Wednesday, April 24, 2024
33.7 C
Jayapura

MRP Diminta Perlu Kaji Tentang Keberagaman di Papua

Laus Calvin Rumayom, S.So, M.Si ( FOTO: Yewen/Cepos)

*Istilah Pendatang-OAP Berpotensi Konflik 

JAYAPURA–  Staf Ahli Kantor Staf Presiden (KSP), Laus Calvin Rumayom, S.So, M.Si mengatakan bahwa jika dilihat dari perkembangan konflik di Papua dalam beberapa tahun terakhir ini, terutama tahun lalu tentang isu rasisme yang berujung pada beberapa kejadian tragis yang terjadi di beberapa daerah seperti di Wamena, Jayapura, dan beberapa daerah lain di Papua.

Tentu ini merujuk kepada dinamika yang seolah-olah mengklasifikasikan masyarakat Papua ke dalam kelas-kelas suku, agama, dan lain sebagainya. Hal ini tentu menimbulkan kekewatiran tersendiri, karena kalau tidak dikelola dengan baik, maka hubungan sosial antara suku, agama, masyarakat, tentu akan berpotensi menimbulkan konflik yang berkepanjangan.

 Istilah kata pendatang itu sudah pihaknya meminta kepada Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua untuk lebih mengkaji lebih baik, terkait dengan keberadaan masyarakat yang ada di Papua. Selain orang asli Papua (OAP), tetapi masyarakat lain dari berbagai suku yang sudah juga menjadi masyarakat Papua. Dirinya memberikan contoh seperti di Amerika ada Afrika-Amerika, China-Amerika.

Baca Juga :  PAN Hadir Untuk Mensejahterakan Rakyat

 “Pendefinisian terhadap identitas itu juga jangan kita lupa bahwa itu juga berangkat dari asimilasi, itu juga berangkat dari akulturasi bahwa ada perkawinan secara fisik biologi, tetapi juga perkawinan secara budaya. Tentu ini harus ada pengakuan terhadap masyarakat kita yang ikut membangun di tanah Papua,” ujarnya kepada wartawan di Hotel Horison Kotaraja, Senin (7/9) lalu.

 Idealnya menurut Rumayom perlu dilakukan evaluasi tentang dinamika pembangunan di Papua yang selama ini seolah-olah masyarakat hidup dalam kelompok-kelompok suku dan kelompok yang lebih luas, mulai dari luar Papua maupun masyarakat internasional seperti Etnis Thionghoa dan etnis-etnis lain yang ada di Tanah Papua.

 Rumayom melihat hal ini merupakan pekerjaan rumah (PR) yang besar bagi Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk mengevaluasi kembali keberadaan masyarakat Papua, sehingga kedepan mampu mengelola keberagaman yang ada di Papua. Jangan sampai berhadapan dengan isu-isu politik yang saat ini berkembang di Papua.  “Isu-isu politik yang kemudian sudah merembes kepada isu pendatang atau isu pribumi,” ucap Dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Cenderawasih ini.

Baca Juga :  Frans Pekey: Sekolah Harus Ciptakan Lingkungan Aman!

 Rumayom menyatakan, kata pendatang dan orang asli Papua (OAP) tentu berpotensi konflik, tetapi juga ada konsekuensinya, yaitu misalnya kalau sudah menjadi warga negara Amerika dalam waktu tertentu yang sudah ditentukan pemerintah, maka tidak bisa dibilang pendatang. Namun harus disebutkan sebagai entitas yang ada seperti misalnya Jawa-Batak, Jawa-Papua, Ambon-Papua dan lain sebagainya.

 “Saya pikir ini hal yang harus didefinisikan dengan baik. Inikan tidak bisa langsung, tetapi kita butuh forum untuk mendiskusikan isu-isu yang berbasis etnik,” tandasnya. (bet/wen)

Laus Calvin Rumayom, S.So, M.Si ( FOTO: Yewen/Cepos)

*Istilah Pendatang-OAP Berpotensi Konflik 

JAYAPURA–  Staf Ahli Kantor Staf Presiden (KSP), Laus Calvin Rumayom, S.So, M.Si mengatakan bahwa jika dilihat dari perkembangan konflik di Papua dalam beberapa tahun terakhir ini, terutama tahun lalu tentang isu rasisme yang berujung pada beberapa kejadian tragis yang terjadi di beberapa daerah seperti di Wamena, Jayapura, dan beberapa daerah lain di Papua.

Tentu ini merujuk kepada dinamika yang seolah-olah mengklasifikasikan masyarakat Papua ke dalam kelas-kelas suku, agama, dan lain sebagainya. Hal ini tentu menimbulkan kekewatiran tersendiri, karena kalau tidak dikelola dengan baik, maka hubungan sosial antara suku, agama, masyarakat, tentu akan berpotensi menimbulkan konflik yang berkepanjangan.

 Istilah kata pendatang itu sudah pihaknya meminta kepada Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua untuk lebih mengkaji lebih baik, terkait dengan keberadaan masyarakat yang ada di Papua. Selain orang asli Papua (OAP), tetapi masyarakat lain dari berbagai suku yang sudah juga menjadi masyarakat Papua. Dirinya memberikan contoh seperti di Amerika ada Afrika-Amerika, China-Amerika.

Baca Juga :  Wali Kota: Tindak Tegas Petugas Parkir Liar

 “Pendefinisian terhadap identitas itu juga jangan kita lupa bahwa itu juga berangkat dari asimilasi, itu juga berangkat dari akulturasi bahwa ada perkawinan secara fisik biologi, tetapi juga perkawinan secara budaya. Tentu ini harus ada pengakuan terhadap masyarakat kita yang ikut membangun di tanah Papua,” ujarnya kepada wartawan di Hotel Horison Kotaraja, Senin (7/9) lalu.

 Idealnya menurut Rumayom perlu dilakukan evaluasi tentang dinamika pembangunan di Papua yang selama ini seolah-olah masyarakat hidup dalam kelompok-kelompok suku dan kelompok yang lebih luas, mulai dari luar Papua maupun masyarakat internasional seperti Etnis Thionghoa dan etnis-etnis lain yang ada di Tanah Papua.

 Rumayom melihat hal ini merupakan pekerjaan rumah (PR) yang besar bagi Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk mengevaluasi kembali keberadaan masyarakat Papua, sehingga kedepan mampu mengelola keberagaman yang ada di Papua. Jangan sampai berhadapan dengan isu-isu politik yang saat ini berkembang di Papua.  “Isu-isu politik yang kemudian sudah merembes kepada isu pendatang atau isu pribumi,” ucap Dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Cenderawasih ini.

Baca Juga :  Pangdam: Anggota Hingga Persit Bijak Bermedsos

 Rumayom menyatakan, kata pendatang dan orang asli Papua (OAP) tentu berpotensi konflik, tetapi juga ada konsekuensinya, yaitu misalnya kalau sudah menjadi warga negara Amerika dalam waktu tertentu yang sudah ditentukan pemerintah, maka tidak bisa dibilang pendatang. Namun harus disebutkan sebagai entitas yang ada seperti misalnya Jawa-Batak, Jawa-Papua, Ambon-Papua dan lain sebagainya.

 “Saya pikir ini hal yang harus didefinisikan dengan baik. Inikan tidak bisa langsung, tetapi kita butuh forum untuk mendiskusikan isu-isu yang berbasis etnik,” tandasnya. (bet/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya