JAYAPURA-Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) menyayangkan peristiwa penembakan yang dilakukan oknum anggota Polisi kepada warga sipil, hingga berujung pada pembakaran kios milik warga di Kampung Bomomani, Distrik Mapia, Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua Tengah pada Sabtu (21/1).
Pembakaran kios milik warga tersebut dilakukan sekelompok orang yang tidak terima dengan kasus penembakan hingga menewaskan rekan mereka.
Kepala Komnas HAM Papua Fritas Ramandey menyampaikan, pihaknya mendapatkan dua laporan dari warga yakni soal kasus penembakan sipil dan pembakaran buntut dari kejadian penembakan tersebut.
“Dua laporan tersebut perlu pendalaman, tentang peristiwa penembakan terhadap sipil yang berujung terjadinya kerusuhan,” kata Frits Ramandey saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Senin (23/1) kemarin.
Komnas HAM Papua menyampaikan keprihatinannya atas peristiwa tersebut, terlebih peristiwa rusuh massal yang terus berulang di wilayah Deiyai, Dogiyai dan Kabupaten Paniai.
Frits mengaku Komnas HAM sudah mendapatkan dua laporan yang berbeda, termasuk testimoni pengakuan Kapolres soal ada anggota polisi yang sudah diamankan terkait dengan kasus penembakan terhadap warga sipil tersebut.
“Yang jelas Kapolres sudah mengakui ada anggotanya yang melakukan penembakan dan yang bersangkutan sudah diamankan, hal ini penting dalam pengungkapan peristiwa tindakan kriminal pidana ini,” kata Frits.
Fits juga menyayangkan soal kerusuhan massal yang mengakibatkan pembakaran dan lain sebagainya. Cara cara brutalitas masyarakat yang tidak sepantasnya dilakukan, meluapkan emosis dengan cara yang meluas.
Menurut Frits, pemerintah setempat harus belajar dari Puncak Jaya tentang penanganan konflik sosial, sehingga kejadian di deiyai maupun dogiyai tidak berulang.
“Sejak awal kita mengingatkan pemda setempat bahwa ini masuk kategori konflik sosial dan sudah harus ada legisi, harus ada kebijakan yang dpikirkan dalam rangka penanganan konflik sosial seperti ini, tidak hanya penanganannya tetapi bagaimana ada sanksi tegas,” tutur Frits.
Adapun sanksi tegas kata Frits dalam konteks Papua bisa belajar dari situasi di Puncak Jaya, sebagaimana situasi di Puncak Jaya dulunya seram. Namun Pemdanya berani mengambil kebijakan bersama masyarakat untuk kemudian menyepakati selain penegakan hukum secara formal tetapi menggunakan penyelesaian dengan kearifan lokal untuk menekan tindakan anarkis yang berulang secara massal.
“Bahwa ada warga sipil yang meninggal akibat ditembak aparat maka pelakunya harus diproses secara hukum, tetapi kejadian berulang yang sama harus dipikirkan, cara penyelesaiannya dengan selain penegakan hukum tetapi juga bagaimana menggunakan metode kearifan lokal,” ungkapnya.
Dikatakan Frits, Kepala Daerah setempat harus punya peran mampu menekan konflik sosial seperti ini. Terkait warga Dogiyai yang mengungsi akibat peristiwa tersebut, Frits menilai karena mereka sudah punya pengalaman dan ini tindakan antisipatif yang baik. Sehingga itu, Pemda dan aparat kepolisian sudah harus bersinergi untuk melihat fenomenal ini.
“Pengungsian yang dilakukan warga selain kehilangan tempat tinggal tetapi juga mengantisipasi tindakan anarkis. Mengamankan diri dengan cara mengungsi itu pilihan antisipatif yang benar,” kata Frits.
Lanjut Frits, bagi mereka yang mengunsi ada baiknya mengkoordinir diri dan disampaikan kepada pemerintah daerah. “Kami mendorong pemerintah daerah menyelesaikan kasus korban yang meninggal dunia, pendataan dan penanganan tempat usaha dan rumah warga yang dibakar, dan kehadiran aparat keamanan untuk memastikan kondisi di sekitar lokasi kejadian kondusif kembali,” pungkasnya.(ade/fia/wen)