Artinya, kehadiran pemilih di luar DPT reguler masih dimungkinkan sepanjang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Keterangan ini perlu dicatat secara jernih, sebab dalam logika hukum pemilu, keberadaan DPTb dan DPK memang diatur dan diakui. Akan tetapi, kata dosen hukum tata negara itu, yang menjadi pekerjaan rumah adalah sejauh mana prosedur itu dijalankan dengan benar dan tidak disalahgunakan untuk menambah suara secara tidak sah.
Dititik inilah, peran MK dalam menimbang bukti, mendengarkan saksi dan ahli, serta menguji konsistensi data menjadi sangat krusial. Sementara, dalam konteks pengawasan, Bawaslu Papua tidak bisa berdiri di luar proses ini. Bawaslu memikul tanggung jawab untuk memastikan setiap dugaan pelanggaran dicatat dan ditindaklanjuti sesuai mekanisme.
Lebih jauh, Lily sampaikan keberadaan sentra Gakkumdu (Gabungan Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan) juga menjadi instrumen vital untuk menangani dugaan pelanggaran pidana pemilu. Namun pada konteks ini Gakkumdu harus bersifat kolektif-kolegial yang artinya tidak bisa berjalan jika salah satu unsur tidak hadir. Artinya, penegakan hukum pemilu membutuhkan sinergi penuh, dan tanpa koordinasi tiga unsur itu, keadilan elektoral berpotensi terhambat.
Selain pemohon dan termohon, kehadiran pihak terkait penting agar MK mendapat gambaran menyeluruh, tidak hanya dari pihak yang menggugat atau tergugat, melainkan juga dari kandidat lain yang memiliki kepentingan langsung terhadap hasil pemilihan.
Dengan begitu, putusan MK nantinya akan lebih kokoh karena dipertimbangkan dari berbagai sisi. “Proses pembuktian mendatang akan menjadi momen penting untuk mengurai kebenaran. Publik Papua membutuhkan kepastian bahwa setiap suara dihitung secara jujur dan transparan,” jelas Lily.