. ’’Jiwa raga untuk negeri, dari rakyat untuk rakyat,’’ paparnya.  (*/c7/ttg/JPG)

Soegijo Sapoetro, Pencetus dan Saksi Sejarah Hari Kesehatan Nasional

Soegijo Sapoetro berada di samping Bung Karno saat presiden pertama Indonesia itu melakukan penyemprotan DDT pertama untuk membasmi malaria di tanah air.  Kini, di usia menjelang satu abad, perhatiannya pada dunia kesehatan masih sangat besar.

ILHAM WANCOKO, Jakarta

PERISTIWA itu menerbangkan ingatan Eyang Soegijo Sapoetro balik ke masa sekitar enam dekade silam. Yang kelak di kemudian hari menjadi salah satu titimangsa penting dalam sejarah tanah air.

’’Pada 12 November 1959, Bung Karno menghadiri acara kenegaraan di Solo,’’ tutur pria 91 tahun itu kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang tengah berkunjung ke kediamannya di Jogjakarta.

Tapi, sebelum ke Solo, Bung Karno mampir ke Jogjakarta terlebih dahulu. Sebab, saat itu Indonesia mengalami wabah malaria dan Jogjakarta salah satu daerah yang paling parah.

Terjadilah peristiwa bersejarah itu: Bung Karno menyemprotkan cairan insektisida DDT (dichloro diphenyl trichloroethane)  di sebuah rumah warga di Kalasan, Jogjakarta. Peristiwa itu merupakan kali pertama cairan DDT untuk mengendalikan malaria disemprotkan di Indonesia. ’’Setelahnya, DDT digunakan untuk melawan wabah di seluruh penjuru Indonesia,’’ paparnya dalam video dokumentasi keluarga yang ditonton Jawa Pos.

Soegijo yang menjabat kepala Komando Operasi Pembasmian Malaria (Kopem) berada di samping presiden pertama Indonesia tersebut saat penyemprotan DDT. Setelah itu, Soegijo mengusulkan kepada Menkes saat itu, dr Satrio, agar peristiwa penyemprotan pertama tersebut menjadi Hari Kesehatan Nasional (HKN). Satrio setuju meneruskan usulan itu ke Bung Karno. ’’Setelahnya, hingga saat ini 12 November menjadi HKN. Yang terus diperingati,’’ terang pria kelahiran 21 Juli 1930 tersebut.

Baca Juga :  Tak Sekedar Diberi Hak Pilih, Tapi Harus Diberi Ruang Berpartisipasi

Eyang Soegijo dan Menkes Budi sejatinya memiliki persamaan: tidak berlatar belakang dokter atau pendidikan kesehatan lainnya, tapi sama-sama berkecimpung di dunia tersebut.

’’Latar belakang pendidikan beliau itu ekonomi. Ekonom satu-satunya yang jadi Kopem,’’ terang Jagaddhito Probokusumo, cucu Eyang Soegijo, kepada Jawa Pos.

Waktu telah lama berlalu sejak Eyang Soegijo tak lagi di Kopem. Tapi, perhatiannya pada dunia kesehatan masih sangat besar.

Misalnya yang dia sampaikan kepada Menkes Budi tentang bagaimana saat rakyat sehat, rakyat bisa bekerja dalam semua bidang. ’’Pendidikan kesehatan terhadap masyarakat juga harus terus diajarkan,’’ urainya.

Karena faktor usia dan kesehatan, Jawa Pos belum berkesempatan mewawancarai langsung Eyang Soegijo. Anak Soegijo sekaligus ayah Jagaddhito, Priyo Suprobo, menceritakan bahwa semangat sang bapak dalam menjaga kesehatan tak pernah luntur. Saat bertemu dengan cucu dan cicitnya pun, Eyang Soegijo masih mengenakan masker dan berjarak 3 meter. ’’Lalu, hanya melambaikan tangannya,’’ ujarnya.

Sang cucu menuturkan, semboyan rakyat sehat negara kuat itu diartikan Eyang Soegijo bukan hanya sehat badannya. Melainkan juga mental dan rohaninya. ’’Yang membuat ekonomi dan pertahanan negaranya menjadi kuat,’’ ungkapnya.

Baca Juga :  Berjibaku di Ketinggian 4.200 Mdpl dan Minim Oksigen, 8 Jenazah Dievakuasi

Saat eyang menyinggung soal keberadaan puskesmas dalam perbincangannya dengan Menkes Budi, lanjut Jagaddhito, itu disebabkan puskesmas salah satu faktor yang membuat negara lain belajar ke Indonesia di era Presiden Soekarno. Salah satunya, Malaysia.

Saat itu negara lain tidak memiliki layanan kesehatan semacam puskesmas. Yang secara lokasi dan relasi paling dekat dengan masyarakat.

Karena itu, lanjut Jagaddhito, Eyang Soegijo berpendapat, setiap HKN alangkah baiknya kepala puskesmas beserta camat dan tokoh masyarakat setempat memberikan laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat tentang profil kesehatan di wilayahnya agar menjadi perhatian bersama. Sebab, setiap wilayah memiliki profil kesehatan yang berbeda-beda.

Eyang Soegijo dikaruniai 6 anak, 15 cucu, dan 8 cicit. Kiprahnya di kesehatan menurun kepada salah seorang putrinya yang menjadi dokter. Di generasi ketiga, tiga cucunya juga berprofesi dokter, termasuk Jagaddhito.

Sehari-hari, menurut Priyo, sang bapak sedikit bicara. Tapi, soal kedisiplinan  menjaga protokol kesehatan, tanpa kompromi.

Begitu pula kecintaan Eyang Soegijo terhadap Indonesia selalu terpatri dalam hati cucu-cucunya. Salah satu nasihat eyang yang paling diingat Jagaddhito: hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri orang. ’’Jiwa raga untuk negeri, dari rakyat untuk rakyat,’’ paparnya.  (*/c7/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya