Friday, April 19, 2024
31.7 C
Jayapura

Karya Masuk Galeri Nasional dan Diyakini Bisa Untuk Cat Batik

Syafiuddin, S.Pd., M.Sn menunjukkan dua hak patennya terkait bahan lukisan dari ekstrak biji pinang, sirih dan kapur serta lukisan serbuk arang yang diakui oleh Kemenkumham Republik Indonesia. (Gamel Cepos)

Cerita Pelukis Syaifuddin yang Mematenkan Hak Cipta Biji Pinang dan Arang Kayu Sebagai Bahan Cat 

Selama ini orang kerap mengeluh dengan  ludah pinang. Katanya kotor, jorok dan mengotori dinding serta sulit sekali dihapus. Yang ada adalah omelan dan protes jika melihat ludah pinang berhamburan. Tetapi tidak ditangan Syafiuddin. Ia justru menjadikan bahan cat di kanvasnya bersama arang. Iapun berhasil mematenkan menjadi hak cipta. 

Laporan: Abdel Gamel Naser 

Ditangan seorang pekerja seni memang apa saja bisa menjadi sebuah karya yang mengagumkan. Jika di luar sana banyak yang memanfaatkan sampah plastic sekali pakai menjadi banyak kerajinan tangan. Ada juga ban – ban dan toples bekas yang dijadikan tempat duduk maupun pot bunga maka di Jayapura ada sosok Syafiuddin yang berhasil mengubah biji pinang dan arang menjadi bahan cat lukisnya. Ia bahkan telah mencatatkan hasil karyanya menggunakan bahan cat dari biji pinang untuk sebuah lukisan yang diberi judul Anak kandung Rahim Sagu di galeri nasional pekan kemarin. 

 Lukisan dari cat biji yang bercampur sedikit arang ini dikuratori oleh David dan Teguh Margono dan dipajang bersama pelukis nasional lainnya. Syafiuddin sendiri memulai bukan tanpa cerita yang melatari tetapi ada hal – hal yang membuat ia tertarik menggarap biji pinang menjadi bahan cat untuk melukis.  Awalnya seperti yang dijelaskan di atas bahwa ludah pinang sering sekali dikeluhkan oleh warga karena mengotori lantai, dinding bahkan jika  terkena baju bisa dipastikan tidak akan hilang. Tak hanya itu, biji pinang jika tak dikunyah bersama sirih dan kapur maka banyak yang membuang dan berserakan dimana – mana.

 Nah dari cerita dimana ludah pinang memiliki warna yang sulit hilang iapun menganggap bahwa sejatinya biji pinang jika diekstrak dengan kapur maka akan menghasilkan warna dengan kekuatan yang baik alias sulit dihapus. Iapun mencoba meriset sendiri dengan mengeringkan kemudian ditumbuk dan dicampur dengan kapur. Hasilnya ternyata tak mengecewakan. Ia bisa mendapatkan hampir 30 turunan warna yang bisa dipakai untuk melukis. Meski hanya memiliki warna dominan merah kecoklatan hingga  coklat abu – abu namun warna ini  diperoleh dari bahan alami. Pria yang juga menjabat sebagai dosen Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) di Tanah Papua ini berpendapat bahwa warna alami sejatinya memiliki nilai jual yang lebih mahal dibanding warna kimia.

 “Jadi ide untuk meriset ini sebenarnya sudah lama sekali. Ya dari cerita – cerita keluhan masyarakat soal biji pinang yang kalau kena sulit sekali hilang. Awalnya saya meminta teman – teman mahasiswa asal Papua untuk melakukan penelitian ini tapi ternyata tidak jalan sehingga saya pikir sayang kalau tidak diteruskan. Disitulah tahun 2019 saya coba menggarap pelan – pelan,” cerita Syafiuddin saat ditemui di Belantara Bunga, Ale –ale, Senin (15/11). Syafiuddin sendiri awalnya tidak bisa melukis namun sejak kuliah pada tahun 1994 di Universitas Negeri Makassar, ia akhirnya tertarik untuk melukis hingga saat ini. Sebelum menjadi dosen ISBI tahun 2013, Syafiuddin lebih dulu mengajar di SMA dan SMK di Kabupaten Jayapura. 

Baca Juga :  Berikan Rasa Aman kepada Warga

 Ia menyampaikan bahwa soal ekstrak biji pinang ini di Papua sudah teruji, sama seperti di Sulawesi ada juga seniman yang mengecat menggunakan bahan darah hewan. Meski  kadang masih menggunakan cat biasa yang dijual di toko namun menurutnya menggunakan bahan dari alam jauh lebih penting disaat sekarang. Disaat negara – negara maju kembali ke sesuatu yang alami dan itu dikatakan mahal. “Mulai terpikirkan untuk menggarap pada 2019 sedangkan untuk berbahan arang sudah saya lakukan lebih dulu di tahun 2010. Itu saya  sudah melakukan ujicoba. Itu saat mengajar melukis di SMK Taja Lereh, SMK N 1 Sentani sebelum tahun 2013 bergabung dengan ISBI,” katanya. Ia teringat dimana ketika anak – anak muridnya di Taja menyampaikan bahwa mereka tidak memiliki spodil, kuas dan cat tapi dirinya memotivasi untuk tidak menyerah. 

 “Saya bilang kalian (murid) sebenarnya kaya asal mau mencoba jadi pakai saya sarankan menggunakan arang dan ketika itu tidak perlu pakai kanvas melainkan cukup pakai  kertas gambar saja dan hasilnya ternyata anak murid senang dan merasa lebih puas,” kenangnya. Syafiuddin mengatakan ekstrak biji pinang bercampur kapur akan menjadi formula cat yang keras dikarenakan kandungan kapur yang bisa mengikat enzim yang dilepas oleh biji pinang. Hanya dijelaskan bahwa dalam tradisi makan pinang terdapat 3 komposisi utama yakni buah pinang (Areca catechu L.), sirih (Piper Betle. L) dan kapur sirih (Kalsium hidroksida)

 Pinang yang dikunyah hanya dengan sirih tanpa kapur akan menghasilkan warna yang berbeda dengan pinang yang dikunyah dengan kapur tanpa sirih. Demikian pula pinang yang dikunyah dengan kulit akan menghasilkan warna yang berbeda dengan pinang yang hanya dikunyah pada bagian biji dalam. Perbedaan intensitas warna atas perlakuan ketiga komposisi bahan tersebut akan melahirkan perbedaan gradasi tingkat kemerahan (monochromatic) yang dihasilkan. Dan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan kemudian disimpulkan bahwa dalam kandungan buah pinang (Areca catechu L.) dapat dihasilkan kurang lebih dari 12 varian warna merah. 

Baca Juga :  Sisa Tiga Bulan, OPD Diminta Genjot Realisasi Fisik dan Anggaran

 Varian warna merah tersebut dihasilkan melalui berbagai perlakuan terhadap ke tiga bahan tersebut (pinang, sirih dan kapur). Perbedaan intensitas warna atas perlakuan ketiga komposisi bahan tersebut akan melahirkan perbedaan gradasi tingkat kemerahan (monochromatic). Dari hasil penelitiannya ini iapun memilih mendaftarkan ke Menkumham untuk mendapakan HAKI. “Saya coba teliti dan saya patenkan lewat HAKI. Prosesnya sangat mudah ternyata dan hanya menunggu sekitar 1 bulan dengan biaya yang juga murah,” bebernya. Disini ia meminta para seniman di Papua lainnya yang memiliki karya yang ingin dipatenkan sebaiknya segera dipatenkan. 

 “Untuk bahak lukis serbuk arang dicatat menjadi hak cipta pada 24 Maret 2021 sedangkan untuk lukisan dengan bahan ekstrak sirih, pinang dan kapur  diumumkan pada 25  Juni 2021.  Disini saya ingin sampaikan sampaikan bahwa bagi orang mungkin biji pinang ini hanya sampah dan tak berguna tapi sebenarnya bisa menghasilkan sebuah penelitian dan karya yang ramah lingkungan,” jelas Syafiuddin. Iapun mulai menyinggung soal bahan cat lain yang menurutnya belum sepenuhnya ramah lingkungan.

 Dari bahan baku cat yang telah tersedia dalam berbagai kemasan mengandung banyak zat kimia. Salah satuanya adalah zat pewarna yang sering digunakan seniman atau pekerja seni dalam berkarya. Namun hampir keseluruhan pewarna sintetis (olahan pabrik) yang beredar dan dipasarkan merupakan zat kimia berupa formaldehida (metanal/formalin), lead (timbal), solvent (pelarut), timah, kromium, asbestos, titanium, molybdenum. Zat-zat kimia tersebut hampir keseluruhan memiliki efek toksik (beracun). 

 “Jadi semisal cat akrilik maupun cat minyak lainnya mengandung banyak mercuri termasuk resin atau tiner akan mempengaruhi pernafasan. Jadi  ada 9 sampai 12 bahan berbahaya yang ada dalam cat industry sedangkan biji pinang tidak dibeli dan  ramah lingkungan. Hanya kelebihannya cat sintetis tentu jauh lebih terang dan ketersediaan warna lebih banyak,” akunya. Sedangkan dari penelitian serbuk arang kayu menjadi bahan cat disini Syafiuddi akhirnya paham bahwa jika bahan kayu mudah terbakar maka  kepekatan hitamnya dipastikan tidak terlalu kuat. Berbeda dengan kayu yang sulit dibakar biasanya carcoalnya lebih hitam dan lebih pekat. “Jadi seperti itu, jika kayunya sulit terbakar biasa kualitas arangnya juga bagus, lebih pekat,” paparya. 

 Iapun berpendapat bahwa bila biji pinang bisa diterapkan untuk lukisa maka sangat memungkinkan bahan ini satu saat dipakai untuk membatik di kain. “Dan ingat, di Jawa biasanya pembeli lebih menyukai warna alami dan itu lebih mahal dibanding warna pabrikan jadi saya pikir dengan ekstrak biji pinang ini nantinya bisa mejadi satu produk yang memiliki nilai jual lebih bagus,” tutupnya. (*/wen)

Syafiuddin, S.Pd., M.Sn menunjukkan dua hak patennya terkait bahan lukisan dari ekstrak biji pinang, sirih dan kapur serta lukisan serbuk arang yang diakui oleh Kemenkumham Republik Indonesia. (Gamel Cepos)

Cerita Pelukis Syaifuddin yang Mematenkan Hak Cipta Biji Pinang dan Arang Kayu Sebagai Bahan Cat 

Selama ini orang kerap mengeluh dengan  ludah pinang. Katanya kotor, jorok dan mengotori dinding serta sulit sekali dihapus. Yang ada adalah omelan dan protes jika melihat ludah pinang berhamburan. Tetapi tidak ditangan Syafiuddin. Ia justru menjadikan bahan cat di kanvasnya bersama arang. Iapun berhasil mematenkan menjadi hak cipta. 

Laporan: Abdel Gamel Naser 

Ditangan seorang pekerja seni memang apa saja bisa menjadi sebuah karya yang mengagumkan. Jika di luar sana banyak yang memanfaatkan sampah plastic sekali pakai menjadi banyak kerajinan tangan. Ada juga ban – ban dan toples bekas yang dijadikan tempat duduk maupun pot bunga maka di Jayapura ada sosok Syafiuddin yang berhasil mengubah biji pinang dan arang menjadi bahan cat lukisnya. Ia bahkan telah mencatatkan hasil karyanya menggunakan bahan cat dari biji pinang untuk sebuah lukisan yang diberi judul Anak kandung Rahim Sagu di galeri nasional pekan kemarin. 

 Lukisan dari cat biji yang bercampur sedikit arang ini dikuratori oleh David dan Teguh Margono dan dipajang bersama pelukis nasional lainnya. Syafiuddin sendiri memulai bukan tanpa cerita yang melatari tetapi ada hal – hal yang membuat ia tertarik menggarap biji pinang menjadi bahan cat untuk melukis.  Awalnya seperti yang dijelaskan di atas bahwa ludah pinang sering sekali dikeluhkan oleh warga karena mengotori lantai, dinding bahkan jika  terkena baju bisa dipastikan tidak akan hilang. Tak hanya itu, biji pinang jika tak dikunyah bersama sirih dan kapur maka banyak yang membuang dan berserakan dimana – mana.

 Nah dari cerita dimana ludah pinang memiliki warna yang sulit hilang iapun menganggap bahwa sejatinya biji pinang jika diekstrak dengan kapur maka akan menghasilkan warna dengan kekuatan yang baik alias sulit dihapus. Iapun mencoba meriset sendiri dengan mengeringkan kemudian ditumbuk dan dicampur dengan kapur. Hasilnya ternyata tak mengecewakan. Ia bisa mendapatkan hampir 30 turunan warna yang bisa dipakai untuk melukis. Meski hanya memiliki warna dominan merah kecoklatan hingga  coklat abu – abu namun warna ini  diperoleh dari bahan alami. Pria yang juga menjabat sebagai dosen Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) di Tanah Papua ini berpendapat bahwa warna alami sejatinya memiliki nilai jual yang lebih mahal dibanding warna kimia.

 “Jadi ide untuk meriset ini sebenarnya sudah lama sekali. Ya dari cerita – cerita keluhan masyarakat soal biji pinang yang kalau kena sulit sekali hilang. Awalnya saya meminta teman – teman mahasiswa asal Papua untuk melakukan penelitian ini tapi ternyata tidak jalan sehingga saya pikir sayang kalau tidak diteruskan. Disitulah tahun 2019 saya coba menggarap pelan – pelan,” cerita Syafiuddin saat ditemui di Belantara Bunga, Ale –ale, Senin (15/11). Syafiuddin sendiri awalnya tidak bisa melukis namun sejak kuliah pada tahun 1994 di Universitas Negeri Makassar, ia akhirnya tertarik untuk melukis hingga saat ini. Sebelum menjadi dosen ISBI tahun 2013, Syafiuddin lebih dulu mengajar di SMA dan SMK di Kabupaten Jayapura. 

Baca Juga :  Waspadai Titik Kemacetan dan Patroli Peredaran Miras

 Ia menyampaikan bahwa soal ekstrak biji pinang ini di Papua sudah teruji, sama seperti di Sulawesi ada juga seniman yang mengecat menggunakan bahan darah hewan. Meski  kadang masih menggunakan cat biasa yang dijual di toko namun menurutnya menggunakan bahan dari alam jauh lebih penting disaat sekarang. Disaat negara – negara maju kembali ke sesuatu yang alami dan itu dikatakan mahal. “Mulai terpikirkan untuk menggarap pada 2019 sedangkan untuk berbahan arang sudah saya lakukan lebih dulu di tahun 2010. Itu saya  sudah melakukan ujicoba. Itu saat mengajar melukis di SMK Taja Lereh, SMK N 1 Sentani sebelum tahun 2013 bergabung dengan ISBI,” katanya. Ia teringat dimana ketika anak – anak muridnya di Taja menyampaikan bahwa mereka tidak memiliki spodil, kuas dan cat tapi dirinya memotivasi untuk tidak menyerah. 

 “Saya bilang kalian (murid) sebenarnya kaya asal mau mencoba jadi pakai saya sarankan menggunakan arang dan ketika itu tidak perlu pakai kanvas melainkan cukup pakai  kertas gambar saja dan hasilnya ternyata anak murid senang dan merasa lebih puas,” kenangnya. Syafiuddin mengatakan ekstrak biji pinang bercampur kapur akan menjadi formula cat yang keras dikarenakan kandungan kapur yang bisa mengikat enzim yang dilepas oleh biji pinang. Hanya dijelaskan bahwa dalam tradisi makan pinang terdapat 3 komposisi utama yakni buah pinang (Areca catechu L.), sirih (Piper Betle. L) dan kapur sirih (Kalsium hidroksida)

 Pinang yang dikunyah hanya dengan sirih tanpa kapur akan menghasilkan warna yang berbeda dengan pinang yang dikunyah dengan kapur tanpa sirih. Demikian pula pinang yang dikunyah dengan kulit akan menghasilkan warna yang berbeda dengan pinang yang hanya dikunyah pada bagian biji dalam. Perbedaan intensitas warna atas perlakuan ketiga komposisi bahan tersebut akan melahirkan perbedaan gradasi tingkat kemerahan (monochromatic) yang dihasilkan. Dan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan kemudian disimpulkan bahwa dalam kandungan buah pinang (Areca catechu L.) dapat dihasilkan kurang lebih dari 12 varian warna merah. 

Baca Juga :  Sisa Tiga Bulan, OPD Diminta Genjot Realisasi Fisik dan Anggaran

 Varian warna merah tersebut dihasilkan melalui berbagai perlakuan terhadap ke tiga bahan tersebut (pinang, sirih dan kapur). Perbedaan intensitas warna atas perlakuan ketiga komposisi bahan tersebut akan melahirkan perbedaan gradasi tingkat kemerahan (monochromatic). Dari hasil penelitiannya ini iapun memilih mendaftarkan ke Menkumham untuk mendapakan HAKI. “Saya coba teliti dan saya patenkan lewat HAKI. Prosesnya sangat mudah ternyata dan hanya menunggu sekitar 1 bulan dengan biaya yang juga murah,” bebernya. Disini ia meminta para seniman di Papua lainnya yang memiliki karya yang ingin dipatenkan sebaiknya segera dipatenkan. 

 “Untuk bahak lukis serbuk arang dicatat menjadi hak cipta pada 24 Maret 2021 sedangkan untuk lukisan dengan bahan ekstrak sirih, pinang dan kapur  diumumkan pada 25  Juni 2021.  Disini saya ingin sampaikan sampaikan bahwa bagi orang mungkin biji pinang ini hanya sampah dan tak berguna tapi sebenarnya bisa menghasilkan sebuah penelitian dan karya yang ramah lingkungan,” jelas Syafiuddin. Iapun mulai menyinggung soal bahan cat lain yang menurutnya belum sepenuhnya ramah lingkungan.

 Dari bahan baku cat yang telah tersedia dalam berbagai kemasan mengandung banyak zat kimia. Salah satuanya adalah zat pewarna yang sering digunakan seniman atau pekerja seni dalam berkarya. Namun hampir keseluruhan pewarna sintetis (olahan pabrik) yang beredar dan dipasarkan merupakan zat kimia berupa formaldehida (metanal/formalin), lead (timbal), solvent (pelarut), timah, kromium, asbestos, titanium, molybdenum. Zat-zat kimia tersebut hampir keseluruhan memiliki efek toksik (beracun). 

 “Jadi semisal cat akrilik maupun cat minyak lainnya mengandung banyak mercuri termasuk resin atau tiner akan mempengaruhi pernafasan. Jadi  ada 9 sampai 12 bahan berbahaya yang ada dalam cat industry sedangkan biji pinang tidak dibeli dan  ramah lingkungan. Hanya kelebihannya cat sintetis tentu jauh lebih terang dan ketersediaan warna lebih banyak,” akunya. Sedangkan dari penelitian serbuk arang kayu menjadi bahan cat disini Syafiuddi akhirnya paham bahwa jika bahan kayu mudah terbakar maka  kepekatan hitamnya dipastikan tidak terlalu kuat. Berbeda dengan kayu yang sulit dibakar biasanya carcoalnya lebih hitam dan lebih pekat. “Jadi seperti itu, jika kayunya sulit terbakar biasa kualitas arangnya juga bagus, lebih pekat,” paparya. 

 Iapun berpendapat bahwa bila biji pinang bisa diterapkan untuk lukisa maka sangat memungkinkan bahan ini satu saat dipakai untuk membatik di kain. “Dan ingat, di Jawa biasanya pembeli lebih menyukai warna alami dan itu lebih mahal dibanding warna pabrikan jadi saya pikir dengan ekstrak biji pinang ini nantinya bisa mejadi satu produk yang memiliki nilai jual lebih bagus,” tutupnya. (*/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya