JAYAPURA – Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe menjalani sidang secara langsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (19/6).
Gubernur nonaktif Papua itu memasuki ruang tanpa mengenakan alas kaki. Hal ini dikarenakan kedua kaki Lukas yang bengkak.
“Kedua kaki Lukas bengkak, akibatnya tak menggunakan alas kaki saat memasuki ruang persidangan,” kata Ketua Tim Hukum dan Advokasi Gubernur Papua (THAGP), Petrus Bala Pattyona saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Senin (19/6).
Dalam persidangan kemarin, THAGP melihat azas praduga tidak bersalah, tidak berlaku bagi Lukas Enembe, Gubernur Papua non aktif. Hal tersebut diungkapkan THAGP saat membacakan nota keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), dalam perkara dugaan suap dan gratifikasi dengan terdakwa Lukas Enembe di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Menurut Ketua Tim THAGP, OC Kaligis, azas praduga tidak bersalah, tampaknhya hanya berlaku bagi oknum KPK ketika tersandung perkara pidana. “Dari berita-berita yang muncul, menjadi bukti adanya penggiringan opini yang dengan kejam telah menghukum Lukas Enembe,” kata Kaligis.
Menurut Kaligis, fakta hukum ini dapat menggambarkan betapa berkuasanya KPK, sehingga sebelum sidang dibuka untuk umum, Lukas Enembe, telah dizolimi melalui penggiringan opini, selaku penjudi hebat. Padahal, wewenang kriminalisasi penjudi adalah wewenang penyidik tindak pidana umum.
Padahal, ketika Lukas memimpin Papua selama dua periode, Pemerintah Provinsi Papua telah mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian, sebanyak delapan kali berturut-turut, dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil pemeriksaan BPK telah dinyatakan WTP. Artinya, tidak ada kerugian negara saat BPK melakukan pemeriksaan keuangan Pemprov Papua, atau nihil kerugian negara.
“Berdasarkan delapan kali WTP itulah yang membuat Lukas Enembe, menyangkal tuduhan KPK telah melakukan suap dan gratifikasi,” tegasnya.
Kaligis kemudian bertanya, kalau semua pemegang anggaran dan pemegang keuangan pemerintahan telah diperiksa dan hasil pemeriksaan tidak ditemukan kerugian negara, lalu darimana kerugian negara puluhan miliar rupiah, seperti yang dituduhkan KPK?
Dijelaskannya, selaku kepala daerah, Lukas Enembe itu bukanlah pengguna anggaran, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 UU No. 32 Tahun 2004. Dalam Pasal 156 UU No. 32 Tahun 2004, berbunyi, Kepala Daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah.
Dan dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, serta pengawasan keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah.
Menurut Kaligis, dakwaan penuntut umum adalah abstrak dari berkas perkara nomor BP/35/DIK02.00/23/05/2023. Ketidakjelasan atau kekaburan dakwaan JPU terlihat mulai mengenai adanya penerimaan dari Piton Enumbi tidak pernah memberikan keterangan apapun karena sedang dalam keadaan sakit.
“Apalagi Piton Enumbi adalah seorang yang tidak bisa membaca dan menulis, sehingga bagaimana mungkin JPU dapat panjang lebar menguraikan peristiwa yang berkaitan dengan Piton Enumbi, dari dakwaan Jaksa yang menerangkan mengenai adanya dugaan penerimaan dari Piton Enumbi, merupakan pembunuhan karakter Lukas Enembe,” ungkapnya.
Kaligis mengatakan, surat dakwaan JPU tidak cermat karena seharusnya secara lengkap diuraikan penolakan Lukas Enembe karena sakit, termasuk permintaan kliennya untuk berobat di Singapura.
“Selanjutnya Lukas Enembe hendak diperiksa di Jayapura, sesuai locus dan tempus delicti. Seandainya apa yang tercantum dalam berkas perkara Lukas Enembe diuraikan berdasarkan berkas perkara, pasti hasilnya berbeda dengan surat dakwaan JPU. Itu sebabnya kami penasehat hukum, berpendapat bahwa dakwaan JPU tidak cermat, tidak jelas. Setiap kali Lukas diperiksa baik sebagai tersangka maupun sebagai saksi terhadap perkara Lakka, lukas Enembe menjelaskan bahwa dirinya tidak pernah terima suap, tidak pernah mencampuri urusan tender atau memberi kemudahan kepada para peserta tender,” bebernya.
Menurut kaligis, Jaksa mengenyampingkan fakta hukum mengenai delapan kali hasil pemeriksaan BPK dengan hasil predikat Wajar Tanpa Pengecualian. Pun, jumlah uang yang dinyatakan dalam dakwaan JPU sama sekali tidak diketahui Lukas Enembe. Bahkan Lukas Enembe tidak pernah menandatangani berita acara sita jumlah uang tersebut.
“Semua jumlah tersebut pasti karangan JPU, karena Lukas Enembe bukan pengguna anggaran, apalagi Badan Pemeriksa Keuangan sudah melakukan pemeriksaan terhadap pemegang anggaran, dengan hasil Wajar Tanpa Pengecualian,” ujar Kaligis.
Kaligis juga menyatakan dari bukti penyitaan barang bukti, tak satu BAP pun yang ditandatangani oleh terdakwa Lukas Enembe. Sementara mengenai campur tangan Lukas Enembe terhadap e-Tender Pengadaan Barang dan Jasa. Tak seorang peserta tender pun yang memberi pengakuan adanya campur tangan Lukas Enembe kepada mereka. Justra E tender adalah gagasan Lukas Enember untuk menghindari terjadinya KKN. Melalui E tender semua prosedur tender dilakukan secara transparan.
“Kami penasehat hukum memohon agar penahanan Lukas Enembe, karena sakit dialihkan ke penahanan kota. Sehingga mudah melakukan pengobatan sebagaimana surat permohonan yang telah kami masukkan pada tanggal 9 Juni 2023 melalui Kepaniteraan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selanjutnya kami juga mohon agar pemeriksaan terhadap Lukas dilakukan secara off line dan pemeriksaan terdakwa Lukas Enembe didampingi dokter sebagaimana surat permohonan yang telah kami masukkan pada tanggal 8 Juni 2023 melalui Kepaniteraan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” pintanya.
Sementara itu, Petrus Bala Pattyona menyampaikan, sidang lanjutan akan dilakukan Kamis (22/6) dengan agenda tanggapan Jaksa atas eksepsi. (fia)