Ia meminta para kepala daerah di Papua agar fokus untuk melayani masyarakat ketimbang sibuk dengan pemekaran. Dikatakan hal yang perlu dipahami oleh para kepala daerah di Papua bahwa, pemekaran tanpa diperjuangakan pun akan dimekarkan, karena hal tersebut adalah kepentingan negara dengan banyak pertimbangan.
Penyerahan itu dilakukan langsung oleh Tokoh Adat, Yosef Korwa, SH kepada salah satu anggota Komisi II DPR RI yang juga adalah anggota Fraksi PDI Perjuangan di DPR RI, Kamarudin Watubun, SH,MH, di Paray, Sabtu (12/3).
Dari pantauan Cenderawasih Pos, aksi demo damai ini diawali dari kantor Sekretariat PPS di Jalan Ahmad Yani. Masyarakat adat Animha dengan tertib melakukan long march menuju gedung DPRD Merauke. Dalam aksinya, massa terlihat membawa dua spanduk yang bertuliskan “Masyarakat Adat Animha Mendukung Sepenuhnya Pemekaran Provinsi Papua Selatan”.
Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, SE., M.Si., selaku ketua Forum Kepala Daerah se-Tanah Tabi menegaskan, pemekaran daerah otonomi baru merupakan satu kebijakan pemerintah sebagai upaya untuk menjawab persoalan dasar Papua, mulai dari keterlambatan dalam pembangunan, ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Anggota DPRD Jayawijaya, Yustinus Asso, S.Sos., menyatakan setelah mendapat aspirasi dari masyarakat Lapago yang melakukan aksi demo, anggota dewan yang menerima massa telah menyusun dan sudah menyurati Kementerian Dalam Negeri. Sebab aksi yang dilakukan kemarin adalah jeritan dan harapan rakyat.
“Mulai Senin depan, kami mulai masuk dalam masa sidang ketiga periode 2022 ini. Kita akan membahas, mudah-mudahan selesai di bulan Mei dan Juni. Dimana, sudah ada undang-undang yang menjadi dasar pembentukan 3 provinsi di sini (Papua, red) termasuk Papua Selatan,” jelas Doli Tandjung kepada awak media di Merauke, Kamis (10/3).
Sebagai Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah Papua, Yan melihat aksi para mahasiswa sangat wajar dan berdasar hukum. Karena diatur dalam amanat pasal 76 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Dari pertemuan ini Yunus menyampaikan bahwa sebagian besar masyarakat di Papua terus menyuarakan penolakan DOB dan pemerintah pusat harus melihat persoalan ini secara keseluruhan. Yunus menyatakan jangan mengambil kesimpulan hanya karena bertemu satu kelompok atau satu dua tokoh karena jika terjadi konflik maka yang akan menghadapi adalah pemerintah di Papua termasuk DPRP. Bukan dihadapi pemerintah pusat.
“Yang disampaikan para pendemo tadi adalah soal penolakan DOB dan meminta DPR segera membuka dialog terbuka dan mengundang elemen masyarakat termasuk mahasiswa. Ini harus dilakukan secara terbuka kemudian ditindaklanjuti ke Jakarta,” kata Jhon usai menemui pendemo, Selasa (8/3).
Sesuai dengan jadwal Mahkamah Konstitusi untuk menggelar sidang lanjutan keempat terkait perkara Nomor 47/ PU - XIX/2021 tentang pengujian materiil undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua, pemerintah provinsi Papua melalu saksi fakta mengakui bahwa perubahan undang-undang nomor 2 tahun 2021 dinilai tidak mengakomodir aspirasi masyarakat Papua dan tidak melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP), DPR Provinsi Papua dan Gubernur Provinsi Papua.