Saturday, April 27, 2024
30.7 C
Jayapura

Pernah Membatalkan Penerbangan ke Malaysia, Kondisi Pasien yang Sudah Parah

Kiprah Dokter Eddie Andytama Bantu Pasien dalam Perjalanan Udara (2/habis)

Perhitungan matang dilakukan dr Eddie Andytama sebelum mendampingi pasien. Mulai kebutuhan oksigen hingga risiko yang terjadi di udara. Semuanya harus dijelaskan kepada keluarga pasien sebelum mengudara. Terutama jika terbang menggunakan pesawat komersial.

WAHYU ZANUAR BUSTOMI, Surabaya

ADA tantangan besar yang dilalui dr Eddie Andytama saat mendampingi pasien di dalam pesawat. Terutama pasien yang kondisinya darurat. Misalnya, korban kecelakaan yang mengalami patah tulang di seluruh tubuh. Dalam kondisi seperti itu, harus digunakan charter flight. Sebab, pasien harus ditidurkan lengkap dengan bed-nya.

Begitu pula jika ada pasien yang mengalami pendarahan di otak atau perut. Ketinggian pesawat tidak boleh lebih dari 10 ribu kaki. Salah satu jalan untuk membawa pasien harus dengan private jet. Dengan begitu, Eddie bisa request ketinggian. Hal tersebut tentu tidak bisa dilakukan pada penerbangan komersial.

Sebelum terbang, Eddie selalu membuat laporan kepada maskapai. Sebab, ada beberapa aturan yang dilarang pihak maskapai. Misalnya, membawa tabung oksigen di atas 5 liter, pasien mengalami penyakit yang mengeluarkan bau tidak sedap, serta dalam kondisi yang membutuhkan ventilator.

Informasi ke maskapai itu juga untuk membantu pelayanan sebelum take off dan saat tiba di bandara tujuan. Dengan demikian, kebutuhan peralatan bagi pasien seperti kursi roda bisa disiapkan sejak awal. Pihaknya juga harus benar-benar memastikan RS rujukan dapat menerima pasien. Tujuannya, menghindari penolakan dari pihak rumah sakit.

Baca Juga :  Kekurangan Guru Mata Pelajaran Umum, Masih Butuh Dukungan Sarpras

  Akhir bulan kemarin, Eddie terpaksa membatalkan pendampingan pasien. Ceritanya, pasien tersebut mengalami cedera di kepala akibat tabrakan motor. Lokasinya berada di Merauke. Karena di sana tidak ada dokter bedah saraf, pasien itu hendak dibawa ke Makassar. ”Kondisi pasien membutuhkan oksigen 10 liter per menit,’’ ucapnya Rabu (5/10) sore.

Perhitungan Eddie, kebutuhan oksigen pasien tersebut sangat tinggi. Penerbangan Merauke–Makassar butuh waktu dua jam. Belum lagi proses menunggu di bandara. Sementara itu, ketersediaan oksigen di maskapai terbatas.

Apalagi penerbangannya menggunakan pesawat komersial. Jika penerbangan tetap dilakukan, risikonya besar. Padahal, waktu itu pihaknya sudah disiapkan penerbangan dan hotel. Namun, terpaksa dibatalkan dan menunggu pasien membaik.

  Tidak jarang juga, beberapa keluarga pasien memaksanya untuk tetap mendampingi terbang. Padahal, kondisinya sangat kritis. Eddie mengungkapkan, mereka menawarkan biaya dua kali lipat. Tapi, dia tidak bisa menerima. ”Kalau pasien meninggal di pesawat, maskapai juga akan kena imbasnya,’’ ujar dia.

Pria asal Kebumen tersebut juga pernah membatalkan dinas. Padahal, dia sudah berada di lokasi pasien. Saat itu Eddie bertugas di Surabaya untuk menjemput pasien yang mengalami penyakit idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP). Darah pasien keluar terus-menerus hingga muntah darah.

Baca Juga :  Polsek Abepura Jadi Barometer, Butuh Dukungan Masyarakat Jaga Kamtibmas

Pesawat jet pribadi dari Malaysia untuk pasien sudah tiba di Bandara Juanda. Dia pun sudah datang dari Jakarta. Rencananya, pasien itu dibawa ke RS di Malaysia melalui Bandara Juanda ke Kuala Lumpur dengan jet pribadi. Melihat kondisi pasien yang parah, terpaksa akhirnya dibatalkan.

Meskipun pesawat dan Eddie sendiri sudah tiba di lokasi. ”Kejadian itu baru pertama saya alami,’’ kata dokter spesialis emergency and critical care tersebut.

Eddie pernah mendampingi beberapa artis hingga pejabat. Sebagian besar menggunakan private jet. Meski tidak sering, tindakan resusitasi jantung paru otak (RJPO) pernah dilakukannya di pesawat. Waktu itu dari Bangladesh menuju Singapura.

Pasien memang seharusnya menggunakan alat. Hanya waktu itu tidak sehingga pasien tidak kuat dan dilakukan RJPO. Beruntung, nyawanya masih dapat tertolong.

Saat di kabin, Eddie biasanya memeriksa kondisi jantung, pernapasan, oksigen dalam darah, hingga tensi pasien. Hal tersebut biasa dilakukan setiap 30 menit. Dia memiliki kepuasan sendiri saat berhasil mendampingi pasien sampai ke RS rujukan dengan selamat. Berkat itu, dia juga mengenal banyak kru pesawat. Semuanya dijalani dengan senang hati. Meski kadang harus tidak libur. (*/c6/may)

Kiprah Dokter Eddie Andytama Bantu Pasien dalam Perjalanan Udara (2/habis)

Perhitungan matang dilakukan dr Eddie Andytama sebelum mendampingi pasien. Mulai kebutuhan oksigen hingga risiko yang terjadi di udara. Semuanya harus dijelaskan kepada keluarga pasien sebelum mengudara. Terutama jika terbang menggunakan pesawat komersial.

WAHYU ZANUAR BUSTOMI, Surabaya

ADA tantangan besar yang dilalui dr Eddie Andytama saat mendampingi pasien di dalam pesawat. Terutama pasien yang kondisinya darurat. Misalnya, korban kecelakaan yang mengalami patah tulang di seluruh tubuh. Dalam kondisi seperti itu, harus digunakan charter flight. Sebab, pasien harus ditidurkan lengkap dengan bed-nya.

Begitu pula jika ada pasien yang mengalami pendarahan di otak atau perut. Ketinggian pesawat tidak boleh lebih dari 10 ribu kaki. Salah satu jalan untuk membawa pasien harus dengan private jet. Dengan begitu, Eddie bisa request ketinggian. Hal tersebut tentu tidak bisa dilakukan pada penerbangan komersial.

Sebelum terbang, Eddie selalu membuat laporan kepada maskapai. Sebab, ada beberapa aturan yang dilarang pihak maskapai. Misalnya, membawa tabung oksigen di atas 5 liter, pasien mengalami penyakit yang mengeluarkan bau tidak sedap, serta dalam kondisi yang membutuhkan ventilator.

Informasi ke maskapai itu juga untuk membantu pelayanan sebelum take off dan saat tiba di bandara tujuan. Dengan demikian, kebutuhan peralatan bagi pasien seperti kursi roda bisa disiapkan sejak awal. Pihaknya juga harus benar-benar memastikan RS rujukan dapat menerima pasien. Tujuannya, menghindari penolakan dari pihak rumah sakit.

Baca Juga :  Bahkan, Warga Luar Kota Menitipkan Anaknya di Sini

  Akhir bulan kemarin, Eddie terpaksa membatalkan pendampingan pasien. Ceritanya, pasien tersebut mengalami cedera di kepala akibat tabrakan motor. Lokasinya berada di Merauke. Karena di sana tidak ada dokter bedah saraf, pasien itu hendak dibawa ke Makassar. ”Kondisi pasien membutuhkan oksigen 10 liter per menit,’’ ucapnya Rabu (5/10) sore.

Perhitungan Eddie, kebutuhan oksigen pasien tersebut sangat tinggi. Penerbangan Merauke–Makassar butuh waktu dua jam. Belum lagi proses menunggu di bandara. Sementara itu, ketersediaan oksigen di maskapai terbatas.

Apalagi penerbangannya menggunakan pesawat komersial. Jika penerbangan tetap dilakukan, risikonya besar. Padahal, waktu itu pihaknya sudah disiapkan penerbangan dan hotel. Namun, terpaksa dibatalkan dan menunggu pasien membaik.

  Tidak jarang juga, beberapa keluarga pasien memaksanya untuk tetap mendampingi terbang. Padahal, kondisinya sangat kritis. Eddie mengungkapkan, mereka menawarkan biaya dua kali lipat. Tapi, dia tidak bisa menerima. ”Kalau pasien meninggal di pesawat, maskapai juga akan kena imbasnya,’’ ujar dia.

Pria asal Kebumen tersebut juga pernah membatalkan dinas. Padahal, dia sudah berada di lokasi pasien. Saat itu Eddie bertugas di Surabaya untuk menjemput pasien yang mengalami penyakit idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP). Darah pasien keluar terus-menerus hingga muntah darah.

Baca Juga :  Sarana Berbagi Ilmu Seni dan Ekonomi Kreatif

Pesawat jet pribadi dari Malaysia untuk pasien sudah tiba di Bandara Juanda. Dia pun sudah datang dari Jakarta. Rencananya, pasien itu dibawa ke RS di Malaysia melalui Bandara Juanda ke Kuala Lumpur dengan jet pribadi. Melihat kondisi pasien yang parah, terpaksa akhirnya dibatalkan.

Meskipun pesawat dan Eddie sendiri sudah tiba di lokasi. ”Kejadian itu baru pertama saya alami,’’ kata dokter spesialis emergency and critical care tersebut.

Eddie pernah mendampingi beberapa artis hingga pejabat. Sebagian besar menggunakan private jet. Meski tidak sering, tindakan resusitasi jantung paru otak (RJPO) pernah dilakukannya di pesawat. Waktu itu dari Bangladesh menuju Singapura.

Pasien memang seharusnya menggunakan alat. Hanya waktu itu tidak sehingga pasien tidak kuat dan dilakukan RJPO. Beruntung, nyawanya masih dapat tertolong.

Saat di kabin, Eddie biasanya memeriksa kondisi jantung, pernapasan, oksigen dalam darah, hingga tensi pasien. Hal tersebut biasa dilakukan setiap 30 menit. Dia memiliki kepuasan sendiri saat berhasil mendampingi pasien sampai ke RS rujukan dengan selamat. Berkat itu, dia juga mengenal banyak kru pesawat. Semuanya dijalani dengan senang hati. Meski kadang harus tidak libur. (*/c6/may)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya