Tuesday, September 30, 2025
22.4 C
Jayapura

Ahli Beberkan Sengkarutnya Partisipasi Pemilih dalam Pilgub

Sebab, Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 304/PHPU.GUB-XXIII/2025 mengenai PHPU Gubernur Papua memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua selaku Termohon melaksanakan PSU dengan tetap menggunakan DPT, Daftar Pemilih Pindahan, dan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) yang digunakan dalam pemungutan serentak pada 27 November 2024.

“Artinya kalau ada perubahan DPT, perubahan Daftar Pemilih Pindahan, dan Daftar Pemilih Tambahan itu berarti bahwa penyelenggara tidak hormat dan tidak patuh pada putusan MK apapun alasannya, misalnya alasan mau mengakomodasi, itu tidak bisa karena ini putusan MK,” ujar Aswanto di ruang sidang MK, Jakarta.

Oleh karenanya, tindakan penyelenggara yang memperbolehkan pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya di luar putusan MK adalah tindakan yang bertentangan dengan putusan MK yang berkonsekuensi dapat dibatalkan oleh mahkamah.

Baca Juga :  LLDIKTI Papua Dorong Pembentukan Lembaga Penyiaran di Lingkungan Kampus

Selain itu, tindakan tersebut juga potensial terjadi tindak pidana pemilihan dengan membiarkan orang yang tidak punya hak pilih menggunakan hak pilihnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 178C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pemilihan Kepala Daerah/Pilkada).

Selain itu pemohon juga menghadirkan Mantan Ketua KPU Republik Indonesia Ilham Saputra. Ilham menuturkan anomali partisipasi pemilih yang mencapai bahkan melebihi 100 persen di sejumlah TPS mengindikasikan adanya persoalan mendasar, seperti pencatatan ganda, masuknya pemilih tidak berhak, atau manipulasi angka.

Menurut dia, secara hukum maupun logika, hal tersebut mustahil terjadi apabila pencatatan benar-benar berbasis daftar hadir. Dia mengatakan penggunaan C. Pemberitahuan sebagai dasar koreksi jelas bertentangan dengan Pasal 58 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2024 sehingga cacat hukum dan tidak memiliki legitimasi administrasi karena C.

Baca Juga :  HUT ke-14 Kabupaten Mamteng, Momen Berkesan Bagi 277 CPNS 

Seharusnya koreksi dilakukan termohon menggunakan D hasil. Daftar hadir disetiap TPS yang kemudian dituangkan ke dalam formulir C hasil. Kemudian hasil-KWK TPS lalu dihimpun dalam D Hasil-KWK Kecamatan, selanjutnya direkap dalam D Hasil-KWK Kabupaten/Kota sampai akhirnya terakumulasi dalam D Hasil-KWK Provinsi.

Sebab, Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 304/PHPU.GUB-XXIII/2025 mengenai PHPU Gubernur Papua memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua selaku Termohon melaksanakan PSU dengan tetap menggunakan DPT, Daftar Pemilih Pindahan, dan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) yang digunakan dalam pemungutan serentak pada 27 November 2024.

“Artinya kalau ada perubahan DPT, perubahan Daftar Pemilih Pindahan, dan Daftar Pemilih Tambahan itu berarti bahwa penyelenggara tidak hormat dan tidak patuh pada putusan MK apapun alasannya, misalnya alasan mau mengakomodasi, itu tidak bisa karena ini putusan MK,” ujar Aswanto di ruang sidang MK, Jakarta.

Oleh karenanya, tindakan penyelenggara yang memperbolehkan pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya di luar putusan MK adalah tindakan yang bertentangan dengan putusan MK yang berkonsekuensi dapat dibatalkan oleh mahkamah.

Baca Juga :  Pemprov Siap Tindaklanjuti Arahan Menteri PAN RB 

Selain itu, tindakan tersebut juga potensial terjadi tindak pidana pemilihan dengan membiarkan orang yang tidak punya hak pilih menggunakan hak pilihnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 178C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pemilihan Kepala Daerah/Pilkada).

Selain itu pemohon juga menghadirkan Mantan Ketua KPU Republik Indonesia Ilham Saputra. Ilham menuturkan anomali partisipasi pemilih yang mencapai bahkan melebihi 100 persen di sejumlah TPS mengindikasikan adanya persoalan mendasar, seperti pencatatan ganda, masuknya pemilih tidak berhak, atau manipulasi angka.

Menurut dia, secara hukum maupun logika, hal tersebut mustahil terjadi apabila pencatatan benar-benar berbasis daftar hadir. Dia mengatakan penggunaan C. Pemberitahuan sebagai dasar koreksi jelas bertentangan dengan Pasal 58 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2024 sehingga cacat hukum dan tidak memiliki legitimasi administrasi karena C.

Baca Juga :  Bio Sayangkan Tak Ada Tim dari Tanah Papua yang Lolos 16 Besar

Seharusnya koreksi dilakukan termohon menggunakan D hasil. Daftar hadir disetiap TPS yang kemudian dituangkan ke dalam formulir C hasil. Kemudian hasil-KWK TPS lalu dihimpun dalam D Hasil-KWK Kecamatan, selanjutnya direkap dalam D Hasil-KWK Kabupaten/Kota sampai akhirnya terakumulasi dalam D Hasil-KWK Provinsi.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya