Sunday, November 24, 2024
25.7 C
Jayapura

Keputusan MRP Jangan Sampai Berbau Politik

JAYAPURA-Majelis Rakyat Papua (MRP) baru saja mengesahkan enam penetapan keputusan MRP untuk melindungi Orang Asli Papua (OAP) di Provinsi Papua. Salah satu dari poin keputusan MRP itu tentang moratorium izin mengelolaan sumber daya alam di tanah Papua.

Praktisi Hukum dan Ahli Hukum Tata Negara dari STIH Biak Papua Dr. Anthon Raharusun, SH., MH., menyampaikan, jika dilihat dari keputusan keputusan MRP yang ada. Sebetulnya  hal-hal yang disampaikan MRP dalam  bentuk keputusan sudah ada dalam UU Otsus.

Misalnya menurut Anthon, dalam konsiden UU Otsus maupun perubahannya terutama UU  Nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan ke 2 UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus menyebutkan, dalam rangka melindungi menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, melindungi hak-hak dasar orang Papua baik dalam bidang ekonomi, politik maupun sosial budaya perlu diberikan suatu kepastian hukum dalam rangka melaksanakan Otsus.

“Jika melihat dalam konteks UU Otsus, sebetulnya apa yang diputuskan oleh MRP sudah diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah khusus, maupun peraturan daerah provinsi. Sehingga apa yang dibuat MRP bukan hal yang baru. Artinya hal-hal yang sudah berada di dalam UU Otsus yang sudah diamanatkan,” jelas Anthon kepada Cenderawasih Pos yang ditemui di ruang kerjanya, Rabu (13/7) kemarin.

Menurut Anthon, keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh MRP sebetulnya bukan ranah MRP. Melainkan ini tugas daripada legislatif dan eksekutif. Sehingga jika sekarang MRP mengesahkan enam penetapan keputusan MRP untuk melindungi OAP, harus memiliki dasar  kewenangan.

Baca Juga :  Kontak Tembak di Dekai, Satu Anggota TNI Gugur

“Saya khawatir enam keputusan ini dalam prakteknya mungkin saja tidak efektif, dan ini juga akan berbenturan dengan norma perundang-undangan lainnya. Baik UU Otsus maupun UU sektoral lainnya,” bebernya.

Sekarang yang menjadi pertanyaan, apa keweanngan MRP meminta untuk dilakukan seperti moratorium, padahal ini tugas pemerintah, sementara MRP sebagai lembaga fungsi non. “Memang ini dalam rangka memberikan proteksi terhadap OAP, tetapi apa yang dibuat MRP melalui enam keputusan menurut saya sudah ada dalam UU Otsus maupun dalam peraturan daerah khusus, sehingga ini bukan hal yang baru. Kalaupun ini dikeluarkan, saya khawatir ini akan memberikan indikasi politik bisa berdampak kepada masyarakat lainnya,” kata Anthon yang juga sebagai dosen.

Enam keputusan MRP kata Anthon jangan sampai ditempatkan dalam konteks politik. Menurutnya, apabila ini menjadi sebuah keputusan MRP maka MRP juga berkewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan yang dikeluarkan. Tidak saja pada tataran pembuatan keputusan, tetapi juga bagaimana melakukan pengawasan terhadap enam keputusan ini di masyarakat.

“Jika ini dikeluarkan hanya sebatas dikeluarkan atau ditetapkan menjadi suatu keputusan, menurut saya ini belum cukup. Harus ada pengawasan, memang kita melihat MRP dalam rangka memberikan proteksi terhadap hak-hak dasar OAP dan itu kita hormati. Tetapi saya  khawatir ini tidak dilaksanakan dengan baik, apalagi misalnya di Papua ada 7 wilayah adat yang punya karakteristik budaya, bahasa yang berbeda-beda. Sehingga, apakah keputusan ini bisa memberikan jaminan terhadap perlindungan hak-hak OAP di 7 wilayah adat di Papua,” bebernya.

Baca Juga :  Ganjil-Genap Tetap Diterapkan

Menurut Anthon, sebaiknya MRP fokus pada tugas dan fungsinya. Sehingga hal-hal  yang bersifat seperti ini harusnya bersinergi dengan pemerintah, agar keputusan- keputusan yang dilahirkan MRP tidak berseberangan dengan pemerintah.

“Keputusan ini jangan sampai menimbulkan persoalan baru di tengah masyarakat. Sebab belum tentu semua keputusan dari MRP tersebut bisa diterima masyarakat atau diakomodir dalam 7 wilayah adat di Papua,” tuturnya.

Lanjut Anthon menyampaikan, tugas MRP jangan terlalu mencampuri urusan-urusan yang bukan menjadi ranah kewenangan MRP. Kalau pun MRP fokus untuk kepentingan OAP, harusnya bersinergi dengan pemerintah yaitu bagaimana meningkatkan kemajuan di masyarakat Papua dalam rangka percepatan peningkatan kesejahteraan dan pembangunan di Papua.

“Jangan sampai keputusan yang dikeluarkan MRP tumpang tindih dengan berbagai peraturan  perundang-undangan lainnya. Sebab, keputusan MRP tidak berdiri sendiri, dia bukan berada dalam satu wilayah ranah hukum sendiri untuk mengatur menyangkut kehidupan sosial masyarakat. Tetapi berlaku untuk 1 masyatakat adat dari berbagai macam karakter sosial budaya yang berbeda,” paparnya.

“MRP harus benar-benar melakukan kontrol dan pengawasan terhadap kebijakan ini. Jangan kemudian melahirkan satu keputusan yang kemudian implementasinya tidak bisa dilaksanakan karena berbenturan dengan peraturan perundang undangan lainnya,” tutupnya. (fia/nat)

JAYAPURA-Majelis Rakyat Papua (MRP) baru saja mengesahkan enam penetapan keputusan MRP untuk melindungi Orang Asli Papua (OAP) di Provinsi Papua. Salah satu dari poin keputusan MRP itu tentang moratorium izin mengelolaan sumber daya alam di tanah Papua.

Praktisi Hukum dan Ahli Hukum Tata Negara dari STIH Biak Papua Dr. Anthon Raharusun, SH., MH., menyampaikan, jika dilihat dari keputusan keputusan MRP yang ada. Sebetulnya  hal-hal yang disampaikan MRP dalam  bentuk keputusan sudah ada dalam UU Otsus.

Misalnya menurut Anthon, dalam konsiden UU Otsus maupun perubahannya terutama UU  Nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan ke 2 UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus menyebutkan, dalam rangka melindungi menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, melindungi hak-hak dasar orang Papua baik dalam bidang ekonomi, politik maupun sosial budaya perlu diberikan suatu kepastian hukum dalam rangka melaksanakan Otsus.

“Jika melihat dalam konteks UU Otsus, sebetulnya apa yang diputuskan oleh MRP sudah diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah khusus, maupun peraturan daerah provinsi. Sehingga apa yang dibuat MRP bukan hal yang baru. Artinya hal-hal yang sudah berada di dalam UU Otsus yang sudah diamanatkan,” jelas Anthon kepada Cenderawasih Pos yang ditemui di ruang kerjanya, Rabu (13/7) kemarin.

Menurut Anthon, keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh MRP sebetulnya bukan ranah MRP. Melainkan ini tugas daripada legislatif dan eksekutif. Sehingga jika sekarang MRP mengesahkan enam penetapan keputusan MRP untuk melindungi OAP, harus memiliki dasar  kewenangan.

Baca Juga :  Ganjil-Genap Tetap Diterapkan

“Saya khawatir enam keputusan ini dalam prakteknya mungkin saja tidak efektif, dan ini juga akan berbenturan dengan norma perundang-undangan lainnya. Baik UU Otsus maupun UU sektoral lainnya,” bebernya.

Sekarang yang menjadi pertanyaan, apa keweanngan MRP meminta untuk dilakukan seperti moratorium, padahal ini tugas pemerintah, sementara MRP sebagai lembaga fungsi non. “Memang ini dalam rangka memberikan proteksi terhadap OAP, tetapi apa yang dibuat MRP melalui enam keputusan menurut saya sudah ada dalam UU Otsus maupun dalam peraturan daerah khusus, sehingga ini bukan hal yang baru. Kalaupun ini dikeluarkan, saya khawatir ini akan memberikan indikasi politik bisa berdampak kepada masyarakat lainnya,” kata Anthon yang juga sebagai dosen.

Enam keputusan MRP kata Anthon jangan sampai ditempatkan dalam konteks politik. Menurutnya, apabila ini menjadi sebuah keputusan MRP maka MRP juga berkewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan yang dikeluarkan. Tidak saja pada tataran pembuatan keputusan, tetapi juga bagaimana melakukan pengawasan terhadap enam keputusan ini di masyarakat.

“Jika ini dikeluarkan hanya sebatas dikeluarkan atau ditetapkan menjadi suatu keputusan, menurut saya ini belum cukup. Harus ada pengawasan, memang kita melihat MRP dalam rangka memberikan proteksi terhadap hak-hak dasar OAP dan itu kita hormati. Tetapi saya  khawatir ini tidak dilaksanakan dengan baik, apalagi misalnya di Papua ada 7 wilayah adat yang punya karakteristik budaya, bahasa yang berbeda-beda. Sehingga, apakah keputusan ini bisa memberikan jaminan terhadap perlindungan hak-hak OAP di 7 wilayah adat di Papua,” bebernya.

Baca Juga :  Putra Papua Pertama Sandang Bintang 3 di Kepolisian

Menurut Anthon, sebaiknya MRP fokus pada tugas dan fungsinya. Sehingga hal-hal  yang bersifat seperti ini harusnya bersinergi dengan pemerintah, agar keputusan- keputusan yang dilahirkan MRP tidak berseberangan dengan pemerintah.

“Keputusan ini jangan sampai menimbulkan persoalan baru di tengah masyarakat. Sebab belum tentu semua keputusan dari MRP tersebut bisa diterima masyarakat atau diakomodir dalam 7 wilayah adat di Papua,” tuturnya.

Lanjut Anthon menyampaikan, tugas MRP jangan terlalu mencampuri urusan-urusan yang bukan menjadi ranah kewenangan MRP. Kalau pun MRP fokus untuk kepentingan OAP, harusnya bersinergi dengan pemerintah yaitu bagaimana meningkatkan kemajuan di masyarakat Papua dalam rangka percepatan peningkatan kesejahteraan dan pembangunan di Papua.

“Jangan sampai keputusan yang dikeluarkan MRP tumpang tindih dengan berbagai peraturan  perundang-undangan lainnya. Sebab, keputusan MRP tidak berdiri sendiri, dia bukan berada dalam satu wilayah ranah hukum sendiri untuk mengatur menyangkut kehidupan sosial masyarakat. Tetapi berlaku untuk 1 masyatakat adat dari berbagai macam karakter sosial budaya yang berbeda,” paparnya.

“MRP harus benar-benar melakukan kontrol dan pengawasan terhadap kebijakan ini. Jangan kemudian melahirkan satu keputusan yang kemudian implementasinya tidak bisa dilaksanakan karena berbenturan dengan peraturan perundang undangan lainnya,” tutupnya. (fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya