Friday, April 19, 2024
33.7 C
Jayapura

Rasa Takut Pasti Ada, Jika Meninggal di Tempat Tugas Artinya Sudah Waktunya

Iptu Rini Dian Pratiwi M.Psi,  3 Tahun Berjibaku Memberikan Trauma Healing di Daerah Konflik 

Meski Tanah Papua  tak semua daerah konflik  Iptu Rini Dian Pratiwi M.Psi, Psikolog, srikandi dari Polda Papua  berjibaku memberikan trauma healing ke daerah daerah rawan konflik di Papua  sejak 3 tahun terakhir. Bagaimana perasaan terjun ke daerah “merah” tersebut?

Laporan -Elfira

Tanah Papua  sudah dikenal dengan daerah konflik, daerah rawan,  hal ini dikarenakan ada kelompok-kelompok yang bersebarangan dengan pemerintah, tak sedikit masyarakat di daerah konflik menjadi korban 

Kabupaten Intan Jaya, Lanny Jaya, Jayawijaya, Nabire,Timika, Sentani dan Kabupaten Kepulauan Yapen (Serui) menjadi tempat yang pernah ia datangi untuk memberikan trauma healing kepada ibu dan anak. Namun, Kabupaten Jayawijaya dan Mimika daerah yang paling sering ia kunjungi lantaran daerah tersebut sering terjadi konflik.

 Dalam pengabdiannya di daerah konflik saat memberikan trauma healing, tidak selamanya berjalan lancar. Bahkan, pernah sekali waktu ia dihadang Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) saat hendak memberikan trauma healing di Kabupaten Lanny Jaya pada tahun 2019 silam. “Pas saya turun dari mobil, ada suara tembakan dari atas,” kenang Polwan yang sebelumnya mengabdi di Mabes Polri ini.

 Selain dihadang KKB di Lanny Jaya, Polwan yang biasa disapa Orien itu juga pernah mendapatkan perlakuan diancam dengan parang ketika memberikan trauma healing saat banjir bandang yang terjadi di Sentani tahun 2018 silam.

Setiap kali ditugaskan ke daerah konflik, yang ada dibenaknya hanyalah lillahi taala. Yang terpenting bagaimana menghilangkan rasa trauma dibenak anak anak dan perempuan yang ada di daerah konflik. Tim trauma healing akan datang ke lokasi pasca kejadian, minimal 1 minggu setelah kejadian untuk melakukan trauma healing, menunggu situasi benar benar kondusif di daerah tersebut.

Baca Juga :  Terminal Entrop Dilengkapi Online System

 Saat turun lapangan, penerimaan masyarakat tak selamanya berjalan baik. Kadang menerima kehadiran mereka, kadang juga tidak. Dalam posisi tidak diterima masyarakat, tim melakukan pendekatan kepada masyarakat.

“Biasanya saya minta petunjuk dari Pendeta setempat, kepala suku atau tokoh masyarakat yang ada di daerah tersebut. Pada dasarnya masyarakat terbuka dengan kita, menerima kita jika tahu maksud kedatangan kita baik,” ungkapnya. 

Orien mengakui bahwa di daerah daerah rawan konflik, sebagian masyarakat tidak terlalu mengerti dengan psikolog. Namun besar harapannya dengan kedatangannya bisa mengurangi sedikit permasalahan yang terjadi di daerah tersebut.

“Terkadang diluar ekspektasi saya, kedatangan saya bakal ditolak atau dimarahi. Nyatanya mama mama senang hingga secara spontan mereka memeluk dan mencium saya secara natural dari hati mereka,” kenangnya.

Bagi Orien, daerah  konflik terutama daerah pegunungan sedikit membahayakan ketika memberikan trauma healing. Nyawa menjadi taruhannya, bahkan mereka juga menjadi target dari KKB. “Banyak hal yang dipikirkan ketika turun lapangan untuk memberikan trauma healing, tapi  ketika sudah berada di lingkaran mama mama dan anak anak. Rasa takut dan cemas itu seketika hilang, berubah jadi kebahagiaan yang tak ternilai. Saya merasa mereka melindungi saya,” ucap Orien dengan mata berkaca kaca.

Baca Juga :  Hari Keempat Operasi Cartenz, Tercatat 2 Orang Tewas

 “Kadang ada rasa takut, tapi kalau memang sudah ajalnya saya meninggal di tempat tugas berarti itu sudah waktunya bagi saya dan itu resiko dari pekerjaan saya. Tapi niat saya selama ini baik untuk melakukan trauma healing atau  psikososil terhadap masyarakat,” sambungnya.

 Jika ia datang memberikan trauma healing dengan menggunakan baju dinasnya, KKB dengan sendirinya menjauh. Bahkan, masyarakat begitu baik dengannya. Pasca kejadian, yang perlu didekati adalah korban untuk memberikan penguatan agar tidak terganggu psikolognya.

 Kata Orien, secara psikolog dari cerita mama mama, pasca konflik mereka pengen segera beraktivitas. Namun disisi lain, mereka ketakutan dengan ancaman KKB. Sejauh ini penerimaan masyarakat baik walaupun  ada kendala.

“Tidak semua orang yang didatangi saat melakukan trauma healing mahir berbahasa Indonesia atau paham denga napa yang saya sampaikan, dalam posisi ini. Saya berbicara menggunakan gestur tubuh, atau biasanya saya langsung peluk anak anak dan mama mama ketika mereka tersenyum dengan saya,” ucapnya.

 Para pendeta yang paling sering membantu Orien ketika ia melakukan trauma healing ke daerah daerah rawan konflik, para pendeta inilah yang sering berbicara dengan masyarakatnya terkait maksud dan tujuan kedatangan tim trauma healing.

“Saya selalu memberikan sugesti positif kepada masyarakat, biasnaya saya sampaikan sehat sehat dan senyum untuk mereka. Paling banyak anak anak dan perempuan  yang saya berikan trauma healing, mereka inilah yang paling merasakan dampak dari kejadian konflik di daerahnya,” tuturnya.(*/wen)

Iptu Rini Dian Pratiwi M.Psi,  3 Tahun Berjibaku Memberikan Trauma Healing di Daerah Konflik 

Meski Tanah Papua  tak semua daerah konflik  Iptu Rini Dian Pratiwi M.Psi, Psikolog, srikandi dari Polda Papua  berjibaku memberikan trauma healing ke daerah daerah rawan konflik di Papua  sejak 3 tahun terakhir. Bagaimana perasaan terjun ke daerah “merah” tersebut?

Laporan -Elfira

Tanah Papua  sudah dikenal dengan daerah konflik, daerah rawan,  hal ini dikarenakan ada kelompok-kelompok yang bersebarangan dengan pemerintah, tak sedikit masyarakat di daerah konflik menjadi korban 

Kabupaten Intan Jaya, Lanny Jaya, Jayawijaya, Nabire,Timika, Sentani dan Kabupaten Kepulauan Yapen (Serui) menjadi tempat yang pernah ia datangi untuk memberikan trauma healing kepada ibu dan anak. Namun, Kabupaten Jayawijaya dan Mimika daerah yang paling sering ia kunjungi lantaran daerah tersebut sering terjadi konflik.

 Dalam pengabdiannya di daerah konflik saat memberikan trauma healing, tidak selamanya berjalan lancar. Bahkan, pernah sekali waktu ia dihadang Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) saat hendak memberikan trauma healing di Kabupaten Lanny Jaya pada tahun 2019 silam. “Pas saya turun dari mobil, ada suara tembakan dari atas,” kenang Polwan yang sebelumnya mengabdi di Mabes Polri ini.

 Selain dihadang KKB di Lanny Jaya, Polwan yang biasa disapa Orien itu juga pernah mendapatkan perlakuan diancam dengan parang ketika memberikan trauma healing saat banjir bandang yang terjadi di Sentani tahun 2018 silam.

Setiap kali ditugaskan ke daerah konflik, yang ada dibenaknya hanyalah lillahi taala. Yang terpenting bagaimana menghilangkan rasa trauma dibenak anak anak dan perempuan yang ada di daerah konflik. Tim trauma healing akan datang ke lokasi pasca kejadian, minimal 1 minggu setelah kejadian untuk melakukan trauma healing, menunggu situasi benar benar kondusif di daerah tersebut.

Baca Juga :  Pemerintah Tak Segera Bergerak, Pedagang Bangun Lapak Sendiri

 Saat turun lapangan, penerimaan masyarakat tak selamanya berjalan baik. Kadang menerima kehadiran mereka, kadang juga tidak. Dalam posisi tidak diterima masyarakat, tim melakukan pendekatan kepada masyarakat.

“Biasanya saya minta petunjuk dari Pendeta setempat, kepala suku atau tokoh masyarakat yang ada di daerah tersebut. Pada dasarnya masyarakat terbuka dengan kita, menerima kita jika tahu maksud kedatangan kita baik,” ungkapnya. 

Orien mengakui bahwa di daerah daerah rawan konflik, sebagian masyarakat tidak terlalu mengerti dengan psikolog. Namun besar harapannya dengan kedatangannya bisa mengurangi sedikit permasalahan yang terjadi di daerah tersebut.

“Terkadang diluar ekspektasi saya, kedatangan saya bakal ditolak atau dimarahi. Nyatanya mama mama senang hingga secara spontan mereka memeluk dan mencium saya secara natural dari hati mereka,” kenangnya.

Bagi Orien, daerah  konflik terutama daerah pegunungan sedikit membahayakan ketika memberikan trauma healing. Nyawa menjadi taruhannya, bahkan mereka juga menjadi target dari KKB. “Banyak hal yang dipikirkan ketika turun lapangan untuk memberikan trauma healing, tapi  ketika sudah berada di lingkaran mama mama dan anak anak. Rasa takut dan cemas itu seketika hilang, berubah jadi kebahagiaan yang tak ternilai. Saya merasa mereka melindungi saya,” ucap Orien dengan mata berkaca kaca.

Baca Juga :  Mensos Salurkan 750 Paket Bantuan Kepada Korban Kebakaran

 “Kadang ada rasa takut, tapi kalau memang sudah ajalnya saya meninggal di tempat tugas berarti itu sudah waktunya bagi saya dan itu resiko dari pekerjaan saya. Tapi niat saya selama ini baik untuk melakukan trauma healing atau  psikososil terhadap masyarakat,” sambungnya.

 Jika ia datang memberikan trauma healing dengan menggunakan baju dinasnya, KKB dengan sendirinya menjauh. Bahkan, masyarakat begitu baik dengannya. Pasca kejadian, yang perlu didekati adalah korban untuk memberikan penguatan agar tidak terganggu psikolognya.

 Kata Orien, secara psikolog dari cerita mama mama, pasca konflik mereka pengen segera beraktivitas. Namun disisi lain, mereka ketakutan dengan ancaman KKB. Sejauh ini penerimaan masyarakat baik walaupun  ada kendala.

“Tidak semua orang yang didatangi saat melakukan trauma healing mahir berbahasa Indonesia atau paham denga napa yang saya sampaikan, dalam posisi ini. Saya berbicara menggunakan gestur tubuh, atau biasanya saya langsung peluk anak anak dan mama mama ketika mereka tersenyum dengan saya,” ucapnya.

 Para pendeta yang paling sering membantu Orien ketika ia melakukan trauma healing ke daerah daerah rawan konflik, para pendeta inilah yang sering berbicara dengan masyarakatnya terkait maksud dan tujuan kedatangan tim trauma healing.

“Saya selalu memberikan sugesti positif kepada masyarakat, biasnaya saya sampaikan sehat sehat dan senyum untuk mereka. Paling banyak anak anak dan perempuan  yang saya berikan trauma healing, mereka inilah yang paling merasakan dampak dari kejadian konflik di daerahnya,” tuturnya.(*/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya