Saturday, April 27, 2024
31.7 C
Jayapura

Politik Miliki Etika dan Sikap Adab Kepartaian

JAYAPURA – Pengamat sosial politik Univesitas Cenderawasih, Marinus Yaung memberi pendapatnya terkait kekosongan kursi wakil gubernur yang  kini tengah berproses dan bisa  dibilang masih menggantung. Ia menyebut bahwa partai politik di Indonesia saat paham dengan politik simbolitis dan tak jarang partai akan menggunakan pendekatan simbolitik kekuasaan untuk mewujudkan tujuannya. Yaung melihat keputusan yang diambil Golkar dengan menunjuk Paulus Waterpauw (PW) adalah pendekatan simbolitik kekuasaan.

 “Itu yang sedang dimainkan Airlangga Hartanto, Ketua Umum Golkar dalam persepsi Partai Golkar terhadap kursi wagub adalah bentuk pendekatan politik simbolitas. Artinya Airlangga ingin tegaskan bahwa pertama, di tingkat DPP partai koalisi sudah jelas dan clear bahwa kursi wagub Papua warisan klemen tinal adalah kursi Golkar. Di Jakarta  ini tak menimbulkan perdebatan dan semua menghormati hal itu,” kata Marinus Yaung melalui ponselnya, Sabtu (4/9). Lalu kedua, Airlangga mengumumkan nama PW di kota Jayapura, artinya Airlangga ingin tegaskan di depan muka Gubernur Lukas Enembe bahwa kursi wagub bukan milik Demokrat. Kursi Gubernur Papualah  yang menjadi milik Partai Demokrat sedangkan kursi wagub milik Golkar. 

 “Jadi tdk sembarang Airlangga pilih Kota Jayapura untuk menegaskan PW calon wagub. Inilah politik simbolitis yang menjadi bagian dari budaya politik partai politik di Indonesia,” bebernya.  Lalu setelah ini diumumkan  maka semua pihak harus mengghormati komitmen dan etika politik partai yang pertama dibentuk oleh Partai Demokrat dan Partai Golkar tahun 2013 lalu itu. “Mereka telah telah sepakat dalam konsensus politik bahwa, Enembe Gubernur, Tinal Wagub. Demokrat gubernur, Golkar wagub. Kalau konsensus politik ini dilanggar atau tidak  maka itu hanya bisa dilakukan elit politik karbitan yang tidak memahami etika dan adab kepartaian di Indonesia,” sindirnya.

Baca Juga :  Pendidikan dan Kesehatan Usulan Prioritas

 Yaung menambahkan bahwa Airlangga Hartanto sudah kerja dengan Presiden Jokowi selama dua periode sehingga ia  cukup banyak belajar berkomunikasi politik yang dimainkan Presiden Jokowi yang sering menggunakan pendekatan simbolitas politik untuk menegur dan mengoreksi kinerja seorang menteri atau seorang kepala daerah. 

 “Pendekatan simbolitik dalam mengelola kekuasaan adalah bentuk teguran yang penuh etika dan keadaban sehingga orang yang ditegur tidak merasa bahwa dia dipermalukan atau direndahkan di depan publik,” paparnya. Disinggung soal keuntungan Papua jika PW yang akhirnya menjadi wagub dan apakah ini justru menunjukkan Golkar gagal dalam pengkaderan secara internal sehingga harus mengambil dari luar partai, kata Yaung Partai Golkar adalah partai dalam lingkaran kekuasaan saat ini. 

Baca Juga :  Masih Buka di Atas Pukul 17.00 WIT =  Orang Kepala Batu

 Kepentingan Golkar di Papua adalah juga kepentingan rezim Presiden Jokowi. Dan kepentingan rezim Presiden Jokowi di Papua adalah percepatan pembangunan infrastruktur dan realisasi investasi yang terhambat karena gangguan keamanan kelompok sipil bersenjata.  

 “Gubernur Enembe dianggap gagal oleh Jakarta dalam menjamin dan mengamankan kepentingan negara. Karena itulah Jakarta berkesimpulan bahwa PW yang tepat untuk menjamin kepentingan Jakarta ini,” tambahnya. “Saya juga melihat kader Partai golkar di Papua tidak berani secara terbuka mengkritisi ketumnya Airlangga yg memilih PW. Mereka sadar akan konsekwensi politiknya,” tegas Yaung. 

  Iapun meyakini nantinya dua nama yang lolos di DPRP yaitu Yunus Wonda dan Paulus Waterpauw. “Kalau anggota DPRP adalah anggota dengan identitas politik “DPRP Papua” maka mereka akan pilih Yunus Wonda Wagub Papua. Sebaliknya kalau anggota DPRP adalah anggota dengan identitas politik “DPRP Jakarta” maka mereka akan memilih Paulus Waterpauw sebagai Wagub Papua. Saya melihat  bola panas isu wagub Papua sudah mulai jatuh ke tangan John B. Rouw, John Gobai dan kawan – kawan. Mereka yang akan tentukan dan putuskan,” imbuhnya. (ade/wen)

JAYAPURA – Pengamat sosial politik Univesitas Cenderawasih, Marinus Yaung memberi pendapatnya terkait kekosongan kursi wakil gubernur yang  kini tengah berproses dan bisa  dibilang masih menggantung. Ia menyebut bahwa partai politik di Indonesia saat paham dengan politik simbolitis dan tak jarang partai akan menggunakan pendekatan simbolitik kekuasaan untuk mewujudkan tujuannya. Yaung melihat keputusan yang diambil Golkar dengan menunjuk Paulus Waterpauw (PW) adalah pendekatan simbolitik kekuasaan.

 “Itu yang sedang dimainkan Airlangga Hartanto, Ketua Umum Golkar dalam persepsi Partai Golkar terhadap kursi wagub adalah bentuk pendekatan politik simbolitas. Artinya Airlangga ingin tegaskan bahwa pertama, di tingkat DPP partai koalisi sudah jelas dan clear bahwa kursi wagub Papua warisan klemen tinal adalah kursi Golkar. Di Jakarta  ini tak menimbulkan perdebatan dan semua menghormati hal itu,” kata Marinus Yaung melalui ponselnya, Sabtu (4/9). Lalu kedua, Airlangga mengumumkan nama PW di kota Jayapura, artinya Airlangga ingin tegaskan di depan muka Gubernur Lukas Enembe bahwa kursi wagub bukan milik Demokrat. Kursi Gubernur Papualah  yang menjadi milik Partai Demokrat sedangkan kursi wagub milik Golkar. 

 “Jadi tdk sembarang Airlangga pilih Kota Jayapura untuk menegaskan PW calon wagub. Inilah politik simbolitis yang menjadi bagian dari budaya politik partai politik di Indonesia,” bebernya.  Lalu setelah ini diumumkan  maka semua pihak harus mengghormati komitmen dan etika politik partai yang pertama dibentuk oleh Partai Demokrat dan Partai Golkar tahun 2013 lalu itu. “Mereka telah telah sepakat dalam konsensus politik bahwa, Enembe Gubernur, Tinal Wagub. Demokrat gubernur, Golkar wagub. Kalau konsensus politik ini dilanggar atau tidak  maka itu hanya bisa dilakukan elit politik karbitan yang tidak memahami etika dan adab kepartaian di Indonesia,” sindirnya.

Baca Juga :  Tak Ada Fasilitas Pasar,  Jualan di Tempat Seadanya 

 Yaung menambahkan bahwa Airlangga Hartanto sudah kerja dengan Presiden Jokowi selama dua periode sehingga ia  cukup banyak belajar berkomunikasi politik yang dimainkan Presiden Jokowi yang sering menggunakan pendekatan simbolitas politik untuk menegur dan mengoreksi kinerja seorang menteri atau seorang kepala daerah. 

 “Pendekatan simbolitik dalam mengelola kekuasaan adalah bentuk teguran yang penuh etika dan keadaban sehingga orang yang ditegur tidak merasa bahwa dia dipermalukan atau direndahkan di depan publik,” paparnya. Disinggung soal keuntungan Papua jika PW yang akhirnya menjadi wagub dan apakah ini justru menunjukkan Golkar gagal dalam pengkaderan secara internal sehingga harus mengambil dari luar partai, kata Yaung Partai Golkar adalah partai dalam lingkaran kekuasaan saat ini. 

Baca Juga :  Salurkan Cadangan Pangan untuk Turunkan Angka Stunting

 Kepentingan Golkar di Papua adalah juga kepentingan rezim Presiden Jokowi. Dan kepentingan rezim Presiden Jokowi di Papua adalah percepatan pembangunan infrastruktur dan realisasi investasi yang terhambat karena gangguan keamanan kelompok sipil bersenjata.  

 “Gubernur Enembe dianggap gagal oleh Jakarta dalam menjamin dan mengamankan kepentingan negara. Karena itulah Jakarta berkesimpulan bahwa PW yang tepat untuk menjamin kepentingan Jakarta ini,” tambahnya. “Saya juga melihat kader Partai golkar di Papua tidak berani secara terbuka mengkritisi ketumnya Airlangga yg memilih PW. Mereka sadar akan konsekwensi politiknya,” tegas Yaung. 

  Iapun meyakini nantinya dua nama yang lolos di DPRP yaitu Yunus Wonda dan Paulus Waterpauw. “Kalau anggota DPRP adalah anggota dengan identitas politik “DPRP Papua” maka mereka akan pilih Yunus Wonda Wagub Papua. Sebaliknya kalau anggota DPRP adalah anggota dengan identitas politik “DPRP Jakarta” maka mereka akan memilih Paulus Waterpauw sebagai Wagub Papua. Saya melihat  bola panas isu wagub Papua sudah mulai jatuh ke tangan John B. Rouw, John Gobai dan kawan – kawan. Mereka yang akan tentukan dan putuskan,” imbuhnya. (ade/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya