Friday, November 22, 2024
31.7 C
Jayapura

Siaga Tempur Berpotensi Aktivitas Pendidikan Tidak Berjalan Baik

JAYAPURA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebut, status siaga tempur di Papua yang disampaikan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono berpotensi pada aktivitas pendidikan yang tidak akan berjalan baik di bumi cenderawasih.

Kepala Komnas HAM Papua Frits Ramandey menyebut, ancaman proses belajar mengajar terutama di wilayah wilayah rawan konflik yang sekarang statusnya diperjelas dari rawan konflik menjadi status siaga tempur seperti Kabupaten Nduga, Lanny Jaya, Intan Jaya dan Puncak.

“Daerah daerah yang menjadi status siaga tempur berpotensi  pendidikannya tidak berjalan dengan baik. Musabab, anak anak akan merasa ketakutan sehingga dia akan ikut orang  tuanya untuk bersembunyi ke hutan dan lainnya,” terang Frits kepada Cenderawasih Pos, Minggu (30/4).

Selain itu kata Frits, faktor lainnya  yang menyebabkan pendidikan di Papua tidak berjalan baik yakni fasilitas sekolah yang dibakar, guru guru diancam dan peristiwa peristiwa lainnya.

“Hal ini sangat disayangkan, Papua yang sebelumnya statusnya Operasi Militer pendidikan di beberapa daerah tidak berjalan. Jangankan daerah yang rawan konflik, daerah yang masih  normal saja itu juga mengalami hambatan soal fasilitas tenaga pendidik,” tuturnya.

Baca Juga :  Pemprov Papua Kelola 11 Venue PON XX

Sehingga itu, Frits memberikan peringatan. Dalam konteks HAM bahwa pendidikan adalah hak asasi dan negara sebagai penyelenggara wajib melakukan seluruh daya dan upaya untuk  proses pendidikan tetap berjalan.

“Masyarakat termasuk kelompok sipil bersenjata jangan sesekali merusak fasilitas pendidikan. Apalagi sampai memberi ancaman kepada para guru, karena hak yang paling  mendasar dari hak atas pendidikan adalah manusia membutuhkan pengetahuan untuk kelangsungan hidupnya,” tegasnya.

Sebagai individu dan sebagai masyarakat, dia membutuhkan pengetahuan untuk berpartisipasi dalam mengisi pembangunan.

Menurut Frits, Siaga Tempur yang disampaikan Panglima sebagai bentuk negara hadir untuk memberikan rasa aman. Terutama di daerah daerah rawan konflik, tetapi dengan pernyataan Panglima dimana menaikan status di Papua sebagai daerah siaga tempur berpotensi orang menjadi trauma. Terutama di daerah yang pernah terjadi operasi serupa sebelumnya.

“Pernyataan Panglima jangan disalah terjemahkan oleh anggota di lapangan, sehingga tidak melakukan operasi yang berlebihan yang mengakibatkan pelayanan publik, kesehatan pndidikan terabaikan,” tegasnya.

Sementara itu, Pendiri Yayasan Hano Wene Indonesia, Neas Wanimbo menyebut, konflik bersenjata disertai dengan teror yang tidak berkesudahan di Papua bisa berimbas pada sekolah sekolah yang ada di pedalaman.

Baca Juga :  Mampu Membangkitkan Rasa Empati kepada Sesama

Administrasi pemerintahan yang tidak berjalan normal bisa berdampak pada dunia pendidikan. Pun, guru guru kontrak yang berasal dari luar Papua maupun dari Papua sendiri akan dibayangi rasa ketakutan.

“Meski masyarakat setempat sudah menjamin keselamatan kepada para guru, namun secara manusiawi. Guru pasti meras takut yang mengakibatkan mereka tidak datang mengajar akibat konflik di daerah tersebut, dan itu bisa berdampak ke pendidikan. Proses belajar mengajar tidak berjalan dan tidak ada aktivitas sekolah,” terangnya.

Neas berharap konflik segera berakhir, agar pendidikan di Papua tetap berjalan dan anak anak tidak perlu mengunsi ke hutan akibat rasa takut.

“Dengan adanya konflik, anak anak akan mengalami trauma dan tidak mendapatkan akses pendidikan dengan baik. Ini berpotensi besar untuk mereka melakukan hal hal negatif,” katamya.

Neas menyerukan pihak terkait untuk menyudahi konflik demi generasi muda Papua, jangan mengorbankan anak anak Papua yang tidak tahu menahu persoalan. (fia/wen)

JAYAPURA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebut, status siaga tempur di Papua yang disampaikan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono berpotensi pada aktivitas pendidikan yang tidak akan berjalan baik di bumi cenderawasih.

Kepala Komnas HAM Papua Frits Ramandey menyebut, ancaman proses belajar mengajar terutama di wilayah wilayah rawan konflik yang sekarang statusnya diperjelas dari rawan konflik menjadi status siaga tempur seperti Kabupaten Nduga, Lanny Jaya, Intan Jaya dan Puncak.

“Daerah daerah yang menjadi status siaga tempur berpotensi  pendidikannya tidak berjalan dengan baik. Musabab, anak anak akan merasa ketakutan sehingga dia akan ikut orang  tuanya untuk bersembunyi ke hutan dan lainnya,” terang Frits kepada Cenderawasih Pos, Minggu (30/4).

Selain itu kata Frits, faktor lainnya  yang menyebabkan pendidikan di Papua tidak berjalan baik yakni fasilitas sekolah yang dibakar, guru guru diancam dan peristiwa peristiwa lainnya.

“Hal ini sangat disayangkan, Papua yang sebelumnya statusnya Operasi Militer pendidikan di beberapa daerah tidak berjalan. Jangankan daerah yang rawan konflik, daerah yang masih  normal saja itu juga mengalami hambatan soal fasilitas tenaga pendidik,” tuturnya.

Baca Juga :  Delapan Kasus KKB Dilimpahkan ke JPU

Sehingga itu, Frits memberikan peringatan. Dalam konteks HAM bahwa pendidikan adalah hak asasi dan negara sebagai penyelenggara wajib melakukan seluruh daya dan upaya untuk  proses pendidikan tetap berjalan.

“Masyarakat termasuk kelompok sipil bersenjata jangan sesekali merusak fasilitas pendidikan. Apalagi sampai memberi ancaman kepada para guru, karena hak yang paling  mendasar dari hak atas pendidikan adalah manusia membutuhkan pengetahuan untuk kelangsungan hidupnya,” tegasnya.

Sebagai individu dan sebagai masyarakat, dia membutuhkan pengetahuan untuk berpartisipasi dalam mengisi pembangunan.

Menurut Frits, Siaga Tempur yang disampaikan Panglima sebagai bentuk negara hadir untuk memberikan rasa aman. Terutama di daerah daerah rawan konflik, tetapi dengan pernyataan Panglima dimana menaikan status di Papua sebagai daerah siaga tempur berpotensi orang menjadi trauma. Terutama di daerah yang pernah terjadi operasi serupa sebelumnya.

“Pernyataan Panglima jangan disalah terjemahkan oleh anggota di lapangan, sehingga tidak melakukan operasi yang berlebihan yang mengakibatkan pelayanan publik, kesehatan pndidikan terabaikan,” tegasnya.

Sementara itu, Pendiri Yayasan Hano Wene Indonesia, Neas Wanimbo menyebut, konflik bersenjata disertai dengan teror yang tidak berkesudahan di Papua bisa berimbas pada sekolah sekolah yang ada di pedalaman.

Baca Juga :  Pelaku Pembakaran Rumah KPU Teridentifikasi

Administrasi pemerintahan yang tidak berjalan normal bisa berdampak pada dunia pendidikan. Pun, guru guru kontrak yang berasal dari luar Papua maupun dari Papua sendiri akan dibayangi rasa ketakutan.

“Meski masyarakat setempat sudah menjamin keselamatan kepada para guru, namun secara manusiawi. Guru pasti meras takut yang mengakibatkan mereka tidak datang mengajar akibat konflik di daerah tersebut, dan itu bisa berdampak ke pendidikan. Proses belajar mengajar tidak berjalan dan tidak ada aktivitas sekolah,” terangnya.

Neas berharap konflik segera berakhir, agar pendidikan di Papua tetap berjalan dan anak anak tidak perlu mengunsi ke hutan akibat rasa takut.

“Dengan adanya konflik, anak anak akan mengalami trauma dan tidak mendapatkan akses pendidikan dengan baik. Ini berpotensi besar untuk mereka melakukan hal hal negatif,” katamya.

Neas menyerukan pihak terkait untuk menyudahi konflik demi generasi muda Papua, jangan mengorbankan anak anak Papua yang tidak tahu menahu persoalan. (fia/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya