Thursday, April 18, 2024
25.7 C
Jayapura

Bupati dan Kepala Kampung Jadi Garda Terdepan

Mendorong Upaya Perdamaian dan Menghentikan Kekerasan di Papua

JAYAPURA-Kasus kekerasan di Papua masih marak terjadi dan beberapa korbannya adalah anak-anak dan perempuan di wilayah konflik, hingga terjadinya pengungsian.

Berangkat dari kasus kekerasan yang kerap terjadi di Papua, Komnas HAM membentuk Tim Pemantauan dan Negosiasi kasus-kasus kekerasan di Papua. Tim ini bermitra dengan jaringan yang ada di beberapa daerah di Papua, melakukan negosiasi terhadap  berbagai kasus kasus kekerasan antara TNI-Polri dan Kelompok Sipil Bersenjata (KKB).

“Kita mendorong adanya upaya perdamaian dan menghentikan kekerasan yang berkepenjangan dan ketegangan yang terjadi di beberapa wilayah di Papua,” ucap Kepala Komnas HAM Frits Ramandey kepada Cenderawasih Pos, Selasa (14/12).

Tim ini juga mendorong agar para bupati dan kepala kepala kampung harus diberdayakan  untuk menangani konflik yang kerap kali terjadi di wilayah mereka. Sebab, para bupati dan kepala kampung yang lebih tahu siapa pelaku kekerasan yang ada di wilayahnya.

“Jika bupati dan kepala kampung berjumpa dengan kelompok sipil bersenjata, sepanjang itu dalam konteks negosiasi dan mengupayakan penyelesaian masalah. Mereka jangan lantas dicurigai,” tegas Frits.

Baca Juga :  Di Merauke, Kasus Covid-19 Mulai Meledak

Dalam catatan Komnas HAM kata Frits, ketika para bupati dan kepala kampung tidak dilibatkan, itu justru konfliknya berkepanjangan terutama soal pengungsian dan lainnya.

“Mereka ini (bupati dan kepala kampung-red) dilibatkan tetapi  kemudian ada faktor ketakutan, keraguan karena ada kecurigaan kepada mereka. Apalagi jika mereka orang asli papua,” kata Frits.

Yang paling penting saat ini menurut Frits, para bupati dan kepala kampung yang ada di wilayah konflik harus diberi akses seluas luasnya dalam rangka menyelesaikan konflik bukan kemudian memperpanjang konflik.

“Kepala daerah dan kepala kampung menjadi bagian dari struktur negara yang harus dipercaya, jangan dicurigai oleh satuan lainnya,” tegasnya.

Menurut Frits, dari 13 markas KSB yang didatangi, ketika mengedepankan para kepala kampung dan bupati, itu jauh lebih cepat menyelesaikan konflik, ketimbang konflik itu diambil alih penyelesaiannya oleh TNI-Polri.

Sementara itu lanjut Frits, dalam data Komnas HAM, terdapat 24 basis KKB di Papua dan Papua Barat. Namun, yang baru didatangi Komnas HAM adalah 13 Markas. Nantinya, mitra dari 13 wilayah ini nantinya akan berkomunikasi melakukan evaluasi terhadap kerja kerja yang sudah dilakukan, serta merumuskan bersama agenda apa yang harus ditindak lanjuti kedepannya dalam rangka upaya negosiasi dan mediasi lanjutan dengan para pihak.

Baca Juga :  KKB Egianus Kogoye Klaim Tembak Pesawat

“Tim ini bekerja selama 8 bulan dan bertemu dengan berbagai pimpinan KSB, tetapi juga kami bertemu dengan Dandim, Danpos, Kapolres dan Kapolsek yang ada di setiap daerah yang kami kunjungi untuk menyampaikan situasi dimana kami datang,” terang Frits.

Hasil dari peninjauan yang dilakukan di lapangan selanjutnya disampaikan kepada Gubernur Papua dan Papua Barat, Kapolda, Pangdam, Kepala BIN dan Menkopolhukam bahwa  penanganan Papua harus berdasarkan standar HAM.

“Jangan sampai pendekatan yang digunakan oleh negara justru menimbulkan reaksi baru terhadap korban,” tegasnya,

Adapun dampak dari yang dilakukan Tim Pemantauan dan Negosiasi kasus-kasus kekerasan di Papua yakni memberi rekomendasi bagaimana posisi Kogabwilhan dengan Kodam dan Polda bisa disingkronkan, dengan adanya kemauan presiden dan Kapolri mengedepankan pendekatan humanis, sementara Panglima menyelesaikan papua tanpa menggunakan perang. (fia/nat)

Mendorong Upaya Perdamaian dan Menghentikan Kekerasan di Papua

JAYAPURA-Kasus kekerasan di Papua masih marak terjadi dan beberapa korbannya adalah anak-anak dan perempuan di wilayah konflik, hingga terjadinya pengungsian.

Berangkat dari kasus kekerasan yang kerap terjadi di Papua, Komnas HAM membentuk Tim Pemantauan dan Negosiasi kasus-kasus kekerasan di Papua. Tim ini bermitra dengan jaringan yang ada di beberapa daerah di Papua, melakukan negosiasi terhadap  berbagai kasus kasus kekerasan antara TNI-Polri dan Kelompok Sipil Bersenjata (KKB).

“Kita mendorong adanya upaya perdamaian dan menghentikan kekerasan yang berkepenjangan dan ketegangan yang terjadi di beberapa wilayah di Papua,” ucap Kepala Komnas HAM Frits Ramandey kepada Cenderawasih Pos, Selasa (14/12).

Tim ini juga mendorong agar para bupati dan kepala kepala kampung harus diberdayakan  untuk menangani konflik yang kerap kali terjadi di wilayah mereka. Sebab, para bupati dan kepala kampung yang lebih tahu siapa pelaku kekerasan yang ada di wilayahnya.

“Jika bupati dan kepala kampung berjumpa dengan kelompok sipil bersenjata, sepanjang itu dalam konteks negosiasi dan mengupayakan penyelesaian masalah. Mereka jangan lantas dicurigai,” tegas Frits.

Baca Juga :  Tidak Ada Lagi DistrikTerisolir di Lanny Jaya

Dalam catatan Komnas HAM kata Frits, ketika para bupati dan kepala kampung tidak dilibatkan, itu justru konfliknya berkepanjangan terutama soal pengungsian dan lainnya.

“Mereka ini (bupati dan kepala kampung-red) dilibatkan tetapi  kemudian ada faktor ketakutan, keraguan karena ada kecurigaan kepada mereka. Apalagi jika mereka orang asli papua,” kata Frits.

Yang paling penting saat ini menurut Frits, para bupati dan kepala kampung yang ada di wilayah konflik harus diberi akses seluas luasnya dalam rangka menyelesaikan konflik bukan kemudian memperpanjang konflik.

“Kepala daerah dan kepala kampung menjadi bagian dari struktur negara yang harus dipercaya, jangan dicurigai oleh satuan lainnya,” tegasnya.

Menurut Frits, dari 13 markas KSB yang didatangi, ketika mengedepankan para kepala kampung dan bupati, itu jauh lebih cepat menyelesaikan konflik, ketimbang konflik itu diambil alih penyelesaiannya oleh TNI-Polri.

Sementara itu lanjut Frits, dalam data Komnas HAM, terdapat 24 basis KKB di Papua dan Papua Barat. Namun, yang baru didatangi Komnas HAM adalah 13 Markas. Nantinya, mitra dari 13 wilayah ini nantinya akan berkomunikasi melakukan evaluasi terhadap kerja kerja yang sudah dilakukan, serta merumuskan bersama agenda apa yang harus ditindak lanjuti kedepannya dalam rangka upaya negosiasi dan mediasi lanjutan dengan para pihak.

Baca Juga :  Dua Kelompok Bertikai Sepakat Berdamai   

“Tim ini bekerja selama 8 bulan dan bertemu dengan berbagai pimpinan KSB, tetapi juga kami bertemu dengan Dandim, Danpos, Kapolres dan Kapolsek yang ada di setiap daerah yang kami kunjungi untuk menyampaikan situasi dimana kami datang,” terang Frits.

Hasil dari peninjauan yang dilakukan di lapangan selanjutnya disampaikan kepada Gubernur Papua dan Papua Barat, Kapolda, Pangdam, Kepala BIN dan Menkopolhukam bahwa  penanganan Papua harus berdasarkan standar HAM.

“Jangan sampai pendekatan yang digunakan oleh negara justru menimbulkan reaksi baru terhadap korban,” tegasnya,

Adapun dampak dari yang dilakukan Tim Pemantauan dan Negosiasi kasus-kasus kekerasan di Papua yakni memberi rekomendasi bagaimana posisi Kogabwilhan dengan Kodam dan Polda bisa disingkronkan, dengan adanya kemauan presiden dan Kapolri mengedepankan pendekatan humanis, sementara Panglima menyelesaikan papua tanpa menggunakan perang. (fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya