Saturday, April 27, 2024
25.7 C
Jayapura

Marinus Yaung Sebut Pintu MSG Tertutup

JAYAPURA-Pengamat Sosial Politik Universitas Cenderawasih, Marinus Yaung melihat bahwa konsolidasi kelompok separatis Papua dengan kampanye “Bring Back West Papua to The Melanesia Family ” menjelang KTT MSG pada  22 – 25 Juni 2021 dianggap sebagai taktik propaganda yang tujuannya adalah mendorong agar Melanesia Sparehead Group (MSG) bisa merespon proposal yang ditujukan ke United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk menjadi anggota penuh. 

Hanya saja apa yang dilakukan ULMWP ini dianggap belum cukup kuat meyakinkan MSG. Yaung menganalisa cukup sulit untuk memasukan isu Papua dalam agenda sidang KTT MSG saat ini. Menurutnya ada beberapa tantangan utama yang membuat ‘pintu’ MSG sudah tertutup untuk membahas isu Papua. 

Pertama, dengan penetapan status terorisme terhadap KKB Papua, telah terjadi perubahan komitmen negara-negara MSG terhadap isu Papua. Isu Papua tidak dimasukan lagi dalam agenda pembahasan KTT MSG tahun ini. 

Hal ini terlihat pada sidang pejabat senior kementerian luar negeri (senior official meeting) MSG pada tanggal 28 April 2021 lalu. “Negara – negara MSG sudah sepakat untuk tidak memasukan agenda yang akan mengganggu hubungan kerja sama ekonomi dan perdagangan dengan negara anggota lainnya seperti Indonesia di masa pandemi Covid-19,” jelas Yaung melalui ponselnya, Senin (21/6). 

Tantangan kedua adalah gejolak politik dalam negeri Vanuatu sendiri yang merupakan tuan rumah KTT MSG.  Dimana kursi kekuasaan Perdana Menteri Bob Loughman saat ini sedang digoyang dengan mosi tidak percaya ditingkat parlemen. Mosi tidak percaya ini dimotori oleh kelompok oposisi dengan ketuanya Ralph Regenvanu. 

Baca Juga :  Kapolda Copot Danki D Wamena

Menurut Yaung jika Mahkamah Agung Vanuatu memutuskan 19 kursi anggota parlemen pro pemerintah dikosongkan dan segera lakukan Pemilu sela untuk mengisi kursi kosong tersebut, maka Bob Loughman secara resmi sudah kehilangan kursi kekuasaan sebagai Perdana Menteri. 

“Saat ini sedang menunggu putusan Mahkamah Agung Vanuatu mengingat jalannya  roda pemerintahan di Vanuatu masih vakum, karena Bob Loughman kini berstatus non aktif. Dengan demikian, Vanuatu akan fokus pada stabilitas politik dan keamanan dalam negerinya. Untuk itu, isu Papua kini dianggap bukan lagi prioritas Vanuatu pada situasi sekarang ini,” bebernya. 

Tantangan ketiga adalah ancaman pandemi Covid-19 di Vanuatu yang melumpuhkan pariwisata yang dampaknya terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi negara ini. “Kita tahu bahwa devisa terbesar Vanuatu bersumber dari pariwisata. Karena itu, di tengah ketidakmenentuan kondisi ekonomi Vanuatu saat ini, sulit bagi Vanuatu untuk membiayai isu Papua di MSG. Isu Papua di MSG butuh pembiayaan yang mahal,” singgung Yaung. 

Lalu Vanuatu selama ini bisa membiayai isu Papua karena mendapat dukungan dana dari Pemerintah Tiongkok melalui BUMN – BUMN Tiongkok. Selama ini juga,  Vanuatu tidak pernah mengeluarkan dana dari kas negaranya sendiri untuk membiayai isu Papua. 

Baca Juga :  Pilot Susi Air Akan Dirujuk ke Solo

“Sementara saat ini dana bantuan dari Tiongkok lebih difokuskan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Saya meyakini tidak ada lagi dana hibah Tiongkok untuk Vanuatu yang digunakan untuk membiayai isu Papua di situasi pandemi Covid-19 ini sehingga mau tidak mau dipastikan akan berdampak pada upaya politik yang dilakukan Vanuatu,” tambahnya. 

Tantangan keempat menurut Marinus yaung, yaitu Indonesia melalui diplomasi ekonomi dan perdagangan telah sukses menggalang dukungan tiga negara anggota MSG, yakni Fiji, PNG, dan Solomon Island. Ketiga negara ini tidak lagi mempersoalkan status politik Indonesia atas tanah Papua. Ketiga negara ini membutuhkan Indonesia untuk mengakses pasar ASEAN untuk barang – barang komoditas ekspor mereka. “Dan logika sehat kita di tengah situasi krisis ekonomi akibat pandemi Covid 19 sudah tentu tidak ada negara yang mau kehilangan pasar perdagangan mereka termasuk ketiga negara MSG ini. Dengan demikian, Indonesia masih cukup dominan mengontrol isu Papua di MSG. Dan sulit bagi MSG untuk menerima aplikasi ULMWP untuk menjadi anggota penuh MSG,” papar Yaung. 

Dengan melihat keempat tantangan ini menurut Marinus isu Papua di KTT MSG untuk tahun 2021, pintunya sudah tertutup. “Jadi saya pikir tidak perlu berkoar-koar di luar mengingat upaya yang dilakukan, saya prediksikan akan mentah. Ada moment yang jauh lebih penting ketimbang isu ini,” tutup Yaung. (ade/nat)

JAYAPURA-Pengamat Sosial Politik Universitas Cenderawasih, Marinus Yaung melihat bahwa konsolidasi kelompok separatis Papua dengan kampanye “Bring Back West Papua to The Melanesia Family ” menjelang KTT MSG pada  22 – 25 Juni 2021 dianggap sebagai taktik propaganda yang tujuannya adalah mendorong agar Melanesia Sparehead Group (MSG) bisa merespon proposal yang ditujukan ke United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk menjadi anggota penuh. 

Hanya saja apa yang dilakukan ULMWP ini dianggap belum cukup kuat meyakinkan MSG. Yaung menganalisa cukup sulit untuk memasukan isu Papua dalam agenda sidang KTT MSG saat ini. Menurutnya ada beberapa tantangan utama yang membuat ‘pintu’ MSG sudah tertutup untuk membahas isu Papua. 

Pertama, dengan penetapan status terorisme terhadap KKB Papua, telah terjadi perubahan komitmen negara-negara MSG terhadap isu Papua. Isu Papua tidak dimasukan lagi dalam agenda pembahasan KTT MSG tahun ini. 

Hal ini terlihat pada sidang pejabat senior kementerian luar negeri (senior official meeting) MSG pada tanggal 28 April 2021 lalu. “Negara – negara MSG sudah sepakat untuk tidak memasukan agenda yang akan mengganggu hubungan kerja sama ekonomi dan perdagangan dengan negara anggota lainnya seperti Indonesia di masa pandemi Covid-19,” jelas Yaung melalui ponselnya, Senin (21/6). 

Tantangan kedua adalah gejolak politik dalam negeri Vanuatu sendiri yang merupakan tuan rumah KTT MSG.  Dimana kursi kekuasaan Perdana Menteri Bob Loughman saat ini sedang digoyang dengan mosi tidak percaya ditingkat parlemen. Mosi tidak percaya ini dimotori oleh kelompok oposisi dengan ketuanya Ralph Regenvanu. 

Baca Juga :  SK PTDH 56 ASN Terlibat Korupsi Diterima BKN

Menurut Yaung jika Mahkamah Agung Vanuatu memutuskan 19 kursi anggota parlemen pro pemerintah dikosongkan dan segera lakukan Pemilu sela untuk mengisi kursi kosong tersebut, maka Bob Loughman secara resmi sudah kehilangan kursi kekuasaan sebagai Perdana Menteri. 

“Saat ini sedang menunggu putusan Mahkamah Agung Vanuatu mengingat jalannya  roda pemerintahan di Vanuatu masih vakum, karena Bob Loughman kini berstatus non aktif. Dengan demikian, Vanuatu akan fokus pada stabilitas politik dan keamanan dalam negerinya. Untuk itu, isu Papua kini dianggap bukan lagi prioritas Vanuatu pada situasi sekarang ini,” bebernya. 

Tantangan ketiga adalah ancaman pandemi Covid-19 di Vanuatu yang melumpuhkan pariwisata yang dampaknya terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi negara ini. “Kita tahu bahwa devisa terbesar Vanuatu bersumber dari pariwisata. Karena itu, di tengah ketidakmenentuan kondisi ekonomi Vanuatu saat ini, sulit bagi Vanuatu untuk membiayai isu Papua di MSG. Isu Papua di MSG butuh pembiayaan yang mahal,” singgung Yaung. 

Lalu Vanuatu selama ini bisa membiayai isu Papua karena mendapat dukungan dana dari Pemerintah Tiongkok melalui BUMN – BUMN Tiongkok. Selama ini juga,  Vanuatu tidak pernah mengeluarkan dana dari kas negaranya sendiri untuk membiayai isu Papua. 

Baca Juga :  Kapolda Copot Danki D Wamena

“Sementara saat ini dana bantuan dari Tiongkok lebih difokuskan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Saya meyakini tidak ada lagi dana hibah Tiongkok untuk Vanuatu yang digunakan untuk membiayai isu Papua di situasi pandemi Covid-19 ini sehingga mau tidak mau dipastikan akan berdampak pada upaya politik yang dilakukan Vanuatu,” tambahnya. 

Tantangan keempat menurut Marinus yaung, yaitu Indonesia melalui diplomasi ekonomi dan perdagangan telah sukses menggalang dukungan tiga negara anggota MSG, yakni Fiji, PNG, dan Solomon Island. Ketiga negara ini tidak lagi mempersoalkan status politik Indonesia atas tanah Papua. Ketiga negara ini membutuhkan Indonesia untuk mengakses pasar ASEAN untuk barang – barang komoditas ekspor mereka. “Dan logika sehat kita di tengah situasi krisis ekonomi akibat pandemi Covid 19 sudah tentu tidak ada negara yang mau kehilangan pasar perdagangan mereka termasuk ketiga negara MSG ini. Dengan demikian, Indonesia masih cukup dominan mengontrol isu Papua di MSG. Dan sulit bagi MSG untuk menerima aplikasi ULMWP untuk menjadi anggota penuh MSG,” papar Yaung. 

Dengan melihat keempat tantangan ini menurut Marinus isu Papua di KTT MSG untuk tahun 2021, pintunya sudah tertutup. “Jadi saya pikir tidak perlu berkoar-koar di luar mengingat upaya yang dilakukan, saya prediksikan akan mentah. Ada moment yang jauh lebih penting ketimbang isu ini,” tutup Yaung. (ade/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya