Friday, April 26, 2024
31.7 C
Jayapura

Pemerintah dan PMI Didesak Lindungi Pengungsi di Papua

JAYAPURA – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua mendesak pemerintah dan Palang Merah Indonesia (PMI) segera lindungi warga yang mengungsi akibat konflik di Papua. Sebagaimana, beberapa warga di daerah pegunungan Papua saat ini masih mengungsi akibat konflik yang terjadi di daerah mereka.

Berbicara soal pengungsian, sesuai UU No 1 Tahun 2O18 junto PP No 7 Tahun 2019, pemerintah dan PMI menjalankan kewajibannya melindungi pengungsi di semua wilayah konflik termasuk di Papua.

Dalam catatan LBH berdasarkan pemberitaan beberapa tahun terakhir, kasus pengungsi yang dialami oleh masyarakat sipil Papua di antaranya di Kabupaten Nduga (2018), Kabupaten Intan Jaya (2019 – 2020), Kabupaten Mimika (2020), Kabupaten Puncak Papua (2021), Kabupaten Maybrat (2020), Kabupaten Tambrauw (2021) dan Kabupaten Pegunungan Bintang (2021). 

Atas dasar fakta hukum tersebut, diharapkan agar Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat sudah harus memikirkan sebuah langkah hukum. untuk membentuk sebuah regulasi daerah yang dapat berfungsi untuk melindungi masyarakat sipil Papua yang menjadi korban pengungsian akibat konflik maupun bencana alam. 

Hal ini mengingat di Indonesia telah memiliki ketentuan hukum tentang penanganan pengungsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O18 Tentang Kepalangmerahan junto Peraturan Pemerinta Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O18 Tentang Kepalangmerahan.

“Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk dari bencana atau konflik sebagaimana diatur pada pasal 1 angka 12, PP Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O18 Tentang Kepalangmerahan,” ungkap Direktur LBH Papua Emanuel Gobay sebagaimana rilis yang diterima Cenderawasih Pos, Senin (25/10).

Berkaitan dengan penanganan pengungsi, merupakan bagian langsung dari kerja penyelenggaraan kepalanggmerahan yang dilakukan oleh pemerintah dan PMI yang dilakukan pada masa damai dan konflik bersenjata sebagaimana diatur pada pasal 2 dan Pasal 3, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O18 Tentang Kepalangmerahan. 

Baca Juga :  Banyak Warga Non Papua Diselamatkan Anak Asli Papua

Mengingat dua institusi itu yang diberikan kewenangan, sehingga pada prakteknya secara teknis melakukan kerja yang berbeda secara khusus bagi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan Kepalangmerahan pada penanganan pengungsian oleh pemerintah dilakukan untuk menjamin pelaksanaan kebijakan yang terkait dengan penemuan, penampungan, pelindungan, dan pengawasan bagi para pengungsi. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur pada pasal 10, PP Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2O18 tentang Kepalangmerahan.

Sekalipun demikian, tugas pemerintah dan PMI terhadap pengungsi namun pada prakteknya pemerintah dan PMI belum maksimal implementasikan tugas masing-masing sesuai ketentuan pasal 10 dan Pasal 11, PP Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O18 Tentang Kepalangmerahan. Sebagaimana yang dialami oleh masyarakat sipil di empat distrik yakni Distrik Kiwirok, Distrik Oklib, Distrik Okyob dan Distrik Okika, Kabupaten Pegunungan Bintang.

Emanuel Gobay mengatakan, apabila pada prakteknya pemerintah tidak mengimplementasikan Undang-Undang Kepalangmerahan di seluruh wilayah kabupaten di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang sampai saat ini masih ada masyarakat sipil yang mengungsi seperti di empat distrik di Kabupaten Pegunungan Bintang, maka secara langsung akan menunjukan adanya dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. 

Dengan berdasarkan pada fakta pelanggaran HAM yang dimiliki masyarakat sipil yang mengungsi dan dugaan terjadinya kerjahatan kemanusiaan, maka diharapkan agar Komas HAM RI Pusat dan Komnas HAM RI Perwakilan Papua wajib menjalankan tugas pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut. Serta melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terhadap pelanggaran hak asasi manusia. 

Baca Juga :  Dalam Kondisi Sakit, Lukas Enembe Dijemput KPK

LBH juga menegaskan kepada Persiden agar segera implementasikan Undang-Undang Kepalangmerahan.

PMI segera turun menangani pengungsi sesuai perintah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O18 Tentang Kepalangmerahan junto Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2019 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O18 Tentang Kepalangmerahan di seluruh wilayah kabupaten dalam Provinsi Papua.

Pihaknya juga meminta Ketua Komnas RI Pusat dan Kepala Kantor Komnas RI Perwakilan Papua segera memantau pemenuhan hak para pengungsi oleh Pemerintah dan PMI. 

Pemerintah juga diminta segera membentuk Perda tentang Kepalamerahan untuk memberikan kepastian hukum dan jaminan perlindungan HAM bagi masyarakat sipil Papua yang menjadi pengungsi di Papua.

Menurut Antonius Uromabin selaku ketua harian ketua Dewan Adat wilayah Ngalum Kupel, warga empat distrik itu mengungsi sejak kontak senjata antara TPNPB dan TNI hingga pembakaran rumah sakit dan fasilitas lainnya di Kiwirok. Sejak itu, warga empat distrik itu, kosong.

“Yang ambil alih wilayah Kiwirok saat ini TNI-Polri, sedang masyarakat semua mengungsi,”katanya.

Lanjut Antonius, dewan adat belum memastikan jumlah warga yang mengungsi. Pihaknya hanya mengetahui warga mengungsi ke ibu kota kabupaten dan ke Distrik Okbibab. Karena, warga mengungsi terpencar ketika peristiwa meletus dan dropping pasukan.

“Masyarakat mereka terpencar, tidak turun semua ke Oksibil. Saya dapat laporan 1.500 orang ke Oksibil. Ke Oklip 800 orang lalu ada ke Okbibab. Mereka yang ke Okbibab tidak masuk kampung tetapi ada di wilayah perbatasan karena di situ ada kebun,”katanya.(fia/nat)

JAYAPURA – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua mendesak pemerintah dan Palang Merah Indonesia (PMI) segera lindungi warga yang mengungsi akibat konflik di Papua. Sebagaimana, beberapa warga di daerah pegunungan Papua saat ini masih mengungsi akibat konflik yang terjadi di daerah mereka.

Berbicara soal pengungsian, sesuai UU No 1 Tahun 2O18 junto PP No 7 Tahun 2019, pemerintah dan PMI menjalankan kewajibannya melindungi pengungsi di semua wilayah konflik termasuk di Papua.

Dalam catatan LBH berdasarkan pemberitaan beberapa tahun terakhir, kasus pengungsi yang dialami oleh masyarakat sipil Papua di antaranya di Kabupaten Nduga (2018), Kabupaten Intan Jaya (2019 – 2020), Kabupaten Mimika (2020), Kabupaten Puncak Papua (2021), Kabupaten Maybrat (2020), Kabupaten Tambrauw (2021) dan Kabupaten Pegunungan Bintang (2021). 

Atas dasar fakta hukum tersebut, diharapkan agar Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat sudah harus memikirkan sebuah langkah hukum. untuk membentuk sebuah regulasi daerah yang dapat berfungsi untuk melindungi masyarakat sipil Papua yang menjadi korban pengungsian akibat konflik maupun bencana alam. 

Hal ini mengingat di Indonesia telah memiliki ketentuan hukum tentang penanganan pengungsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O18 Tentang Kepalangmerahan junto Peraturan Pemerinta Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O18 Tentang Kepalangmerahan.

“Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk dari bencana atau konflik sebagaimana diatur pada pasal 1 angka 12, PP Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O18 Tentang Kepalangmerahan,” ungkap Direktur LBH Papua Emanuel Gobay sebagaimana rilis yang diterima Cenderawasih Pos, Senin (25/10).

Berkaitan dengan penanganan pengungsi, merupakan bagian langsung dari kerja penyelenggaraan kepalanggmerahan yang dilakukan oleh pemerintah dan PMI yang dilakukan pada masa damai dan konflik bersenjata sebagaimana diatur pada pasal 2 dan Pasal 3, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O18 Tentang Kepalangmerahan. 

Baca Juga :  Kematian Dokter Muda Paul Ikut Dibahas Uncen

Mengingat dua institusi itu yang diberikan kewenangan, sehingga pada prakteknya secara teknis melakukan kerja yang berbeda secara khusus bagi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan Kepalangmerahan pada penanganan pengungsian oleh pemerintah dilakukan untuk menjamin pelaksanaan kebijakan yang terkait dengan penemuan, penampungan, pelindungan, dan pengawasan bagi para pengungsi. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur pada pasal 10, PP Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2O18 tentang Kepalangmerahan.

Sekalipun demikian, tugas pemerintah dan PMI terhadap pengungsi namun pada prakteknya pemerintah dan PMI belum maksimal implementasikan tugas masing-masing sesuai ketentuan pasal 10 dan Pasal 11, PP Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O18 Tentang Kepalangmerahan. Sebagaimana yang dialami oleh masyarakat sipil di empat distrik yakni Distrik Kiwirok, Distrik Oklib, Distrik Okyob dan Distrik Okika, Kabupaten Pegunungan Bintang.

Emanuel Gobay mengatakan, apabila pada prakteknya pemerintah tidak mengimplementasikan Undang-Undang Kepalangmerahan di seluruh wilayah kabupaten di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang sampai saat ini masih ada masyarakat sipil yang mengungsi seperti di empat distrik di Kabupaten Pegunungan Bintang, maka secara langsung akan menunjukan adanya dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. 

Dengan berdasarkan pada fakta pelanggaran HAM yang dimiliki masyarakat sipil yang mengungsi dan dugaan terjadinya kerjahatan kemanusiaan, maka diharapkan agar Komas HAM RI Pusat dan Komnas HAM RI Perwakilan Papua wajib menjalankan tugas pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut. Serta melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terhadap pelanggaran hak asasi manusia. 

Baca Juga :  Masalah Asmara, Koko Panjat Tiang Jembatan Youtefa

LBH juga menegaskan kepada Persiden agar segera implementasikan Undang-Undang Kepalangmerahan.

PMI segera turun menangani pengungsi sesuai perintah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O18 Tentang Kepalangmerahan junto Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2019 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O18 Tentang Kepalangmerahan di seluruh wilayah kabupaten dalam Provinsi Papua.

Pihaknya juga meminta Ketua Komnas RI Pusat dan Kepala Kantor Komnas RI Perwakilan Papua segera memantau pemenuhan hak para pengungsi oleh Pemerintah dan PMI. 

Pemerintah juga diminta segera membentuk Perda tentang Kepalamerahan untuk memberikan kepastian hukum dan jaminan perlindungan HAM bagi masyarakat sipil Papua yang menjadi pengungsi di Papua.

Menurut Antonius Uromabin selaku ketua harian ketua Dewan Adat wilayah Ngalum Kupel, warga empat distrik itu mengungsi sejak kontak senjata antara TPNPB dan TNI hingga pembakaran rumah sakit dan fasilitas lainnya di Kiwirok. Sejak itu, warga empat distrik itu, kosong.

“Yang ambil alih wilayah Kiwirok saat ini TNI-Polri, sedang masyarakat semua mengungsi,”katanya.

Lanjut Antonius, dewan adat belum memastikan jumlah warga yang mengungsi. Pihaknya hanya mengetahui warga mengungsi ke ibu kota kabupaten dan ke Distrik Okbibab. Karena, warga mengungsi terpencar ketika peristiwa meletus dan dropping pasukan.

“Masyarakat mereka terpencar, tidak turun semua ke Oksibil. Saya dapat laporan 1.500 orang ke Oksibil. Ke Oklip 800 orang lalu ada ke Okbibab. Mereka yang ke Okbibab tidak masuk kampung tetapi ada di wilayah perbatasan karena di situ ada kebun,”katanya.(fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya