Friday, April 26, 2024
33.7 C
Jayapura

12 Jam, Bahas Isu Rasisme hingga Pelanggaran HAM di Papua

Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw saat memberikan pemaparan dalam kegiatan diskusi yang membahas 3 isu di Papua. Diskusi ini berlangsung 12 jam di Hotel Aston Jayapura, Senin (15/6). (FOTO: Elfira/Cepos)

Pitter Ell Minta Presiden Bebaskan  7 Tahanan Politik

JAYAPURA-Diskusi selama 12 jam yang digagas Thematic Discussion Group The Spirit of Papua dengan topik membangun solidaritas  dalam mencari alternatif solusi menyusun langkah strategis guna menghasilkan rumusan strategis dalam merespon  isu-isu sensitif di Papua.

Dalam diskusi yang diselenggarakan di Hotel Aston tersebut menghadirkan beberapa narasumber dengan membahas isu rasisme yang tiada henti, pelanggaran HAM dan negosiasi pasca implementasi UU Otonomi khusus.

Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw menyampaikan, dalam melihat isu ini harus ada keseimbangan. “Berbicara tersangka silakan. Tapi perlu juga melihat para korban akibat dari demo rasis yang berujung kerusuhan pada Agustus 2019 lalu,” ungkap Paulus Waterpauw saat menyampaikan pemaparan.

Dikatakan, sebagaimana terjadi eksodus oleh masyarakat, adanya rasa ketakutan akibat kerusuhan tersebut, pembakaran di mana-mana serta korban menjerit menangis. Tapi hari ini orang sebatas bicara  tersangka. Artinya bicara hanya di muara  namun tidak bicara di hilir persoalan.

“Kita harus jujur di tanah ini. Kita bicara apa adanya. Kalau kita bicara tersangka maka kita juga harus lihat para korban, sehingga ada solusi yang baik,” tegas Kapolda Paulus Waterpauw.

Dikatakan, terkait dengan kenapa persoalan demo rasisme menjadi  makar, sebab ada hal-hal yang bertentangan. Dalam hal ini, jenderal bintang dua ini meminta agar tidak menganggap polisi tiba-tiba menempatkan  7 orang  ini sebagai pelaku makar. Melainkan ada unsur-unsurnya, yakni bermufakat dan memimpin demonstrasi dengan tujuan melawan negara.

“Soal rasis memang menyinggung perasaan kita semua sebagai orang Papua. Tetapi itulah yang digunakan triger oleh mereka yang sudah kita ikuti. Kasus ini tinggal pembuktian  di pengadilan,” tuturnya.

Bahkan lanjut Kapolda, dalam persidangan terungkap diambil pasal 106 dari serangkaian cerita panjang kejadian di Papua pada 2019 lalu. Hingga diamankannya 7 orang tersebut yang  mengarah pada perlawanan melawan  negara.

Baca Juga :  17 Jenazah Kembali Ditemukan

“Relevansi rasisme dengan makar yakni ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para pelaku yang sudah dituntut yang mana didalamnya melawan negara, ingin memisahkan diri dari NKRI. Dari sejumlah aktivitas kegiatan kerusuhan ini, aktornya adalah 7 orang ini,” ungkapnya.

Terkait dengan ketujuh orang tersebut proses persidangannya di Balikpapan. Kapolda menyampaikan hal ini karena pihaknya punya sejarah. Dimana pada tahun 2005 silam, ketika sidang makar Yusak Package dan Filep Karma rusuh di Pengadilan Negeri Jayapura. Sehingga itu, hal ini tidak diinginkan terjadi kembali.

“Tujuh Terdakwa inikan kasusnya masih dalam proses dan harus diikuti. Tetapi juga upaya yang kami lakukan yakni penegakan hukum karena itu tugas kami dan UU mengatur,” tandasnya.

“Terkait ada banyak pihak yang mengatakan ini  tahanan politik, namun ini adalah proses pidana. Karena kejadian itu selain menimbulkan korban harta benda juga korban nyawa,” pungkasnya

Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Papua Nikolaus Kondomo menyampaikan, pihaknya tidak menghukum rasisme. Melainkan mereka yang melakukan pelanggaran kriminal dalam demo Agustus 2019. 

Sebagaimana dalam demo tersebut ada yang dirampok, ada yang dibunuh dan ada  yang dianiaya. Ada yang dirusak serta mereka-mereka  yang melakukan kriminal harus ditindak. “Pemeriksaan tidak sembarang. Dari penyidik ke jaksa dan jaksa ke pengadilan. Itu ada tahapannya,” tegasnya.

Terkait dengan putusan 7 terdakwa yang ada di Kalimantan pada 17 Juni nanti, pihaknya menghadapinya dan tergantung putusan hakim di pengadilan. Sebagaimana putusan tetaplah menjadi putusan, kendati itu nantinya ada pro kontra sebab kebenaran hanya milik tuhan.

Di tempat yang sama Koordinator Tim 150 Tokoh, Piter Ell meminta presiden untuk membebaskan  7 tahanan politik dan semua narapidana politik di  tanah Papua maupun di mana saja yang saat ini disidangkan.

Pembebasan tersebut lanjut Piter Ell, dengan alasan psikologi massa adanya ketidakadilan, ada dispaklitas ancaman hukuman yang terjadi terlepas dari proses penegakan hukum di pengadilan.

Baca Juga :  Pembatasan Aktivitas Diputuskan Minggu Depan

“Silakan saja hakim memutuskan seperti apa. Tetapi psikologi massa  merasa itu adalah ketidakadilan,” jelasnya.

Menurutnya, kejadian 2019 lalu itu hanyalah letupan dan pemicu. Namun ada akar soal yang belum disentuh. Dimana salah satunya akar politik di Papua soal penyelesaian pelanggaran HAM yang tidak jelas hingga saat ini. 

“Sejak integrasi Papua hingga saat ini, penyelesaian pelanggaran HAM di Papua tidak jelas. Bahkan dari sekian kasus pelanggaran HAM di Papua, hanya ada 1 kasus pelanggaran HAM yang dibawa ke pengadilan HAM yakni kasus Abepura berdarah yang kasusnya disidangkan di Makassar,” bebernya.

Sementara begitu banyak kasus yang terjadi belum pernah dibawa ke pengadilan. “Inilah akar soal. Jadi rasisme ini  ketika masyarakat sipil menyampaikan pendapat mereka bisa dibawa ke pengadilan. Sementara ada aktor negara yang ‘berselingkuh’  dengan aktor  non aparat negara melakukan penaggaran pelanggaran HAM berat, tidak pernah dibawa ke pengadilan,” sindirnya.

Diakuinya, hampir  25 tahun dirinya mengurusi kasus makar. Namun apakah setiap kasus yang dibawa ke pengadilan dengan menggunakan pasal makar mengakhiri semua  proses tentang makar di Papua?  Piter Ell menjawab 100 persen tidak. Karena hingga saat ini masih saja ada kasus kasus makar yang terjadi di tanah ini.

“Kasus makar adalah kasus politik, maka jangan bawa ke ranah hukum. Bawalah ke ranah politik maka akan selesai di sana. Kalau nuansanya politik selesaikan secara politik,” ungkap Piter Ell.

Sementara itu, Samuel Tabuni meminta Gubernur Papua, DPR  dan MRP segera melakukan tindakan upaya diplomasi kepada presiden untuk langkah-langkah hukum seperti apa  yang diambil.

“Anak-anak mahasiswa perlu dipertimbangkan. Jangan biarkan mereka melawan terus. Aspek psikologi perlu dipertimbangkan dalam kasus ini. sehingga papua ini aman,” pintanya.(fia/nat)

Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw saat memberikan pemaparan dalam kegiatan diskusi yang membahas 3 isu di Papua. Diskusi ini berlangsung 12 jam di Hotel Aston Jayapura, Senin (15/6). (FOTO: Elfira/Cepos)

Pitter Ell Minta Presiden Bebaskan  7 Tahanan Politik

JAYAPURA-Diskusi selama 12 jam yang digagas Thematic Discussion Group The Spirit of Papua dengan topik membangun solidaritas  dalam mencari alternatif solusi menyusun langkah strategis guna menghasilkan rumusan strategis dalam merespon  isu-isu sensitif di Papua.

Dalam diskusi yang diselenggarakan di Hotel Aston tersebut menghadirkan beberapa narasumber dengan membahas isu rasisme yang tiada henti, pelanggaran HAM dan negosiasi pasca implementasi UU Otonomi khusus.

Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw menyampaikan, dalam melihat isu ini harus ada keseimbangan. “Berbicara tersangka silakan. Tapi perlu juga melihat para korban akibat dari demo rasis yang berujung kerusuhan pada Agustus 2019 lalu,” ungkap Paulus Waterpauw saat menyampaikan pemaparan.

Dikatakan, sebagaimana terjadi eksodus oleh masyarakat, adanya rasa ketakutan akibat kerusuhan tersebut, pembakaran di mana-mana serta korban menjerit menangis. Tapi hari ini orang sebatas bicara  tersangka. Artinya bicara hanya di muara  namun tidak bicara di hilir persoalan.

“Kita harus jujur di tanah ini. Kita bicara apa adanya. Kalau kita bicara tersangka maka kita juga harus lihat para korban, sehingga ada solusi yang baik,” tegas Kapolda Paulus Waterpauw.

Dikatakan, terkait dengan kenapa persoalan demo rasisme menjadi  makar, sebab ada hal-hal yang bertentangan. Dalam hal ini, jenderal bintang dua ini meminta agar tidak menganggap polisi tiba-tiba menempatkan  7 orang  ini sebagai pelaku makar. Melainkan ada unsur-unsurnya, yakni bermufakat dan memimpin demonstrasi dengan tujuan melawan negara.

“Soal rasis memang menyinggung perasaan kita semua sebagai orang Papua. Tetapi itulah yang digunakan triger oleh mereka yang sudah kita ikuti. Kasus ini tinggal pembuktian  di pengadilan,” tuturnya.

Bahkan lanjut Kapolda, dalam persidangan terungkap diambil pasal 106 dari serangkaian cerita panjang kejadian di Papua pada 2019 lalu. Hingga diamankannya 7 orang tersebut yang  mengarah pada perlawanan melawan  negara.

Baca Juga :  14 Juni, ULMWP Gelar Aksi Damai

“Relevansi rasisme dengan makar yakni ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para pelaku yang sudah dituntut yang mana didalamnya melawan negara, ingin memisahkan diri dari NKRI. Dari sejumlah aktivitas kegiatan kerusuhan ini, aktornya adalah 7 orang ini,” ungkapnya.

Terkait dengan ketujuh orang tersebut proses persidangannya di Balikpapan. Kapolda menyampaikan hal ini karena pihaknya punya sejarah. Dimana pada tahun 2005 silam, ketika sidang makar Yusak Package dan Filep Karma rusuh di Pengadilan Negeri Jayapura. Sehingga itu, hal ini tidak diinginkan terjadi kembali.

“Tujuh Terdakwa inikan kasusnya masih dalam proses dan harus diikuti. Tetapi juga upaya yang kami lakukan yakni penegakan hukum karena itu tugas kami dan UU mengatur,” tandasnya.

“Terkait ada banyak pihak yang mengatakan ini  tahanan politik, namun ini adalah proses pidana. Karena kejadian itu selain menimbulkan korban harta benda juga korban nyawa,” pungkasnya

Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Papua Nikolaus Kondomo menyampaikan, pihaknya tidak menghukum rasisme. Melainkan mereka yang melakukan pelanggaran kriminal dalam demo Agustus 2019. 

Sebagaimana dalam demo tersebut ada yang dirampok, ada yang dibunuh dan ada  yang dianiaya. Ada yang dirusak serta mereka-mereka  yang melakukan kriminal harus ditindak. “Pemeriksaan tidak sembarang. Dari penyidik ke jaksa dan jaksa ke pengadilan. Itu ada tahapannya,” tegasnya.

Terkait dengan putusan 7 terdakwa yang ada di Kalimantan pada 17 Juni nanti, pihaknya menghadapinya dan tergantung putusan hakim di pengadilan. Sebagaimana putusan tetaplah menjadi putusan, kendati itu nantinya ada pro kontra sebab kebenaran hanya milik tuhan.

Di tempat yang sama Koordinator Tim 150 Tokoh, Piter Ell meminta presiden untuk membebaskan  7 tahanan politik dan semua narapidana politik di  tanah Papua maupun di mana saja yang saat ini disidangkan.

Pembebasan tersebut lanjut Piter Ell, dengan alasan psikologi massa adanya ketidakadilan, ada dispaklitas ancaman hukuman yang terjadi terlepas dari proses penegakan hukum di pengadilan.

Baca Juga :  Pasar Baru Kalomdol Jadi Pusat Perdagangan

“Silakan saja hakim memutuskan seperti apa. Tetapi psikologi massa  merasa itu adalah ketidakadilan,” jelasnya.

Menurutnya, kejadian 2019 lalu itu hanyalah letupan dan pemicu. Namun ada akar soal yang belum disentuh. Dimana salah satunya akar politik di Papua soal penyelesaian pelanggaran HAM yang tidak jelas hingga saat ini. 

“Sejak integrasi Papua hingga saat ini, penyelesaian pelanggaran HAM di Papua tidak jelas. Bahkan dari sekian kasus pelanggaran HAM di Papua, hanya ada 1 kasus pelanggaran HAM yang dibawa ke pengadilan HAM yakni kasus Abepura berdarah yang kasusnya disidangkan di Makassar,” bebernya.

Sementara begitu banyak kasus yang terjadi belum pernah dibawa ke pengadilan. “Inilah akar soal. Jadi rasisme ini  ketika masyarakat sipil menyampaikan pendapat mereka bisa dibawa ke pengadilan. Sementara ada aktor negara yang ‘berselingkuh’  dengan aktor  non aparat negara melakukan penaggaran pelanggaran HAM berat, tidak pernah dibawa ke pengadilan,” sindirnya.

Diakuinya, hampir  25 tahun dirinya mengurusi kasus makar. Namun apakah setiap kasus yang dibawa ke pengadilan dengan menggunakan pasal makar mengakhiri semua  proses tentang makar di Papua?  Piter Ell menjawab 100 persen tidak. Karena hingga saat ini masih saja ada kasus kasus makar yang terjadi di tanah ini.

“Kasus makar adalah kasus politik, maka jangan bawa ke ranah hukum. Bawalah ke ranah politik maka akan selesai di sana. Kalau nuansanya politik selesaikan secara politik,” ungkap Piter Ell.

Sementara itu, Samuel Tabuni meminta Gubernur Papua, DPR  dan MRP segera melakukan tindakan upaya diplomasi kepada presiden untuk langkah-langkah hukum seperti apa  yang diambil.

“Anak-anak mahasiswa perlu dipertimbangkan. Jangan biarkan mereka melawan terus. Aspek psikologi perlu dipertimbangkan dalam kasus ini. sehingga papua ini aman,” pintanya.(fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya