Sunday, April 28, 2024
27.7 C
Jayapura

KPK Izinkan Berobat ke Singapura dengan Status Tahanan

Kemarin, KPK Umumkan Lukas Enembe bersama Rijatono Lakka (RL) sebagai Tersangka

Jakarta-  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan dapat mengizinkan tersangka Gubernur Papua Lukas Enembe berobat di Singapura dengan catatan terlebih dahulu berstatus tahanan KPK.

“Betul, yang bersangkutan menyampaikan lewat pengacaranya untuk melakukan permohonan berobat ke Singapura. Dalam kesempatan ini, saya ingin menyampaikan bahwa yang bersangkutan bisa berobat di Singapura dengan didampingi petugas KPK dan yang bersangkutan tentu statusnya harus menjadi tahanan KPK dulu baru bisa berobat ke Singapura,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis.

Ia mengungkapkan bahwa sebenarnya KPK sudah menawarkan kepada Lukas Enembe untuk berobat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta.

“Kami akan jemput kalau yang bersangkutan bersedia untuk berobat di Jakarta. Kalau nanti rumah sakit di Jakarta menyatakan tidak sanggup mengobati penyakit yang bersangkutan, kami akan memfasilitasi untuk berobat sesuai dengan keinginan yang bersangkutan berobat di Singapura tetapi sekali lagi harus sudah menjadi tahanan KPK. Kalau yang bersangkutan membutuhkan perawatan yang harus rawat inap tentu nanti kami akan bantarkan, kan seperti itu,” kata dia.

Baca Juga :  Perlu Banyak yang Dipersiapkan untuk Sukseskan Pemilu

Sebelumnya, tim kuasa hukum Lukas Enembe pada Senin (28/11) mengirimkan surat ke KPK terkait permintaan kliennya agar diizinkan berobat ke Singapura lantaran kondisi kesehatannya semakin memburuk.

Sementara itu pada Kamis (5/1) kemarin, KPK mengumumkan Lukas Enembe bersama Direktur PT Tabi Bangun Papua (TBP) Rijatono Lakka (RL) sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait proyek pembangunan infrastruktur di Provinsi Papua.

KPK menduga Lukas Enembe telah menerima pemberian lain sebagai gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya hingga jumlahnya miliaran rupiah. Saat ini, KPK sedang mengembangkan lebih lanjut soal penerimaan gratifikasi itu.

“Tersangka RL diduga menyerahkan uang pada tersangka LE dengan jumlah sekitar Rp1 miliar,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat membacakan konstruksi perkara yang menjerat keduanya sebagai tersangka dalam jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis.

Alex menjelaskan bahwa pada 2016, tersangka RL mendirikan PT TBP yang bergerak di bidang konstruksi. RL menjabat direktur sekaligus pemegang saham di perusahaan tersebut. “Untuk proyek konstruksi, perusahaan tersangka RL diduga sama sekali tidak memiliki pengalaman karena sebelumnya adalah perusahaan yang bergerak di bidang farmasi,” ungkap Alex.

Selanjutnya mulai 2019-2021, tersangka RL mengikuti berbagai proyek pengadaan infrastruktur di Pemprov Papua yang saat itu jabatan Gubernur Papua dijabat oleh tersangka LE.

Baca Juga :  Pemprov Papua Telah Menetapkan PPID

“Untuk bisa mendapatkan berbagai proyek tersebut, tersangka RL diduga melakukan komunikasi, pertemuan hingga memberikan sejumlah uang sebelum proses pelelangan dilaksanakan sehingga harapannya bisa dimenangkan,” kata Alex.

Adapun pihak-pihak yang ditemui tersangka RL, di antaranya tersangka LE dan beberapa pejabat di Pemprov Papua.

“Diduga kesepakatan yang disanggupi tersangka RL untuk diberikan yang kemudian diterima tersangka LE dan beberapa pejabat di Pemprov Papua, yaitu adanya pembagian persentase ‘fee’ proyek hingga mencapai 14 persen dari nilai kontrak setelah dikurangi nilai PPh dan PPN,” kata dia.

KPK membeberkan paket proyek yang didapatkan oleh tersangka RL, yakni proyek “multiyears” peningkatan jalan Entrop-Hamadi dengan nilai proyek Rp14,8 miliar, proyek “multiyears” rehab sarana dan prasarana penunjang PAUD Integrasi dengan nilai proyek Rp13,3 miliar, dan proyek “multiyears” penataan lingkungan “venue” menembak “outdoor” AURI dengan nilai proyek Rp12,9 miliar.

Tersangka LE sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.  (antara)

Kemarin, KPK Umumkan Lukas Enembe bersama Rijatono Lakka (RL) sebagai Tersangka

Jakarta-  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan dapat mengizinkan tersangka Gubernur Papua Lukas Enembe berobat di Singapura dengan catatan terlebih dahulu berstatus tahanan KPK.

“Betul, yang bersangkutan menyampaikan lewat pengacaranya untuk melakukan permohonan berobat ke Singapura. Dalam kesempatan ini, saya ingin menyampaikan bahwa yang bersangkutan bisa berobat di Singapura dengan didampingi petugas KPK dan yang bersangkutan tentu statusnya harus menjadi tahanan KPK dulu baru bisa berobat ke Singapura,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis.

Ia mengungkapkan bahwa sebenarnya KPK sudah menawarkan kepada Lukas Enembe untuk berobat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta.

“Kami akan jemput kalau yang bersangkutan bersedia untuk berobat di Jakarta. Kalau nanti rumah sakit di Jakarta menyatakan tidak sanggup mengobati penyakit yang bersangkutan, kami akan memfasilitasi untuk berobat sesuai dengan keinginan yang bersangkutan berobat di Singapura tetapi sekali lagi harus sudah menjadi tahanan KPK. Kalau yang bersangkutan membutuhkan perawatan yang harus rawat inap tentu nanti kami akan bantarkan, kan seperti itu,” kata dia.

Baca Juga :  Situasi Dogiyai Berangsur Kondusif

Sebelumnya, tim kuasa hukum Lukas Enembe pada Senin (28/11) mengirimkan surat ke KPK terkait permintaan kliennya agar diizinkan berobat ke Singapura lantaran kondisi kesehatannya semakin memburuk.

Sementara itu pada Kamis (5/1) kemarin, KPK mengumumkan Lukas Enembe bersama Direktur PT Tabi Bangun Papua (TBP) Rijatono Lakka (RL) sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait proyek pembangunan infrastruktur di Provinsi Papua.

KPK menduga Lukas Enembe telah menerima pemberian lain sebagai gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya hingga jumlahnya miliaran rupiah. Saat ini, KPK sedang mengembangkan lebih lanjut soal penerimaan gratifikasi itu.

“Tersangka RL diduga menyerahkan uang pada tersangka LE dengan jumlah sekitar Rp1 miliar,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat membacakan konstruksi perkara yang menjerat keduanya sebagai tersangka dalam jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis.

Alex menjelaskan bahwa pada 2016, tersangka RL mendirikan PT TBP yang bergerak di bidang konstruksi. RL menjabat direktur sekaligus pemegang saham di perusahaan tersebut. “Untuk proyek konstruksi, perusahaan tersangka RL diduga sama sekali tidak memiliki pengalaman karena sebelumnya adalah perusahaan yang bergerak di bidang farmasi,” ungkap Alex.

Selanjutnya mulai 2019-2021, tersangka RL mengikuti berbagai proyek pengadaan infrastruktur di Pemprov Papua yang saat itu jabatan Gubernur Papua dijabat oleh tersangka LE.

Baca Juga :  Perlu Banyak yang Dipersiapkan untuk Sukseskan Pemilu

“Untuk bisa mendapatkan berbagai proyek tersebut, tersangka RL diduga melakukan komunikasi, pertemuan hingga memberikan sejumlah uang sebelum proses pelelangan dilaksanakan sehingga harapannya bisa dimenangkan,” kata Alex.

Adapun pihak-pihak yang ditemui tersangka RL, di antaranya tersangka LE dan beberapa pejabat di Pemprov Papua.

“Diduga kesepakatan yang disanggupi tersangka RL untuk diberikan yang kemudian diterima tersangka LE dan beberapa pejabat di Pemprov Papua, yaitu adanya pembagian persentase ‘fee’ proyek hingga mencapai 14 persen dari nilai kontrak setelah dikurangi nilai PPh dan PPN,” kata dia.

KPK membeberkan paket proyek yang didapatkan oleh tersangka RL, yakni proyek “multiyears” peningkatan jalan Entrop-Hamadi dengan nilai proyek Rp14,8 miliar, proyek “multiyears” rehab sarana dan prasarana penunjang PAUD Integrasi dengan nilai proyek Rp13,3 miliar, dan proyek “multiyears” penataan lingkungan “venue” menembak “outdoor” AURI dengan nilai proyek Rp12,9 miliar.

Tersangka LE sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.  (antara)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya