Friday, March 29, 2024
27.7 C
Jayapura

Nyaris Setengah Abad Berselang, Syarat Perekrutan Sama seperti Generasi Pertama

Nasida Ria, Penampilan Ketiga di Jerman, dan Umur Panjang Kesuksesan

Menjaga kedisiplinan dan mempersiapkan regenerasi dengan matang termasuk kunci sukses Nasida Ria bertahan sampai sekarang. ”Kelahiran dan keberadaannya yang panjang dan mengakar hanya dimungkinkan oleh sebuah masyarakat Islam yang cair dan terbuka, termasuk terhadap seni dan kedudukan perempuan,” tulis Hairus Salim tentang grup musik kasidah itu.

KHAFIFAH ARINI PUTRI, Semarang

DI Kassel, Jerman, bagaimana dua penonton itu menyanyikan lagu-lagu Nasida Ria membetot perhatian Rien Jamain. Sebab, suara mereka kencang sekali.

”Mereka keturunan Arab dan memang hafal lagu-lagu Nasida Ria. Saat selesai manggung, mereka pun menghampiri kami dan saling bertegur sapa,” kenang personel Nasida Ria dari generasi pertama itu kepada Jawa Pos Radar Semarang.

Banyak lagi penonton lain di panggung pembuka pentas seni internasional Documenta Fifteen di Friedrichsplatz, Kassel, pada pertengahan bulan lalu itu (18/6). Yang, dalam ingatan Rien, juga terlihat sangat menikmati penampilan dia dan kawan-kawan.   

Mereka asyik menggoyangkan badan mengikuti alunan sembilan lagu yang dimainkan sembilan personel grup kasidah yang dibentuk pada 1975 tersebut. Dua monitor juga dipasang di panggung agar warga lokal dapat mengetahui isi lagu yang dinyanyikan.

Tak sedikit pula yang meminta foto seusai pertunjukan. ”Saya kan nggak begitu paham bahasa mereka, tapi ada yang bertugas untuk menerjemahkan. Katanya, mereka senang dengan lagu-lagu kami,” ungkapnya.

Itu penampilan ketiga Nasida Ria di Jerman setelah 1994 dan 1996. Ruangrupa yang menjadi kurator pameran seni rupa bergengsi di Kassel tersebut memilih mereka mewakili Indonesia.

Bagi Nasida Ria, penampilan ketiga di Jerman itu menjadi satu di antara sekian penanda awetnya eksistensi mereka. Juga betapa kesuksesan mereka yang dirintis dari sebuah gang di kawasan Kauman, Semarang, telah melintasi zaman.     

***      

Grup pelantun Perdamaian, lagu yang kemudian dipopulerkan kembali oleh band Gigi, itu lahir dari sebuah gang bernama Mustaram. Di ujung gang tersebut ada rumah Haji Malik Zain, seorang muazin di Masjid Agung Kauman yang juga guru qiraah.

Setiap Jumat pagi teras rumah Malik, ayahanda Choliq Zain, pemegang kendali manajemen grup musik Islami yang telah melahirkan 36 album itu sekarang, selalu penuh orang mengaji. ”Meluber sampai ke mulut gang,” kenang Felasufah Zain, putri bungsu Malik Zain, dalam wawancara dengan Jawa Pos pada 2018.

Baca Juga :  Kedepankan Keberagaman Personel agar Sesuai Tema Acara 

Malik punya kemampuan mengagumkan dalam melafalkan ayat-ayat Alquran. Jiwanya penuh seni. Kalau sedang khusyuk berqiraah, tangan, leher, sampai dagunya pun ikut bergerak-gerak mengikuti naik turunnya nada.

Karena bermaksud lebih memperdalam ilmu qiraah, ada beberapa siswi peserta pengajian yang ingin tinggal bersama sang guru. Lantai 2 rumah Malik pun dirombak dan dimodifikasi untuk ruang belajar, kamar, dapur, serta ruang makan.

Tapi, Malik tidak mau menyebut rumahnya sebagai pesantren. ”Sampai sekarang sebutannya ya asrama Nasida Ria gitu aja,” tutur Fela, sapaan akrab Felasufah.

Malik juga senang bermusik. Dia pun berpikir menurunkan bakat bermusiknya itu kepada para santri putri. Musik, menurut dia, bisa menjadi strategi dakwah yang jitu.

Mulailah dia menyeleksi puluhan santri putri di asrama Nasida Ria. ”Syaratnya perempuan, suaranya bagus, belum punya pacar, usianya 13–15 tahun,” tutur Rien Jamain, juga dalam wawancara dengan Jawa Pos empat tahun silam itu.

Akhirnya terpilihlah delapan santri putri sebagai anggota utama grup kasidah Nasida Ria. Satu orang anggota lagi adalah Mudrikah Zain, istri Malik. Angka 9 dipilih secara khusus.

Sembilan personel itu memainkan beragam alat musik. Di tiap lagu, lead vocal atau vokalis utama berganti-ganti. Yang lain menjadi backing vocal sembari memainkan instrumen. Awalnya, Nasida Ria hanya bernyanyi dan memainkan rebana.

Tapi, saat Nasida Ria diundang untuk tampil di Pendapa Kota Semarang pada 1980, wali kota Semarang saat itu, Iman Soeparto Tjakrajoeda, jatuh cinta dengan lagu-lagu mereka. Dia pun menghadiahkan satu unit keyboard. Menyusul kemudian sebuah perusahaan rokok menghadiahkan gitar dan bas.

Permainan Nasida Ria pun semakin bervariasi. Rebana disandingkan dengan tambolin, ditambah seruling dan mandolin. Juga dua biola. Awalnya, mereka bahkan memakai satu set drum. ”Tapi kemudian dibatalkan karena merusak nada biola dan serulingnya,” kata Choliq.

Nasida berarti lagu Islami, ria bermakna yang semarak dan mengundang kegembiraan. ”N A S I D A R I A, sembilan huruf sama dengan kanjeng Wali Sanga (sembilan wali penyebar Islam di Jawa, Red),” tutur Rien.

Dalam kolomnya di Jawa Pos (2/7), Hairus Salim, pengelola Lumbung Informasi Kebudayaan Indonesia, menyebut Nasida Ria lebih dari sekadar sebuah nama. Dia juga sebuah perlambang. ”Kelahiran dan keberadaannya yang panjang dan mengakar di masyarakatnya hanya dimungkinkan oleh sebuah masyarakat Islam yang cair dan terbuka, termasuk terhadap seni dan kedudukan perempuan,” tulisnya.

Baca Juga :  Banyak Warga Belum Paham Hukum, Tidak Semua Persoalan Harus ke Pengadilan

Dimulai dengan album pertama mereka, Alabaladil Mahbub, yang dirilis pada 1978, selebihnya adalah sejarah. Nasida Ria total sudah merilis 36 album sampai saat ini dengan sejumlah hit di dalamnya: Perdamaian, Palestina, Dunia dalam Berita, Jilbab Putih, Kota Santri, dan Pengantin Baru di antaranya.

Perdamaian, Dunia dalam Berita, dan Kota Santri termasuk tiga di antara sembilan lagu yang mereka mainkan di Kassel. Saat di Jerman, selain di Documenta Fifteen, mereka bermain di Bali Bistro, Mainz, atas undangan KJRI Frankfurt.

Dalam film dokumenter The Legend of Qasida besutan Nazla, putri Choliq, Anne K. Rasmussen, peneliti musik dari AS, menyebut meski Nasida Ria grup musik Islami, lagu-lagu mereka bicara tentang subjek yang luas. ”Ada tentang perdamaian, keadilan, juga hak-hak perempuan,” kata Rasmussen yang mengoleksi kaset Nasida Ria sejak 1995.

***

Sebuah kelompok musik yang tidak berada di arus utama industri musik, tapi bisa bertahan 47 tahun, jelas sebuah capaian tak main-main. Banyak faktor yang mendasarinya, tapi disiplin dan regenerasi termasuk yang krusial.

Soal kedisiplinan, untuk persiapan ke Jerman, misalnya, meski jam terbang mereka demikian tinggi dan itu juga bukan pertunjukan pertama di sana, Rien dan kawan-kawan tetap berlatih keras. ”Seminggu dua kali kami latihan,” katanya ketika ditemui di kediamannya di kawasan Gunung Pati, Kabupaten Semarang.

Mengenai regenerasi, Rien menyebut saat ini generasi kelima Nasida Ria tengah disiapkan. ”Banyak yang menikah dan tidak diizinkan lagi sama suaminya,” katanya.

Ada 12 orang yang berangkat ke Jerman bulan lalu. Selain Rien, ada Afuwah, Siti Hamidah, Tantowiyah, Sofiyahtun, dan Mukaromah. Juga Ana Uswatun Khasanah, Alfiatul Khiriyah, Nur Janah, Nadhiroh, Makhi, serta Nazla Nailul Muna.

Pergantian generasi pertama ke generasi kedua, kata Rien, berlangsung dalam periode delapan tahun. Generasi ketiga terbentuk pada 2014 dan generasi keempat dua tahun berselang.

Rien menjelaskan, sejak generasi pertama, Nasida Ria junior selalu dimatangkan di asrama mereka terlebih dahulu. Dan, selama perekrutan, tiap kali pentas juga diumumkan tentang syarat menjadi penerus generasi.

Apa saja? Masih sama disiplinnya seperti perekrutan generasi pertama dulu: berusia 13–15 tahun, punya suara bagus, ber-akhlakul karimah yang baik, dan belum punya pacar. (*/c19/ttg/JPG)

Nasida Ria, Penampilan Ketiga di Jerman, dan Umur Panjang Kesuksesan

Menjaga kedisiplinan dan mempersiapkan regenerasi dengan matang termasuk kunci sukses Nasida Ria bertahan sampai sekarang. ”Kelahiran dan keberadaannya yang panjang dan mengakar hanya dimungkinkan oleh sebuah masyarakat Islam yang cair dan terbuka, termasuk terhadap seni dan kedudukan perempuan,” tulis Hairus Salim tentang grup musik kasidah itu.

KHAFIFAH ARINI PUTRI, Semarang

DI Kassel, Jerman, bagaimana dua penonton itu menyanyikan lagu-lagu Nasida Ria membetot perhatian Rien Jamain. Sebab, suara mereka kencang sekali.

”Mereka keturunan Arab dan memang hafal lagu-lagu Nasida Ria. Saat selesai manggung, mereka pun menghampiri kami dan saling bertegur sapa,” kenang personel Nasida Ria dari generasi pertama itu kepada Jawa Pos Radar Semarang.

Banyak lagi penonton lain di panggung pembuka pentas seni internasional Documenta Fifteen di Friedrichsplatz, Kassel, pada pertengahan bulan lalu itu (18/6). Yang, dalam ingatan Rien, juga terlihat sangat menikmati penampilan dia dan kawan-kawan.   

Mereka asyik menggoyangkan badan mengikuti alunan sembilan lagu yang dimainkan sembilan personel grup kasidah yang dibentuk pada 1975 tersebut. Dua monitor juga dipasang di panggung agar warga lokal dapat mengetahui isi lagu yang dinyanyikan.

Tak sedikit pula yang meminta foto seusai pertunjukan. ”Saya kan nggak begitu paham bahasa mereka, tapi ada yang bertugas untuk menerjemahkan. Katanya, mereka senang dengan lagu-lagu kami,” ungkapnya.

Itu penampilan ketiga Nasida Ria di Jerman setelah 1994 dan 1996. Ruangrupa yang menjadi kurator pameran seni rupa bergengsi di Kassel tersebut memilih mereka mewakili Indonesia.

Bagi Nasida Ria, penampilan ketiga di Jerman itu menjadi satu di antara sekian penanda awetnya eksistensi mereka. Juga betapa kesuksesan mereka yang dirintis dari sebuah gang di kawasan Kauman, Semarang, telah melintasi zaman.     

***      

Grup pelantun Perdamaian, lagu yang kemudian dipopulerkan kembali oleh band Gigi, itu lahir dari sebuah gang bernama Mustaram. Di ujung gang tersebut ada rumah Haji Malik Zain, seorang muazin di Masjid Agung Kauman yang juga guru qiraah.

Setiap Jumat pagi teras rumah Malik, ayahanda Choliq Zain, pemegang kendali manajemen grup musik Islami yang telah melahirkan 36 album itu sekarang, selalu penuh orang mengaji. ”Meluber sampai ke mulut gang,” kenang Felasufah Zain, putri bungsu Malik Zain, dalam wawancara dengan Jawa Pos pada 2018.

Baca Juga :  Restoratif Justice Justru Sering Tidak Memberikan Keadilan Bagi Korban

Malik punya kemampuan mengagumkan dalam melafalkan ayat-ayat Alquran. Jiwanya penuh seni. Kalau sedang khusyuk berqiraah, tangan, leher, sampai dagunya pun ikut bergerak-gerak mengikuti naik turunnya nada.

Karena bermaksud lebih memperdalam ilmu qiraah, ada beberapa siswi peserta pengajian yang ingin tinggal bersama sang guru. Lantai 2 rumah Malik pun dirombak dan dimodifikasi untuk ruang belajar, kamar, dapur, serta ruang makan.

Tapi, Malik tidak mau menyebut rumahnya sebagai pesantren. ”Sampai sekarang sebutannya ya asrama Nasida Ria gitu aja,” tutur Fela, sapaan akrab Felasufah.

Malik juga senang bermusik. Dia pun berpikir menurunkan bakat bermusiknya itu kepada para santri putri. Musik, menurut dia, bisa menjadi strategi dakwah yang jitu.

Mulailah dia menyeleksi puluhan santri putri di asrama Nasida Ria. ”Syaratnya perempuan, suaranya bagus, belum punya pacar, usianya 13–15 tahun,” tutur Rien Jamain, juga dalam wawancara dengan Jawa Pos empat tahun silam itu.

Akhirnya terpilihlah delapan santri putri sebagai anggota utama grup kasidah Nasida Ria. Satu orang anggota lagi adalah Mudrikah Zain, istri Malik. Angka 9 dipilih secara khusus.

Sembilan personel itu memainkan beragam alat musik. Di tiap lagu, lead vocal atau vokalis utama berganti-ganti. Yang lain menjadi backing vocal sembari memainkan instrumen. Awalnya, Nasida Ria hanya bernyanyi dan memainkan rebana.

Tapi, saat Nasida Ria diundang untuk tampil di Pendapa Kota Semarang pada 1980, wali kota Semarang saat itu, Iman Soeparto Tjakrajoeda, jatuh cinta dengan lagu-lagu mereka. Dia pun menghadiahkan satu unit keyboard. Menyusul kemudian sebuah perusahaan rokok menghadiahkan gitar dan bas.

Permainan Nasida Ria pun semakin bervariasi. Rebana disandingkan dengan tambolin, ditambah seruling dan mandolin. Juga dua biola. Awalnya, mereka bahkan memakai satu set drum. ”Tapi kemudian dibatalkan karena merusak nada biola dan serulingnya,” kata Choliq.

Nasida berarti lagu Islami, ria bermakna yang semarak dan mengundang kegembiraan. ”N A S I D A R I A, sembilan huruf sama dengan kanjeng Wali Sanga (sembilan wali penyebar Islam di Jawa, Red),” tutur Rien.

Dalam kolomnya di Jawa Pos (2/7), Hairus Salim, pengelola Lumbung Informasi Kebudayaan Indonesia, menyebut Nasida Ria lebih dari sekadar sebuah nama. Dia juga sebuah perlambang. ”Kelahiran dan keberadaannya yang panjang dan mengakar di masyarakatnya hanya dimungkinkan oleh sebuah masyarakat Islam yang cair dan terbuka, termasuk terhadap seni dan kedudukan perempuan,” tulisnya.

Baca Juga :  Mimpi Saya, Ada Surfer Internasional Lahir dari Ayah-Ibu Nelayan

Dimulai dengan album pertama mereka, Alabaladil Mahbub, yang dirilis pada 1978, selebihnya adalah sejarah. Nasida Ria total sudah merilis 36 album sampai saat ini dengan sejumlah hit di dalamnya: Perdamaian, Palestina, Dunia dalam Berita, Jilbab Putih, Kota Santri, dan Pengantin Baru di antaranya.

Perdamaian, Dunia dalam Berita, dan Kota Santri termasuk tiga di antara sembilan lagu yang mereka mainkan di Kassel. Saat di Jerman, selain di Documenta Fifteen, mereka bermain di Bali Bistro, Mainz, atas undangan KJRI Frankfurt.

Dalam film dokumenter The Legend of Qasida besutan Nazla, putri Choliq, Anne K. Rasmussen, peneliti musik dari AS, menyebut meski Nasida Ria grup musik Islami, lagu-lagu mereka bicara tentang subjek yang luas. ”Ada tentang perdamaian, keadilan, juga hak-hak perempuan,” kata Rasmussen yang mengoleksi kaset Nasida Ria sejak 1995.

***

Sebuah kelompok musik yang tidak berada di arus utama industri musik, tapi bisa bertahan 47 tahun, jelas sebuah capaian tak main-main. Banyak faktor yang mendasarinya, tapi disiplin dan regenerasi termasuk yang krusial.

Soal kedisiplinan, untuk persiapan ke Jerman, misalnya, meski jam terbang mereka demikian tinggi dan itu juga bukan pertunjukan pertama di sana, Rien dan kawan-kawan tetap berlatih keras. ”Seminggu dua kali kami latihan,” katanya ketika ditemui di kediamannya di kawasan Gunung Pati, Kabupaten Semarang.

Mengenai regenerasi, Rien menyebut saat ini generasi kelima Nasida Ria tengah disiapkan. ”Banyak yang menikah dan tidak diizinkan lagi sama suaminya,” katanya.

Ada 12 orang yang berangkat ke Jerman bulan lalu. Selain Rien, ada Afuwah, Siti Hamidah, Tantowiyah, Sofiyahtun, dan Mukaromah. Juga Ana Uswatun Khasanah, Alfiatul Khiriyah, Nur Janah, Nadhiroh, Makhi, serta Nazla Nailul Muna.

Pergantian generasi pertama ke generasi kedua, kata Rien, berlangsung dalam periode delapan tahun. Generasi ketiga terbentuk pada 2014 dan generasi keempat dua tahun berselang.

Rien menjelaskan, sejak generasi pertama, Nasida Ria junior selalu dimatangkan di asrama mereka terlebih dahulu. Dan, selama perekrutan, tiap kali pentas juga diumumkan tentang syarat menjadi penerus generasi.

Apa saja? Masih sama disiplinnya seperti perekrutan generasi pertama dulu: berusia 13–15 tahun, punya suara bagus, ber-akhlakul karimah yang baik, dan belum punya pacar. (*/c19/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya