Masalah Pendidikan Anak di Daerah Konflik Harus Dicarikan Solusi
JAYAPURA-Di wilayah konflik bersenjata, fasilitas umum mau pun fasilitas sosial seperti sekolah kerap menjadi sasaran dari orang orang yang tidak bertanggung jawab. Seperti 14 Juli kemarin, bangunan SMPN Okbab dibakar diduga oleh kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).
Di wilayah Pegunungan Bintang, aksi pembakaran sekolah sering terjadi. Bahkan, Polisi mencatat 12 aksi pembakaran bangunan sekolah di wilayah pegunungan sejak tahun 2023 hingga 2024.
Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR), Thomas Ch. Syufi, mengatakan aksi pembakaran gedung sekolah di Pegunungan Bintang oleh TPN/OPM jdi bentuk kegagalan Presiden Joko Widodo membangun Papua. Pasalnya jika dilihat dari jumlah Jokowi ke Papua, 10 tahun masa jabatannya lebih belasan kali datang di tanah Papua.
Bahkan di akhir masa jabatannya kali ini dia ingin berpamitan langsung dengan masyarakat Papua. Tapi kenyataan yang terjadi meski perhatiannya untuk Papua cukup serius, tapi tidak kemudian meredam konflik di tanah Papua.
Pembakaran gedung sekolah tersebut kata Thomas bentuk kritiksan pedis, bahkan sama seperti menampar muka Joko Widodo. Bagaimana tidak semua rakyat Indonesia mengetahui bahwa perayaan Hari Anak Nasional (HAN) dipusatkan di Papua, dan akan dihadiri langsung oleh Presiden dan Istrinya. Tapi sayang dibalik kemeriahan itu justru ada tangisan haru dari anak anak plosok negeri di tanah Papua. “Ini seperti Kado terburuk Presiden Joko Widodo untuk Hari Anak Nasional,” kata Thomas,” Rabu (17/7).
Menurut Thoms Syufi, menyelesaikan masalah Papua tidak habis dengan kunjungan yang intens, karena terbukti meski Jokowi sangat masif datang ke Papua tapi justru tidak meredam gejolak. Bahkan yang terjadi Papua saat ini sangat memanas, Papua bergejolak, dan terjadi resistensi yang cukup besar. Kondisi ini kata pengacara Muda asal Papua itu harus dilihat secara kompherensif atau secara menyeluruh.
Pemerintah pusat tidak hanya melihat masalah Papua dari segi ekonomi, sosial dan lainnya, tapi mungkin harus dilihat dari hal mendasar yang lain seperti sejarah penyatuan Papua ke NKRI. Masalah ini masih menjadi perdebatan masyarakat. Bahkan para elit yang tidak pernah diselesaikan oleh pemerintah pusat. Menurut Thomas jika pemerintah pusat berani membuka ruang dialog terhadap masalah sejarah Papua ini, maka yakin Papua kedepannya pasti aman.
“Kenapa harus takut untuk dialog, masyarakat hanya butuh itu,” tuturnya.
Masalah lain yang menyebabkan Papua terus bergelolak, pemerintah pusat tidak mampu menyelesaikan masalah pelanggaran HAM di tanah Papua. Pelanggaran HAM inipun terjadi karena sistem pemerintahan Jokowi yang selalu mengandalkan Militerisasi di Papua. Sehingga yang terjadi penembakan dimana-mana.
Bahkan naasnya yang menjadi korban masyarakat sipil yang tidak tau akan perosalan yang terjadi. Ironisnya pelaku pelanggaran HAM ini tidak pernah diproses secara adil. Karena yang terjasi mereka selalu mendapatkan impunitas ata hak istimewa, dilindungi instusi negara dan lain lainnya.
“Jadi prinsipnya konflik Papua akan rendah jika pemerintah berani membuka ruang dialog, apalagi dialog ini surat suara untuk membuka perdamaian di tanah Palua,” ujarnya.
Lebih lanjut proses pembangunan yang cukup masif di Papua ini, dibangun atas kepentingan pribadi pemerintah pusat, pasalnya infrastruktur yang megah di Papua ini sebagian besar dinikmati oleh orang luar. Rakyat Papua justru hanya jadi penonton.
“Kita lihat gedung gedung elit, di Papua ini dinikmati oleh orang luar, orang Papua mana, jutru jadi penonton bagi orang luar,” tuturnya.
Kata dia membangun Papua hanya dengan pendekatan budaya dan hak. Orang Papua kata dia tidak membutuhkan pembangunan infrastruktur, tapi hak dan budaya dihormati. “Tapi yang terjadi investasi masuk, merenggut tanah ulayat, akhirnya orang Papua tersingkirkan, sementara orang dari luar justru hidup sejahtera,” katanya