Tuesday, April 23, 2024
27.7 C
Jayapura

Kematian Dokter Muda Paul Ikut Dibahas Uncen

Rektor Universitas Cenderawasih, DR. Ir. Apolo Safanpo, ST., MT

JAYAPURA-Penyebab kematian seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih, Paul Fonataba, Rabu (13/1) lalu  di perumahan BPN Dok IX RT III RW VI Kelurahan Tanjung Ria Distrik Jayapura Utara masih misteri.

Sepekan lebih kasus ini terjadi dan masih ditangani pihak kepolisian. Meski demikian dari kematian Paul ini ternyata masih menyisakan pembicaraan di antara rekan sekampusnya.

Banyak informasi yang isinya menyayangkan kejadian tersebut dan mengaitkan dengan beratnya beban pendidikan yang dijalani Paul.

Informasi ini juga dikait – kaitkan dengan status stase almarhum yang berada pada titik akhir untuk kelulusan. Ada perjuangan yang masih mengalami kebuntuan terutama yang berkaitan dengan stase tadi.

Menyikapi ini Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura tak diam. Lembaga pendidikan yang dinaungi almarhum ini juga mengambil sikap membahas dari segi akademisi dan pendidikan di Uncen untuk memastikan apakah ada kondisi yang memang menyulitkan dan tidak bisa dipecahkan.

Hanya dari wawancara Cenderawasih Pos dengan Rektor Universitas Cenderawasih, DR. Ir. Apolo Safanpo, ST., MT., menyampaikan bahwa pihaknya tak mau masuk membahas soal penyebab kematian almarhum. Mengingat hal tersebut sudah diranah kepolisian.

Pihaknya lebih pada proses tahapan penyelesaian studi  yang  dianggap ada persoalan.

Menurut Apolo, Rabu (20/1) kemarin dirinya meminta pembantu Rektor 1 Uncen untuk mengundang Dekan Fakultas Kedokteran, pembantu dekan, ketua program pendidikan profesi dan koordinator komisi pendidikan di RSUD Jayapura dengan beberapa dokter yang menangani koas untuk menggali informasi tentang isu yang beredar.

Menurut  penjelasan dekan dan ketua program pendidikan profesi dokter dan koordinator komite pendidikan di RSUD Jayapura, almarhum Paul ini secara akademik sudah menuntaskan pendidikannya di Fakultas Kedokteran.

Almarhum bahkan mengantongi IPK 3  lebih.  Namun yang belum adalah proses pendidikan lanjutan  yang berkaitan dengan profesi dan itu wajib ditempuh. Disini Apolo menjelaskan dari awal soal jenjang dan tahapan.

Dikatakan,  berdasar amanat UU Nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi mengatur bahwa perguruan tinggi di Indonesia menyelenggarakan 3 jenis pendidikan.

Pertama adalah pendidikan akademik dimulai dari S1, S2 dan S3. Kedua adalah pendidikan vokasi yakni program diploma hingga S1 terapan, S2 terapan dan S3 terapan dan ketiga adalah jenis pendidikan profesi yang menjadi lisensi bagi seseorang dalam profesinya.

Jadi mudahnya, jika lulus kedokteran maka gelar akademiknya sarjana kedokteran namun disini ia belum memiliki lisensi untuk menjalankan pekerjaan di bidang kedokteran. Ia harus mengikuti pendidikan profesi untuk mendapat gelar profesi dokter barulah ia bisa bekerja dan praktek dibidang kedokteran.

Demikian juga dengan jurusan teknik yang setelah lulus belum bisa bekerja dalam bidang konstruksi melainkan harus mengikuti pendidikan profesi insinyur.

Rektor menjelaskan untuk pendidikan akademik menjadi wewenang perguruan tinggi secara mandiri. Lalu jenis pendidikan vokasi dilaksanakan bersama oleh perguruan tinggi dan asosiasi profesi misalnya teknik sipil bekerja sama dengan  Dinas PU,  kontraktor maupun konsultan sedangkan pendidikan kesehatan bisa dengan  klinik, puskesmas dan dinas kesehatan.

Nah pendidikan ketiga ini atau pendidikan profesi seluruh  prosesnya dilaksanakan bersama oleh perguruan tinggi dan asosiasi profesinya.

“Jadi setelah kami melakukan penelusuran ternyata kendala yang dihadapi adik ini tidak pada jalur pendidikan perguruan tinggi. Masalahnya ada pada rumah sakit, pada stase di sana. Saya sudah cek ke dekan, pembantu dekan, ketua prodi pendidikan dokter dan ketua prodi pendidikan profesi dokter ternyata semuanya sudah selesai. Nilainya sudah ada dan siap diyudisium. Sedangkan masalah yang dihadapi justru pada stase di rumah sakit dan ini di luar kewenangan perguruan tinggi,” beber Apolo melalui ponselnya, Kamis (21/1).

Pihaknya sendiri tidak bisa mengintervensi rumah sakit karena berkaitan dengan kode etik dan norma dalam profesi kedokteran. “Jika masalah ini terjadi dalam jalur perguruan tinggi maka ini menjadi kewenangan rektor, dekan dan pimpinan fakultas untuk menyelesaikan. Tapi setelah kami telusuri ternyata persoalannya di luar kewenangan perguruan tinggi,” tambahnya.

Rektor Apolo juga sempat menanyakan apakah almarhum bisa dipindahkan rumah sakitnya sehingga mendapatkan dokter lain yang bisa membantu persoalannya.

Namun ternyata persoalan yang dihadapi oleh almarhum berkaitan dengan ketua ikatan profesi yang diambil oleh almarhum sehingga dipindahkan ke rumah sakit lain juga kemungkinan tidak bisa berjalan mulus. Lantaran harus berurusan dengan dokter yang menjadi ketua ikatan profesi tadi.

“Kami juga menanyakan kepada dekan, kepada ketua program pendidikan profesi dokter dan koordinator komite pendidikan RSUD dan arsip kami lengkap dimana dekan sudah menyurat kepada dokter yang bersangkutan untuk mengikutsertakan mahasiswa tersebut dalam stase berikutnya atau mengulang pada stase yang sama namun  dokter tersebut tidak mengizinkan,” kata Apolo.

Baca Juga :  Isyaratkan Fight Lawan Persipura

Lalu pihak fakultas juga sudah berusaha memindahkan ke RS Abepura dengan harapan bisa didampingi dokter lain namun rupanya setiap stase memiliki ikatan profesi dan masing-masing ada ketuanya dan ketuanya inilah yang memberi sanksi kepada almarhum.

“Kami punya tiga surat baik fakultas maupun  program profesi dokter yang sudah mengajukan untuk memindahkan ke rumah sakit lain. Namun dari ikatan profesi itu tetap ditolak karena belum ada petunjuk dari ketua profesinya ini. Akhirnya langkah terakhir usaha dekan Fakultas Kedokteran dan ketua program studi yaitu langsung memasukkan nama mahasiswa ini dalam daftar yang akan diyudisium,” sambung Rektor.

Akan tetapi keputusan untuk memasukkan nama almarhum sebagai mahasiswa yang akan ikut diyudisium bukan tanpa proses. Pihak dekan dan fakultas  menguji lebih dulu dengan mengumpulkan soal ujian nasional  untuk stase mata yang biasa dilakukan di seluruh fakultas kedokteran di Indonesia.

Soal ini diujikan kepada almarhum dengan asumsi jika  ia bisa mengerjakan artinya ia  sudah memiliki kompetensi. “Dan ternyata adik kita ini  bisa mengerjakan dan nilainya bagus sehingga namanya dimasukkan dalam peserta yudisium. Akan tetapi ketua profesi mata ini melihat ada nama mahasiswa tersebut dalam daftar yudisium dan kembali melakukan protes. Ia mengirimkan surat protes ke fakultas dan meminta agar anak ini tidak diyudisium. Jika tidak ia akan mengadukan sebagai pelanggaran kode etik profesi,” cerita Rektor.

“Jadi ada tiga kali upaya bahkan upaya keempat ada memasukkan namanya untuk yudusium dengan memberikan soal sesuai standart fakultas kedokteran di Indonesia tapi mendapat penolakan dari ketua ikatan profesi tadi,” tambahnya.

Disini Rektor tak menampik jika ada pelanggaran yang dilakukan almarhum berkaitan dengan pemalsuan tandatangan. Namun almarhum dikatakan sudah menjalani sanksi, meminta maaf bahkan meminta ampun dan mengakui semua kesalahannya namun ternyata masih ada kesulitan yang ditemui.

“Sebagai orang tua saya juga ikut prihatin dan merasa kehilangan. Sebab persoalan seperti ini sejatinya bisa diselesaikan apalagi yang bersangkutan sudah menjalani sanksi oleh pembimbingnya serta meminta pengampunan. Selanjutnya ini menjadi ranah dinas kesehatan dan direktur RSUD Jayapura untuk sama – sama membina staf  dan pegawai. Kita sama-sama membina. Sebab undang – undang profesi mengamanatkan diselenggarakan bersama,” pungkasnya.

Sementara itu, jenazah almarhum Fembri Paul Fonataba (28) telah dimakamkan pihak keluarga di lahan milik keluarga yaitu di Rumah Pintar (Rumpin) Arso 14, Kampung Wulukubun, Kabupaten Keerom, Sabtu (16/1) lalu.

Sarah yang merupakan ibu almarhum Paul mengatakan, anak semata wayangnya ini sangat disayangi dan dijaga dengan baik. Karena untuk memiliki keturunan, ia bersama sang suami membutuhkan waktu cukup lama 4 tahun setelah nikah tahun 1988. Almarhum Paul menurutnya akhirnya lahir pada November 1999.

Sarah mengaku, Paul adalah anak yang pintar dan cerdas. Dari sekolah, almarhum sudah menunjukkan prestasi yang luar biasa. Bahkan selalu mendapatkan nilai-nilai tinggi seperti matematika, bahasa Inggris dan lainnya. Sekolahnya juga di sekolah favorit SMP di sekolah Kristen Kalam Kudus Jayapura dan SMAN 5 Angkasa Jayapura.
Sarah mengaku awalnya tidak setuju jika anaknya masuk di Fakultas Kedokteran Uncen. Karena waktu itu masuknya Fakultas Kedokteran Uncen  direkomendasikan oleh teman baiknya yang melihat almarhum merupakan anak yang pintar dan  sopan

“Waktu itu, Paul juga diterima di Universitas  Atmajaya Yogyakarta di Teknik Sipil atau di salah satu universitas di Bandung prodi Teknik Nuklir. Karena memang almarhum pintar matematika, bahasa Inggris dan bahasa Jepang serta lainnya. Karena sudah direkomendasikan di fakultas Kedokteran Uncen dan mengikuti test mendapatkan nilai yang tinggi hinga lulus akhirnya, ia masuk Uncen untuk kuliah di tahun 2013 hingga 2017 akhirnya diwisuda,” ungkap Sarah melalui ponselnya beberapa hari yang lalu.

Setelah diwisuda, almarhum melanjutkan koas di RSUD Jayapura selama 2 tahun. Namun diakuinya ada satu nilainya yang tidak cukup bagus sehingga ia harus mengulangi kembali.
Sarah mengakui anaknya mempunyai kesalahan namun sanksi yang diberikan atas kesalahan tersebut sudah dijalani. Bahkan almarhum menurutnya sudah meminta maaf dan berusaha menemui dokter penguji agar bisa mengikuti ujian. Meskipun almarhum harus menunggu hingga 1,5 tahun, namun tidak juga diizinkan untuk mengikuti ujian kembali.

Baca Juga :  KPK-Pemkab Merauke Siap Tarik 100 Unit Mobil Dinas 

“Saya juga sering menemani ke rumahnya, namun setiap ke sana pasti selalu menghindar. Entah ada yang seperti ini. Tidak berkeprimanusiaan dan memaafkan kesalahan. Padahal kesalahan anak saya sudah dijalani,” sesalnya.

Sarah juga mengakui bahwa ada dosen lain yang akhirnya membantu mengujinya dan ujian dilakukan selama tiga hari yaitu tanggal 11-13 Januari lalu.

Almarhum Paul diakuinya sudah bersemangat untuk mengikuti ujian itu. Bahkan almarhum berpuasa dan berdoa agar bisa mengikuti ujian dengan baik.

“Saat ujian, Paul dalam keadaan yang lemah. Kata teman-temannya, meskipun demikian Paul tetap ikut ujian karena dosen pengganti ini inginkan untuk tetap dilakukan ujian,” tuturnya.

Dari informasi yang disampaikan beberapa rekan almarhum, Sarah mendapat kabar bahwa Paul saat ujian kondisinya sangat lemah. Bahkan untuk naik tangga harus dibantu dan ketika hendak pulang rekan-rekannya menawarkan untuk mengantar pulang, namun Paul menolak. Hingga akhir, almarhum ditemukan tak bernyawa di bak kamar mandi.

 “Berdasarkan informasi yang dikatakan temannya kepada saya di rumah duka, ternyata kondisi almarhum tidak enak badan dan terlihat lemah. Hari Senin memang bisa mengikuti ujian. Namun hari Selasa, kelihatan sudah capek bahkan mau naik tangga saja tidak kuat. Tetapi Paul dengan semangat yang besar, ia mencoba untuk mengikuti ujian itu. Namun Rabu (13/1), Tuhan sudah berkehendak lain. Paul sudah dipanggil Tuhan,” ucapnya.

Diakuinya, kepergian anak semata wayangnya ini tidak hanya meninggalkan duka yang mendalam bagi keluarga. Namun juga masih menimbulkan pertanyaan. Apalagi, rencananya, Februari nanti almarhum akan mengikuti yudisium dan sudah menyiapkan semua berkas yang dibutuhkan.

“Semoga almarhum bisa istirahat dengan tenang di sisi Tuhan. Kami makamkan di tanah sendiri supaya bisa terus melihat dan bisa terus membersihkan makamnya. Kami berharap kematian anak kami bisa diungkap dengan baik. Jika ada yang bilang depresi tentu harus dibuktikan depresi karena apa dan mengapa sampai ada orang yang bisa membuat depresi anak baik seperti ini,” tutupnya.

Secara terpisah, ayah almarhum Paul, Fonataba menyayangkan apabila kematian anaknya ini akibat beban berat yang dihadapi untuk menyelesaikan pendidikan profesi dokternya. Dirinya mengakui, anaknya telah melakukan kesalahan, namun almarhum telah menjalani masa skorsing sehingga bisa dilayani dengan baik untuk menyelesaikan pendidikan profesinya.

“Saya harap Fakultas Kedokteran Uncen harus bisa membenahi hal ini semua, jangan sampai ada kejadian seperti ini, Jika Paul melakukan kesalahan dan sudah diskorsing 6 bulan ini sudah cukup dan bisa dipangil lagi untuk dilakukan ujian. Seharusnya begitu, karena ini mahasiswa. Bahkan jika petinggi negara ada yang melakukan pembunuhan tidak sampai dihukum mati. Tetapi dilihat permasalahannya dan kalau masih bisa diampuni yang diperbaiki,” harapnya.

Selain itu, jika ada permasalahan yang dialami mahasiswa dalam masa pendidikan, seharusnya pihak kampus bertindak.

Terkait kematian almarhum Paul, pihak kepolisian dalam hal ini Polresta Jayapura Kota sudah melakukan olah TKP dan meminta keterangan saksi.

Kapolresta Jayapura Kota, Kombes Pol. Gustav R Urbinas yang dikonfirmasi melalui Kasat Reskrim Polresta Jayapura Kota AKP Komang Yustrio Wirahadi Kusuma mengatakan, pihaknya sudah melakukan olah TKP. Termasuk pemeriksaan terhadap saksi kunci  yang pertama kali melihat jenazah.

Dalam olah TKP yang dilakukan selama dua jam sebelum jenazah dievakuasi ke Rumah Sakit Bhayangkara. Anggota Reskrim menemukan beberapa obat di TKP yang di antaranya obat flek, spyrocon yang merupakan obat anti jamur dan obat penahan rasa sakit. “Coca-cola hingga obat-obatan kami temukan di ruang makan dan kamar almarhum,” ungkapnya kepada Cenderawasih Pos, Senin (18/1).

 Lanjutnya, dari keterangan orang tua almarhum yakni bapaknya yang dimintai keterangan menjelaskan bahwa yang bersangkutan punya gejala penyakit  paru-paru basah. Bahkan hasil visumpun   tidak ada tanda-tanda kekerasan pada tubuh almarhum saat itu.

 “Sempat keluar busa dari mulut almarhum saat itu dan bibirnya berwarna biru. Namun pihak keluarga menolak  autopsi dan jenazah dibawa keluarga untuk dimakamkan,” tuturnya.

 Terkait kasus ini, Polisi masih mendalaminya. Sebab handphone almrahum belum diperiksa termasuk komunikasi terakhir bersama teman-temannya ataupun curhat. Informasi  terakhir dari sang ayah, sebelum anaknya meninggal dunia sempat bertanya kepada anaknya yang saat itu mukanya sedang pucat.

 “Sebelum meninggal dunia, ayah almarhum bertanya kepada anaknya nak kok  mukamu pucat sekali? Trus si anak jawab tidak apa-apa pak saya sehat,” ucap Kasat Reskrim sebagaimana penyampaian dari orang tua almarhum yang dimintai keterangan.(ade/dil/fia/nat)

Rektor Universitas Cenderawasih, DR. Ir. Apolo Safanpo, ST., MT

JAYAPURA-Penyebab kematian seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih, Paul Fonataba, Rabu (13/1) lalu  di perumahan BPN Dok IX RT III RW VI Kelurahan Tanjung Ria Distrik Jayapura Utara masih misteri.

Sepekan lebih kasus ini terjadi dan masih ditangani pihak kepolisian. Meski demikian dari kematian Paul ini ternyata masih menyisakan pembicaraan di antara rekan sekampusnya.

Banyak informasi yang isinya menyayangkan kejadian tersebut dan mengaitkan dengan beratnya beban pendidikan yang dijalani Paul.

Informasi ini juga dikait – kaitkan dengan status stase almarhum yang berada pada titik akhir untuk kelulusan. Ada perjuangan yang masih mengalami kebuntuan terutama yang berkaitan dengan stase tadi.

Menyikapi ini Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura tak diam. Lembaga pendidikan yang dinaungi almarhum ini juga mengambil sikap membahas dari segi akademisi dan pendidikan di Uncen untuk memastikan apakah ada kondisi yang memang menyulitkan dan tidak bisa dipecahkan.

Hanya dari wawancara Cenderawasih Pos dengan Rektor Universitas Cenderawasih, DR. Ir. Apolo Safanpo, ST., MT., menyampaikan bahwa pihaknya tak mau masuk membahas soal penyebab kematian almarhum. Mengingat hal tersebut sudah diranah kepolisian.

Pihaknya lebih pada proses tahapan penyelesaian studi  yang  dianggap ada persoalan.

Menurut Apolo, Rabu (20/1) kemarin dirinya meminta pembantu Rektor 1 Uncen untuk mengundang Dekan Fakultas Kedokteran, pembantu dekan, ketua program pendidikan profesi dan koordinator komisi pendidikan di RSUD Jayapura dengan beberapa dokter yang menangani koas untuk menggali informasi tentang isu yang beredar.

Menurut  penjelasan dekan dan ketua program pendidikan profesi dokter dan koordinator komite pendidikan di RSUD Jayapura, almarhum Paul ini secara akademik sudah menuntaskan pendidikannya di Fakultas Kedokteran.

Almarhum bahkan mengantongi IPK 3  lebih.  Namun yang belum adalah proses pendidikan lanjutan  yang berkaitan dengan profesi dan itu wajib ditempuh. Disini Apolo menjelaskan dari awal soal jenjang dan tahapan.

Dikatakan,  berdasar amanat UU Nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi mengatur bahwa perguruan tinggi di Indonesia menyelenggarakan 3 jenis pendidikan.

Pertama adalah pendidikan akademik dimulai dari S1, S2 dan S3. Kedua adalah pendidikan vokasi yakni program diploma hingga S1 terapan, S2 terapan dan S3 terapan dan ketiga adalah jenis pendidikan profesi yang menjadi lisensi bagi seseorang dalam profesinya.

Jadi mudahnya, jika lulus kedokteran maka gelar akademiknya sarjana kedokteran namun disini ia belum memiliki lisensi untuk menjalankan pekerjaan di bidang kedokteran. Ia harus mengikuti pendidikan profesi untuk mendapat gelar profesi dokter barulah ia bisa bekerja dan praktek dibidang kedokteran.

Demikian juga dengan jurusan teknik yang setelah lulus belum bisa bekerja dalam bidang konstruksi melainkan harus mengikuti pendidikan profesi insinyur.

Rektor menjelaskan untuk pendidikan akademik menjadi wewenang perguruan tinggi secara mandiri. Lalu jenis pendidikan vokasi dilaksanakan bersama oleh perguruan tinggi dan asosiasi profesi misalnya teknik sipil bekerja sama dengan  Dinas PU,  kontraktor maupun konsultan sedangkan pendidikan kesehatan bisa dengan  klinik, puskesmas dan dinas kesehatan.

Nah pendidikan ketiga ini atau pendidikan profesi seluruh  prosesnya dilaksanakan bersama oleh perguruan tinggi dan asosiasi profesinya.

“Jadi setelah kami melakukan penelusuran ternyata kendala yang dihadapi adik ini tidak pada jalur pendidikan perguruan tinggi. Masalahnya ada pada rumah sakit, pada stase di sana. Saya sudah cek ke dekan, pembantu dekan, ketua prodi pendidikan dokter dan ketua prodi pendidikan profesi dokter ternyata semuanya sudah selesai. Nilainya sudah ada dan siap diyudisium. Sedangkan masalah yang dihadapi justru pada stase di rumah sakit dan ini di luar kewenangan perguruan tinggi,” beber Apolo melalui ponselnya, Kamis (21/1).

Pihaknya sendiri tidak bisa mengintervensi rumah sakit karena berkaitan dengan kode etik dan norma dalam profesi kedokteran. “Jika masalah ini terjadi dalam jalur perguruan tinggi maka ini menjadi kewenangan rektor, dekan dan pimpinan fakultas untuk menyelesaikan. Tapi setelah kami telusuri ternyata persoalannya di luar kewenangan perguruan tinggi,” tambahnya.

Rektor Apolo juga sempat menanyakan apakah almarhum bisa dipindahkan rumah sakitnya sehingga mendapatkan dokter lain yang bisa membantu persoalannya.

Namun ternyata persoalan yang dihadapi oleh almarhum berkaitan dengan ketua ikatan profesi yang diambil oleh almarhum sehingga dipindahkan ke rumah sakit lain juga kemungkinan tidak bisa berjalan mulus. Lantaran harus berurusan dengan dokter yang menjadi ketua ikatan profesi tadi.

“Kami juga menanyakan kepada dekan, kepada ketua program pendidikan profesi dokter dan koordinator komite pendidikan RSUD dan arsip kami lengkap dimana dekan sudah menyurat kepada dokter yang bersangkutan untuk mengikutsertakan mahasiswa tersebut dalam stase berikutnya atau mengulang pada stase yang sama namun  dokter tersebut tidak mengizinkan,” kata Apolo.

Baca Juga :  Penurunan Angka Terkonfirmasi Covid-19 Terus Membaik

Lalu pihak fakultas juga sudah berusaha memindahkan ke RS Abepura dengan harapan bisa didampingi dokter lain namun rupanya setiap stase memiliki ikatan profesi dan masing-masing ada ketuanya dan ketuanya inilah yang memberi sanksi kepada almarhum.

“Kami punya tiga surat baik fakultas maupun  program profesi dokter yang sudah mengajukan untuk memindahkan ke rumah sakit lain. Namun dari ikatan profesi itu tetap ditolak karena belum ada petunjuk dari ketua profesinya ini. Akhirnya langkah terakhir usaha dekan Fakultas Kedokteran dan ketua program studi yaitu langsung memasukkan nama mahasiswa ini dalam daftar yang akan diyudisium,” sambung Rektor.

Akan tetapi keputusan untuk memasukkan nama almarhum sebagai mahasiswa yang akan ikut diyudisium bukan tanpa proses. Pihak dekan dan fakultas  menguji lebih dulu dengan mengumpulkan soal ujian nasional  untuk stase mata yang biasa dilakukan di seluruh fakultas kedokteran di Indonesia.

Soal ini diujikan kepada almarhum dengan asumsi jika  ia bisa mengerjakan artinya ia  sudah memiliki kompetensi. “Dan ternyata adik kita ini  bisa mengerjakan dan nilainya bagus sehingga namanya dimasukkan dalam peserta yudisium. Akan tetapi ketua profesi mata ini melihat ada nama mahasiswa tersebut dalam daftar yudisium dan kembali melakukan protes. Ia mengirimkan surat protes ke fakultas dan meminta agar anak ini tidak diyudisium. Jika tidak ia akan mengadukan sebagai pelanggaran kode etik profesi,” cerita Rektor.

“Jadi ada tiga kali upaya bahkan upaya keempat ada memasukkan namanya untuk yudusium dengan memberikan soal sesuai standart fakultas kedokteran di Indonesia tapi mendapat penolakan dari ketua ikatan profesi tadi,” tambahnya.

Disini Rektor tak menampik jika ada pelanggaran yang dilakukan almarhum berkaitan dengan pemalsuan tandatangan. Namun almarhum dikatakan sudah menjalani sanksi, meminta maaf bahkan meminta ampun dan mengakui semua kesalahannya namun ternyata masih ada kesulitan yang ditemui.

“Sebagai orang tua saya juga ikut prihatin dan merasa kehilangan. Sebab persoalan seperti ini sejatinya bisa diselesaikan apalagi yang bersangkutan sudah menjalani sanksi oleh pembimbingnya serta meminta pengampunan. Selanjutnya ini menjadi ranah dinas kesehatan dan direktur RSUD Jayapura untuk sama – sama membina staf  dan pegawai. Kita sama-sama membina. Sebab undang – undang profesi mengamanatkan diselenggarakan bersama,” pungkasnya.

Sementara itu, jenazah almarhum Fembri Paul Fonataba (28) telah dimakamkan pihak keluarga di lahan milik keluarga yaitu di Rumah Pintar (Rumpin) Arso 14, Kampung Wulukubun, Kabupaten Keerom, Sabtu (16/1) lalu.

Sarah yang merupakan ibu almarhum Paul mengatakan, anak semata wayangnya ini sangat disayangi dan dijaga dengan baik. Karena untuk memiliki keturunan, ia bersama sang suami membutuhkan waktu cukup lama 4 tahun setelah nikah tahun 1988. Almarhum Paul menurutnya akhirnya lahir pada November 1999.

Sarah mengaku, Paul adalah anak yang pintar dan cerdas. Dari sekolah, almarhum sudah menunjukkan prestasi yang luar biasa. Bahkan selalu mendapatkan nilai-nilai tinggi seperti matematika, bahasa Inggris dan lainnya. Sekolahnya juga di sekolah favorit SMP di sekolah Kristen Kalam Kudus Jayapura dan SMAN 5 Angkasa Jayapura.
Sarah mengaku awalnya tidak setuju jika anaknya masuk di Fakultas Kedokteran Uncen. Karena waktu itu masuknya Fakultas Kedokteran Uncen  direkomendasikan oleh teman baiknya yang melihat almarhum merupakan anak yang pintar dan  sopan

“Waktu itu, Paul juga diterima di Universitas  Atmajaya Yogyakarta di Teknik Sipil atau di salah satu universitas di Bandung prodi Teknik Nuklir. Karena memang almarhum pintar matematika, bahasa Inggris dan bahasa Jepang serta lainnya. Karena sudah direkomendasikan di fakultas Kedokteran Uncen dan mengikuti test mendapatkan nilai yang tinggi hinga lulus akhirnya, ia masuk Uncen untuk kuliah di tahun 2013 hingga 2017 akhirnya diwisuda,” ungkap Sarah melalui ponselnya beberapa hari yang lalu.

Setelah diwisuda, almarhum melanjutkan koas di RSUD Jayapura selama 2 tahun. Namun diakuinya ada satu nilainya yang tidak cukup bagus sehingga ia harus mengulangi kembali.
Sarah mengakui anaknya mempunyai kesalahan namun sanksi yang diberikan atas kesalahan tersebut sudah dijalani. Bahkan almarhum menurutnya sudah meminta maaf dan berusaha menemui dokter penguji agar bisa mengikuti ujian. Meskipun almarhum harus menunggu hingga 1,5 tahun, namun tidak juga diizinkan untuk mengikuti ujian kembali.

Baca Juga :  Sejumlah Tokoh Mengeluh

“Saya juga sering menemani ke rumahnya, namun setiap ke sana pasti selalu menghindar. Entah ada yang seperti ini. Tidak berkeprimanusiaan dan memaafkan kesalahan. Padahal kesalahan anak saya sudah dijalani,” sesalnya.

Sarah juga mengakui bahwa ada dosen lain yang akhirnya membantu mengujinya dan ujian dilakukan selama tiga hari yaitu tanggal 11-13 Januari lalu.

Almarhum Paul diakuinya sudah bersemangat untuk mengikuti ujian itu. Bahkan almarhum berpuasa dan berdoa agar bisa mengikuti ujian dengan baik.

“Saat ujian, Paul dalam keadaan yang lemah. Kata teman-temannya, meskipun demikian Paul tetap ikut ujian karena dosen pengganti ini inginkan untuk tetap dilakukan ujian,” tuturnya.

Dari informasi yang disampaikan beberapa rekan almarhum, Sarah mendapat kabar bahwa Paul saat ujian kondisinya sangat lemah. Bahkan untuk naik tangga harus dibantu dan ketika hendak pulang rekan-rekannya menawarkan untuk mengantar pulang, namun Paul menolak. Hingga akhir, almarhum ditemukan tak bernyawa di bak kamar mandi.

 “Berdasarkan informasi yang dikatakan temannya kepada saya di rumah duka, ternyata kondisi almarhum tidak enak badan dan terlihat lemah. Hari Senin memang bisa mengikuti ujian. Namun hari Selasa, kelihatan sudah capek bahkan mau naik tangga saja tidak kuat. Tetapi Paul dengan semangat yang besar, ia mencoba untuk mengikuti ujian itu. Namun Rabu (13/1), Tuhan sudah berkehendak lain. Paul sudah dipanggil Tuhan,” ucapnya.

Diakuinya, kepergian anak semata wayangnya ini tidak hanya meninggalkan duka yang mendalam bagi keluarga. Namun juga masih menimbulkan pertanyaan. Apalagi, rencananya, Februari nanti almarhum akan mengikuti yudisium dan sudah menyiapkan semua berkas yang dibutuhkan.

“Semoga almarhum bisa istirahat dengan tenang di sisi Tuhan. Kami makamkan di tanah sendiri supaya bisa terus melihat dan bisa terus membersihkan makamnya. Kami berharap kematian anak kami bisa diungkap dengan baik. Jika ada yang bilang depresi tentu harus dibuktikan depresi karena apa dan mengapa sampai ada orang yang bisa membuat depresi anak baik seperti ini,” tutupnya.

Secara terpisah, ayah almarhum Paul, Fonataba menyayangkan apabila kematian anaknya ini akibat beban berat yang dihadapi untuk menyelesaikan pendidikan profesi dokternya. Dirinya mengakui, anaknya telah melakukan kesalahan, namun almarhum telah menjalani masa skorsing sehingga bisa dilayani dengan baik untuk menyelesaikan pendidikan profesinya.

“Saya harap Fakultas Kedokteran Uncen harus bisa membenahi hal ini semua, jangan sampai ada kejadian seperti ini, Jika Paul melakukan kesalahan dan sudah diskorsing 6 bulan ini sudah cukup dan bisa dipangil lagi untuk dilakukan ujian. Seharusnya begitu, karena ini mahasiswa. Bahkan jika petinggi negara ada yang melakukan pembunuhan tidak sampai dihukum mati. Tetapi dilihat permasalahannya dan kalau masih bisa diampuni yang diperbaiki,” harapnya.

Selain itu, jika ada permasalahan yang dialami mahasiswa dalam masa pendidikan, seharusnya pihak kampus bertindak.

Terkait kematian almarhum Paul, pihak kepolisian dalam hal ini Polresta Jayapura Kota sudah melakukan olah TKP dan meminta keterangan saksi.

Kapolresta Jayapura Kota, Kombes Pol. Gustav R Urbinas yang dikonfirmasi melalui Kasat Reskrim Polresta Jayapura Kota AKP Komang Yustrio Wirahadi Kusuma mengatakan, pihaknya sudah melakukan olah TKP. Termasuk pemeriksaan terhadap saksi kunci  yang pertama kali melihat jenazah.

Dalam olah TKP yang dilakukan selama dua jam sebelum jenazah dievakuasi ke Rumah Sakit Bhayangkara. Anggota Reskrim menemukan beberapa obat di TKP yang di antaranya obat flek, spyrocon yang merupakan obat anti jamur dan obat penahan rasa sakit. “Coca-cola hingga obat-obatan kami temukan di ruang makan dan kamar almarhum,” ungkapnya kepada Cenderawasih Pos, Senin (18/1).

 Lanjutnya, dari keterangan orang tua almarhum yakni bapaknya yang dimintai keterangan menjelaskan bahwa yang bersangkutan punya gejala penyakit  paru-paru basah. Bahkan hasil visumpun   tidak ada tanda-tanda kekerasan pada tubuh almarhum saat itu.

 “Sempat keluar busa dari mulut almarhum saat itu dan bibirnya berwarna biru. Namun pihak keluarga menolak  autopsi dan jenazah dibawa keluarga untuk dimakamkan,” tuturnya.

 Terkait kasus ini, Polisi masih mendalaminya. Sebab handphone almrahum belum diperiksa termasuk komunikasi terakhir bersama teman-temannya ataupun curhat. Informasi  terakhir dari sang ayah, sebelum anaknya meninggal dunia sempat bertanya kepada anaknya yang saat itu mukanya sedang pucat.

 “Sebelum meninggal dunia, ayah almarhum bertanya kepada anaknya nak kok  mukamu pucat sekali? Trus si anak jawab tidak apa-apa pak saya sehat,” ucap Kasat Reskrim sebagaimana penyampaian dari orang tua almarhum yang dimintai keterangan.(ade/dil/fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya