Saturday, April 20, 2024
30.7 C
Jayapura

Sempat Tegang Karena Dianggap Kucing – kucingan dengan Aparat

JAYAPURA-Protes terhadap daerah otonom baru dan penolakan otonomi khusus yang dilakukan sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan Petisi Rakyat Papua (PRP) akhirnya dilakukan, Kamis (14/7).

Massa yang sebelumnya diwanti-wanti tidak melakukan kumpul – kumpul justru merubah strategi. Para pendemo datang ke DPRP dengan cara tidak bergerombol melainkan satu persatu. Ada yang menggunakan mobil dan ada yang menggunakan motor. Polisi yang berjaga sedari pagi juga tidak menemukan adanya penumpukan massa namun tiba-tiba  sudah ada yang masuk ke gedung DPRP.

Kelompok pertama yang masuk dari USTJ Padang Bulan. Kemudian disusul kelompok dari Perumnas III Waena dan Abepura. Ini sempat membuat pihak keamanan kesal karena sejak awal niatan untuk sampai ke DPRP ini siap difasilitasi oleh Polresta Jayapura Kota dengan menyiapkan kendaraan namun nyatanya tidak dimanfaatkan dan justru muncul satu persatu.

Alhasil hanya sekira 20-an  pendemo yang berhasil masuk ke dalam halaman kantor DPRP dan sisanya tertahan di luar pagar kantor DPRP. Polisi tegas tidak mengizinkan yang lain masuk karena dianggap tidak terang-terangan dalam melakukan aksi.

Bahkan setelah dipertemukan dengan beberapa anggota DPRP, sempat  ada kesepakatan bahwa pendemo yang di luar pagar akan diberi kesempatan masuk kemudian menyampaikan aspirasi dengan waktu 15 menit. Namun ini juga ditolak oleh pihak keamanan.

Kapolresta, Kombes Pol Dr. Victor Dean Mackbon, SH., SIK., MH., M.Si.,  kekeuh  tidak membiarkan massa bergabung di halaman DPRP. “Kami sudah sampaikan jauh-jauh hari bahwa kami siap memfasilitasi dengan kendaraan. Ada 200 orang juga kami siap antar masuk tapi ini tidak dihargai dan memilih untuk melakukan kucing-kucingan, datang dengan menetes dan tiba – tiba sudah muncul di DPRP. Itu demo seperti apa yang diam-diam seperti ini,” sindir Kapolresta Victor Mackbon di sela-sela aksi, Kamis (14/7).

Sementara Jubir PRP, Jefri Wenda dan Emanuel Gobay yang bernego akhirnya ikut kena semprot. Kapolresta tegas menyatakan massa yang di luar tidak diperbolehkan masuk. “Kami heran mengapa harus seperti ini. Kenapa harus sembunyi-sembunyi seperti ada ketakutan dengan kami. Kalau   menerima tawaran kami kan lebih baik, bisa memasukkan 200 orang tapi karena buat keputusan sendiri ya kami juga tidak mau ditawar lagi,” tegas  Mackbon.

Baca Juga :  Lantamal X Jayapura Gelar Salat Gaib

Setelah hampir satu jam  bernego akhirnya disepakati bahwa kelompok kecil yang ada di  halaman kantor DPRP inilah yang mendatangi pintu masuk DPRP untuk  bergabung dengan massa di luar pagar untuk kemudian menyampaikan aspirasi.

“Prinsipnya kami memfasilitasi, menghormati hak asasi seseorang dan sama-sama bergerak humanis dan penting untuk saling memahami. Sebenarnya sudah beberapa kali kami berupaya mengakomodir dan memfasiitasi apa yang menjadi kepentingan  dengan menghormati etika dan aturan di UU Nomor 9 tahun 1999 tapi tadi kok seperti kucing – kucingan,” beber Kapolresta.

Harusnya kata Mackbon, jangan menjadikan polisi sebagai lawan karena semua bisa dicarikan solusinya. “Meski demikian kami tetap sampaikan ke anggota lain untuk tetap bertindak humanis selama kepentingan orang lain tidak terganggu. Kuncinya ada dikomunikasi dan kalau bisa saling mengerti saya pikir tidak ada masalah,” imbuhnya.

Sementara Jefri Wenda membacakan pernyataan sikap  dengan memberikan pendapat bahwa pengesahan RUU DOB tidak melibatkan masyarakat Papua, MRP maupun DPRP  sehingga menimbulkan banyak aksi protes.

DOB hanya untuk mempertahankan kekuasaan di Papua dengan DOB juga akan semakin memarginalkan masyarakat asli apalagi saat ini SDM orang Papua masih jauh tertinggal. Pemekaran juga akan menambah markas militer di Papua.

“Pemekaran DOB hanya menguntungkan pemodal dan Otsus tidak akan menyelesaikan persoalan Papua. Lalu perlawanan tidak akan berhenti meski ada DOB dan Otsus,” jelas Jefri didampingi koordinator umum, Yohanis Giay.

Iapun  menyampaikan bahwa masyarakat meminta untuk mencabut Otsus  Jilid II, hentikan pemekaran, elit Papua stop mengatasnamakan rakyat untuk kekuasaan, kemudian membuka akses jurnalis di Papua dan tarik militer organik dan non organik.

Baca Juga :  Kedatangan Tim Dokter Singapura Upaya Maksimal Agar Gubernur Segera Pulih

Poin lainnya adalah hentikan membunuh masyarakat Papua,  hentikan segala bentuk diskriminasi terhadap orang Papua, hentikan perampasan masyarakat adat dan kriminalisasi, hentikan kriminalisasi, tutup bandara antariksa di Biak, bebaskan tapol di Papua, tolak blok Wabu dan perusahaan nasional.

Kemudian usut pelaku penembakan di Intan Jaya, tangkap adili jenderal pelanggar HAM, hentikan rasisme, hentikan operasi militer di Nduga, Puncak, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat. Kemudian mendesak Indonesia untuk memberi akses komisi HAM PBB, jaminan kebebasan informasi dan berpendapat di Papua serta memberikan hak penentuan nasib sendiri.

Menariknya dalam pernyataan sikap ini ada poin yang menyinggung bentuk penindasan di Jawa Tengah.  “Kami juga mendukung perjuangan masyarakat Wadas di Jawa Tengah atas penindasan yang dilakukan kapitalis, mendukung masyarakat menolak Omnibus law, hentikan perampasan masyarakat adat di Tambrauw oleh perusahaan PT Nuansa Lestari Sejahtera dan semua perusahaan sawit,” ucap Jefri.

Lainnya adalah meminta Bupati Jayapura dan Gubernur Papua perlu segera menarik perizinan PT. Permata Nusa Mandiri di atas tanah adat milik masyarakat Grime dan Nawa, stop militeristik di kampus dan rektor perlu segera mengaktifkan kuliah online dan gratiskan biaya pendidikan, DPRP segera menggelar sidang paripurna  cabut Otsus dan DOB.

“Kami juga akan melakukan mosi tidak percaya terhadap elit politik baik gubernur, DPRP maupun MRP yang mendukung Otsus. Sebab mereka bagian dari kelompok penjajah di Papua dan kita akan kembali dalam satu bulan ke depan,” ujarnya seraya menyerahkan pernyataan sikap kepada Yonas Nusi, salah satu anggota DPRP.

Setelah menyerahkan pernyataan sikap ini, massa kemudian  berkumpul di Imbi dan pulang secara teratur. (ade/oel/rel/roy/nat)

JAYAPURA-Protes terhadap daerah otonom baru dan penolakan otonomi khusus yang dilakukan sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan Petisi Rakyat Papua (PRP) akhirnya dilakukan, Kamis (14/7).

Massa yang sebelumnya diwanti-wanti tidak melakukan kumpul – kumpul justru merubah strategi. Para pendemo datang ke DPRP dengan cara tidak bergerombol melainkan satu persatu. Ada yang menggunakan mobil dan ada yang menggunakan motor. Polisi yang berjaga sedari pagi juga tidak menemukan adanya penumpukan massa namun tiba-tiba  sudah ada yang masuk ke gedung DPRP.

Kelompok pertama yang masuk dari USTJ Padang Bulan. Kemudian disusul kelompok dari Perumnas III Waena dan Abepura. Ini sempat membuat pihak keamanan kesal karena sejak awal niatan untuk sampai ke DPRP ini siap difasilitasi oleh Polresta Jayapura Kota dengan menyiapkan kendaraan namun nyatanya tidak dimanfaatkan dan justru muncul satu persatu.

Alhasil hanya sekira 20-an  pendemo yang berhasil masuk ke dalam halaman kantor DPRP dan sisanya tertahan di luar pagar kantor DPRP. Polisi tegas tidak mengizinkan yang lain masuk karena dianggap tidak terang-terangan dalam melakukan aksi.

Bahkan setelah dipertemukan dengan beberapa anggota DPRP, sempat  ada kesepakatan bahwa pendemo yang di luar pagar akan diberi kesempatan masuk kemudian menyampaikan aspirasi dengan waktu 15 menit. Namun ini juga ditolak oleh pihak keamanan.

Kapolresta, Kombes Pol Dr. Victor Dean Mackbon, SH., SIK., MH., M.Si.,  kekeuh  tidak membiarkan massa bergabung di halaman DPRP. “Kami sudah sampaikan jauh-jauh hari bahwa kami siap memfasilitasi dengan kendaraan. Ada 200 orang juga kami siap antar masuk tapi ini tidak dihargai dan memilih untuk melakukan kucing-kucingan, datang dengan menetes dan tiba – tiba sudah muncul di DPRP. Itu demo seperti apa yang diam-diam seperti ini,” sindir Kapolresta Victor Mackbon di sela-sela aksi, Kamis (14/7).

Sementara Jubir PRP, Jefri Wenda dan Emanuel Gobay yang bernego akhirnya ikut kena semprot. Kapolresta tegas menyatakan massa yang di luar tidak diperbolehkan masuk. “Kami heran mengapa harus seperti ini. Kenapa harus sembunyi-sembunyi seperti ada ketakutan dengan kami. Kalau   menerima tawaran kami kan lebih baik, bisa memasukkan 200 orang tapi karena buat keputusan sendiri ya kami juga tidak mau ditawar lagi,” tegas  Mackbon.

Baca Juga :  Tiga  Terduga Pelaku Pembunuhan Dua Warga Diamankan 

Setelah hampir satu jam  bernego akhirnya disepakati bahwa kelompok kecil yang ada di  halaman kantor DPRP inilah yang mendatangi pintu masuk DPRP untuk  bergabung dengan massa di luar pagar untuk kemudian menyampaikan aspirasi.

“Prinsipnya kami memfasilitasi, menghormati hak asasi seseorang dan sama-sama bergerak humanis dan penting untuk saling memahami. Sebenarnya sudah beberapa kali kami berupaya mengakomodir dan memfasiitasi apa yang menjadi kepentingan  dengan menghormati etika dan aturan di UU Nomor 9 tahun 1999 tapi tadi kok seperti kucing – kucingan,” beber Kapolresta.

Harusnya kata Mackbon, jangan menjadikan polisi sebagai lawan karena semua bisa dicarikan solusinya. “Meski demikian kami tetap sampaikan ke anggota lain untuk tetap bertindak humanis selama kepentingan orang lain tidak terganggu. Kuncinya ada dikomunikasi dan kalau bisa saling mengerti saya pikir tidak ada masalah,” imbuhnya.

Sementara Jefri Wenda membacakan pernyataan sikap  dengan memberikan pendapat bahwa pengesahan RUU DOB tidak melibatkan masyarakat Papua, MRP maupun DPRP  sehingga menimbulkan banyak aksi protes.

DOB hanya untuk mempertahankan kekuasaan di Papua dengan DOB juga akan semakin memarginalkan masyarakat asli apalagi saat ini SDM orang Papua masih jauh tertinggal. Pemekaran juga akan menambah markas militer di Papua.

“Pemekaran DOB hanya menguntungkan pemodal dan Otsus tidak akan menyelesaikan persoalan Papua. Lalu perlawanan tidak akan berhenti meski ada DOB dan Otsus,” jelas Jefri didampingi koordinator umum, Yohanis Giay.

Iapun  menyampaikan bahwa masyarakat meminta untuk mencabut Otsus  Jilid II, hentikan pemekaran, elit Papua stop mengatasnamakan rakyat untuk kekuasaan, kemudian membuka akses jurnalis di Papua dan tarik militer organik dan non organik.

Baca Juga :  Penditrsibusian Sembako ke Daerah Konflik Tak Terkendala

Poin lainnya adalah hentikan membunuh masyarakat Papua,  hentikan segala bentuk diskriminasi terhadap orang Papua, hentikan perampasan masyarakat adat dan kriminalisasi, hentikan kriminalisasi, tutup bandara antariksa di Biak, bebaskan tapol di Papua, tolak blok Wabu dan perusahaan nasional.

Kemudian usut pelaku penembakan di Intan Jaya, tangkap adili jenderal pelanggar HAM, hentikan rasisme, hentikan operasi militer di Nduga, Puncak, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat. Kemudian mendesak Indonesia untuk memberi akses komisi HAM PBB, jaminan kebebasan informasi dan berpendapat di Papua serta memberikan hak penentuan nasib sendiri.

Menariknya dalam pernyataan sikap ini ada poin yang menyinggung bentuk penindasan di Jawa Tengah.  “Kami juga mendukung perjuangan masyarakat Wadas di Jawa Tengah atas penindasan yang dilakukan kapitalis, mendukung masyarakat menolak Omnibus law, hentikan perampasan masyarakat adat di Tambrauw oleh perusahaan PT Nuansa Lestari Sejahtera dan semua perusahaan sawit,” ucap Jefri.

Lainnya adalah meminta Bupati Jayapura dan Gubernur Papua perlu segera menarik perizinan PT. Permata Nusa Mandiri di atas tanah adat milik masyarakat Grime dan Nawa, stop militeristik di kampus dan rektor perlu segera mengaktifkan kuliah online dan gratiskan biaya pendidikan, DPRP segera menggelar sidang paripurna  cabut Otsus dan DOB.

“Kami juga akan melakukan mosi tidak percaya terhadap elit politik baik gubernur, DPRP maupun MRP yang mendukung Otsus. Sebab mereka bagian dari kelompok penjajah di Papua dan kita akan kembali dalam satu bulan ke depan,” ujarnya seraya menyerahkan pernyataan sikap kepada Yonas Nusi, salah satu anggota DPRP.

Setelah menyerahkan pernyataan sikap ini, massa kemudian  berkumpul di Imbi dan pulang secara teratur. (ade/oel/rel/roy/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya