JAKARTA-Lumbung pangan di Distrik Wanam, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, telah berhasil melakukan panen perdana pada Jumat (16/5) lalu. Lahan ini menghasilkan 2,5-2,8 ton padi per hektare.
Pengamat ekonomi dan kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Freesca Syafitri menilai, program cetak satu juta hektare sawah di Papua Selatan sebagai proyek nasional yang digagas Presiden Prabowo Subianto itu telah membuka lembaran baru. Program ini layak dilanjutkan.
“Tidak hanya dalam ketahanan pangan nasional, tetapi juga dalam politik pembangunan nasional yang lebih adil secara spasial dan sosial,” kata Freesca saat dihubungi, Jumat (23/5).
Keberhasilan panen perdana itu juga dianggap tak lepas dari peran besar pengusaha asal Kalimantan Selatan, Andy Syamsuddin Arsyad atau biasa disapa Haji Isam. Dia sejak awal berkontribusi mendatangkan 2.000 unit ekskavator dari Tiongkok untuk merealisasikan program tersebut.
Menurut Freesca, keberhasilan panen perdana tersebut mematahkan pesimisme sebagian kalangan bahwa Papua Selatan tidak dapat dijadikan lumbung pangan. Selama bertahun-tahun, determinisme ekologis telah membentuk persepsi pembangunan bahwa hanya wilayah-wilayah tertentu yang layak digarap untuk sektor pangan.
“Dengan pemilihan varietas adaptif seperti Inpara dan metode tanam sederhana, hasilnya mampu menandingi kawasan sentra pertanian konvensional. Hal ini menjadi kritik penting terhadap pendekatan pembangunan yang terlalu bergantung pada input modern dan sering mengabaikan potensi lokal,” jelas Freesca.
Lebih lanjut, Freesca menilai, keberhasilan panen ini tidak hanya sebatas keberhasilan teknis, juga menandai transformasi sosial yang fundamental. Masyarakat yang sebelumnya menggantungkan hidup pada pola berburu kini mulai dikenalkan pada pertanian.
“Hal ini menunjukan bahwa pembangunan sejati bukan hanya soal investasi fisik, melainkan juga pembentukan agricultural citizenship, warga negara yang sadar akan peran mereka dalam sistem pangan,” imbuhnya.
Wakil Direktur German Centre itu menyoroti dalam konteks geopolitik pangan global yang makin rentan. Indonesia membutuhkan model pembangunan pangan yang tidak semata mengejar surplus produksi, tetapi juga memastikan distribusi geografis dan sosial yang adil.
“Proyek di Papua Selatan berpotensi menjadi preseden bagi paradigma baru, yakni bahwa pembangunan pangan tidak harus bersifat eksploitatif, tetapi regenerative baik terhadap tanah maupun masyarakatnya,” ucap Freesca.
Ia menilai keberhasilan panen perdana di Wanam, menandai awal dari reorientasi geopolitik pangan nasional ke wilayah timur Indonesia. Selama ini, narasi ketahanan pangan terpusat di Pulau Jawa dan sebagian Sumatera, sementara kawasan timur hanya dianggap sebagai penyangga.
“Keberhasilan ini menunjukkan bahwa Papua tidak hanya sebagai objek pembangunan, tetapi mampu menjadi subjek kunci dalam arsitektur baru ketahanan pangan berbasis kawasan,” tandasnya. (*/Jawapos)