Saturday, April 27, 2024
33.7 C
Jayapura

Jadi Bagian Tim Wonderland Indonesia 2 dengan Titik Pijak Awal Komputer Bekas

Dari Hobi Nonton Kartun hingga Bikin Serial Animasi Sendiri

Keahlian dasar animasi memiliki potensi besar di industri kreatif dengan prospek kerja yang variatif. Pemicu ketertarikan beragam, dari Si Unyil, Doraemon, ataupun animator Indonesia yang turut menggarap film-film Hollywood.

LAILATUL FITRIANI, Surabaya 

FAKHRI Muzaki kecil, seperti umumnya hampir semua anak, tumbuh ditemani tontonan animasi. Si Unyil versi baru yang tayang di salah satu televisi termasuk yang dia gemari.

Kebetulan Fakhri gemar menggambar. ”Di salah satu episode Si Unyil, saya dibuat penasaran. Kok bisa sebuah gambar bergerak-gerak,” kenangnya tentang rasa penasaran semasa masih bersekolah di taman kanak-kanak.

Begitu duduk di bangku sekolah dasar, dia mendapat komputer bekas dari sang bapak sebagai bentuk dukungan untuk meningkatkan skill menggambar. Di sana ada berbagai software. Salah satunya PhotoScape.

Itulah titik awal Fakhri menjajal digital art secara otodidak yang bertahun-tahun kemudian mengantarkannya sebagai profesional di dunia animasi. Pengalamannya tidak main-main. Dia pernah tergabung di studio dalam dan luar negeri.

”Pernah bekerja di studio Korea di Jakarta. Jadi, ngerjain animasi-animasi Korea, mengerjakan iklan-iklan yang ada di TV juga, dan masuk industri kayak bikin mesin 3D gitu,” tutur freelancer 3D artist sekaligus pekerja remote salah satu studio di Malaysia itu.

Terbaru, Fakhri terlibat pembuatan klip video Wonderland Indonesia 2 The Sacred Nusantara bersama tim Alffy Rev. Fakhri juga telah memiliki karya animasi sendiri: Lilly the Little Hope dan Reechick Adventures. ”Saya di sini sebenarnya cuma freelancer yang diminta tim buat mengerjakan rigging. Ada dua karakter, tapi yang satu direvisi. Jadi cuma karakter burungnya. Tapi, senang sekali dapat kesempatan sebesar itu,” ungkapnya.

Tak jauh berbeda dengan Fakhri yang menemukan passion dari kegemaran nonton kartun, Gilang Ramadhan Permana Putra pun demikian. Ketertarikannya pada bidang animasi tumbuh sejak menonton serial animasi Doraemon.

”Baru pas kelas 3 SMA saat mencari informasi seputar kampus dan jurusan, ketemu sama satu jurusan yang menarik, yaitu animasi (di Institut Seni Indonesia, Jogjakarta). Di sini kita bebas menuangkan ide dan kreativitas ke dalam tugas-tugas yang diberikan,” kata Gilang.

Baca Juga :  Terkendala TPA Koya Koso yang Terbakar, Semua OPD Ikut Berperan Aktif

Sebagai program studi yang tergolong minim di perguruan tinggi, Gilang punya pekerjaan rumah menjelaskan pilihannya kepada kedua orang tua. Maklum, animasi jelas masih jurusan asing bagi kalangan generasi papa-mama. Termasuk persoalan prospek lulusannya ke depan.

”Banyak studio animasi yang mulai membuat IP (intellectual property) mereka masing-masing sehingga butuh tenaga kerja yang lumayan banyak. Dalam membuat satu IP saja bisa puluhan, bahkan ratusan, orang yang terlibat. Jadi, dibutuhkan sekali lulusan mahasiswa animasi yang siap terjun ke industri ini,” ujar 3d modeling & finance administration Mythologic Studio itu.

Ketua Prodi D-4 Animasi ISI Jogjakarta Samuel Gadang membenarkan bahwa perkembangan profesi di era revolusi industri 4.0 mengarah pada pemrosesan data secara digital di semua aspek kehidupan. Mulai pendidikan, perkapalan, kedokteran, penerbangan, hingga perdagangan.

”Pembelajaran atau sistem pendidikan sudah beralih menggunakan animasi sebagai media edukasi yang interaktif. Pekerjaan seperti halnya storyboard artist sudah bercabang sesuai konten yang diolahnya, semacam animasi edukasi dan animasi simulasi berbasis pelatihan,” terangnya.

Kini yang tengah marak, lanjut dia, mulai dibangun aset-aset animasi. Sebut saja dunia metaverse. Bisa dibilang, keahlian dasar animasi memiliki potensi besar di industri kreatif. Apalagi prospek kerjanya bervariasi. Dari storyboard artist, animator, visual effect artist, 3D artist, hingga motion graphic artist.

”Saya berasumsi bisa saja keahlian dasar animasi akan menjadi salah satu keahlian pokok yang harus dikuasai generasi mendatang. Seperti halnya saat ini computational thinking yang menjadi keahlian dasar bagi generasi sekarang supaya berdaya saing unggul,” tambahnya.

Samuel juga melihat perkembangan film dan animasi di Indonesia semakin baik. Efek visual yang bagus sudah bisa diproduksi oleh studio-studio dalam negeri. Banyak juga studio animasi di Indonesia yang menjadi bagian dalam produksi karya serial animasi ternama skala internasional.

”Bahkan, SDM (sumber daya manusia) kita ada yang menjadi tenaga ahli di film-film Marvel atau Disney yang selalu kita tonton di bioskop,” imbuhnya.

Animasi karya anak bangsa seperti Kiko and Friends telah diputar di lebih dari 56 negara di dunia. Ada pula The Beachbuds yang berhasil menarik rumah produksi Warner Bros untuk membelinya. Tak sedikit pula animator asal Indonesia yang terlibat dalam proyek film-film Hollywood. Salah satunya David Ardinaryas Lojaya yang berkarier di Disney.

Baca Juga :  Rute Berubah, Biaya Bertambah

Vyra Garint Khairunissa Ramadhan, mahasiswi semester V Program Studi Animasi ISI Jogjakarta, termasuk yang terinspirasi karya David. ”Dari dulu memang suka menggambar dan nonton film kartun. Terus lihat karya-karya Kak David yang keren-keren dan bisa kerja di Disney jadi termotivasi,” ungkap Vyra.

Meski tidak begitu familier dengan bidang animasi, kedua orang tua mendukung penuh pilihannya. Dari sekian banyak posisi, dia menjatuhkan minatnya sebagai animator 2D. Saat ini pun Vyra tengah disibukkan dengan rutinitas magang sebagai animator Kampoong Monster di bagian coloring.

”Pengin belajar bidang lain juga, kayak 3D modeling, background artist gitu. Semoga nanti bisa bikin film sendiri,” harapnya.

Fakhri pun bercita-cita memiliki studio animasi sendiri. ”Industri animasinya memang udah mantep, tapi membangun IP lokal yang susah, terkait budgeting salah satunya. Jadi, saya memutuskan perbanyak karya dulu, selanjutnya bisa bikin studio mini dari portofolio yang pernah saya bikin,” lanjutnya.

Minat generasi muda pada bidang animasi terus mengalami kenaikan. Misalnya, peminat jurusan animasi di ISI. Dari yang semula hanya 35 mahasiswa baru, kini menerima 100 orang. ”Ini bukti makin terbukanya wawasan bangsa Indonesia akan peluang industri animasi yang semakin besar,” tutur Samuel.

Gilang menambahkan, untuk mereka yang berniat terjun ke bidang animasi tapi tidak jago menggambar, tidak perlu risau. Sebab, ada banyak peminatan seperti storyboard, 3D modeling, dan animasi.

”Misalnya, 3D modeling, pada divisi ini kita tinggal membuat sebuah model karakter ataupun props dengan menggunakan software di komputer/laptop. Nah, untuk desain 2D- nya sudah dibuat oleh divisi concept art,” tuturnya.

Namun bagaimanapun, skill menggambar akan menjadi poin plus di bidang itu. Memperbanyak nonton film dan karya animasi sebagai bahan referensi akan sangat membantu. Sisanya, pengetahuan seputar software bisa menyusul untuk dipelajari.

”Yang penting, paling nggak bisa meniru suatu objek dan mau mempelajari basic seni, yaitu menggambar,” ujar Fakhri. (*/c6/ttg)

Dari Hobi Nonton Kartun hingga Bikin Serial Animasi Sendiri

Keahlian dasar animasi memiliki potensi besar di industri kreatif dengan prospek kerja yang variatif. Pemicu ketertarikan beragam, dari Si Unyil, Doraemon, ataupun animator Indonesia yang turut menggarap film-film Hollywood.

LAILATUL FITRIANI, Surabaya 

FAKHRI Muzaki kecil, seperti umumnya hampir semua anak, tumbuh ditemani tontonan animasi. Si Unyil versi baru yang tayang di salah satu televisi termasuk yang dia gemari.

Kebetulan Fakhri gemar menggambar. ”Di salah satu episode Si Unyil, saya dibuat penasaran. Kok bisa sebuah gambar bergerak-gerak,” kenangnya tentang rasa penasaran semasa masih bersekolah di taman kanak-kanak.

Begitu duduk di bangku sekolah dasar, dia mendapat komputer bekas dari sang bapak sebagai bentuk dukungan untuk meningkatkan skill menggambar. Di sana ada berbagai software. Salah satunya PhotoScape.

Itulah titik awal Fakhri menjajal digital art secara otodidak yang bertahun-tahun kemudian mengantarkannya sebagai profesional di dunia animasi. Pengalamannya tidak main-main. Dia pernah tergabung di studio dalam dan luar negeri.

”Pernah bekerja di studio Korea di Jakarta. Jadi, ngerjain animasi-animasi Korea, mengerjakan iklan-iklan yang ada di TV juga, dan masuk industri kayak bikin mesin 3D gitu,” tutur freelancer 3D artist sekaligus pekerja remote salah satu studio di Malaysia itu.

Terbaru, Fakhri terlibat pembuatan klip video Wonderland Indonesia 2 The Sacred Nusantara bersama tim Alffy Rev. Fakhri juga telah memiliki karya animasi sendiri: Lilly the Little Hope dan Reechick Adventures. ”Saya di sini sebenarnya cuma freelancer yang diminta tim buat mengerjakan rigging. Ada dua karakter, tapi yang satu direvisi. Jadi cuma karakter burungnya. Tapi, senang sekali dapat kesempatan sebesar itu,” ungkapnya.

Tak jauh berbeda dengan Fakhri yang menemukan passion dari kegemaran nonton kartun, Gilang Ramadhan Permana Putra pun demikian. Ketertarikannya pada bidang animasi tumbuh sejak menonton serial animasi Doraemon.

”Baru pas kelas 3 SMA saat mencari informasi seputar kampus dan jurusan, ketemu sama satu jurusan yang menarik, yaitu animasi (di Institut Seni Indonesia, Jogjakarta). Di sini kita bebas menuangkan ide dan kreativitas ke dalam tugas-tugas yang diberikan,” kata Gilang.

Baca Juga :  Mengenal Sosok Perempuan Port Numbay Masuk Kandidat Penerima Kalpataru

Sebagai program studi yang tergolong minim di perguruan tinggi, Gilang punya pekerjaan rumah menjelaskan pilihannya kepada kedua orang tua. Maklum, animasi jelas masih jurusan asing bagi kalangan generasi papa-mama. Termasuk persoalan prospek lulusannya ke depan.

”Banyak studio animasi yang mulai membuat IP (intellectual property) mereka masing-masing sehingga butuh tenaga kerja yang lumayan banyak. Dalam membuat satu IP saja bisa puluhan, bahkan ratusan, orang yang terlibat. Jadi, dibutuhkan sekali lulusan mahasiswa animasi yang siap terjun ke industri ini,” ujar 3d modeling & finance administration Mythologic Studio itu.

Ketua Prodi D-4 Animasi ISI Jogjakarta Samuel Gadang membenarkan bahwa perkembangan profesi di era revolusi industri 4.0 mengarah pada pemrosesan data secara digital di semua aspek kehidupan. Mulai pendidikan, perkapalan, kedokteran, penerbangan, hingga perdagangan.

”Pembelajaran atau sistem pendidikan sudah beralih menggunakan animasi sebagai media edukasi yang interaktif. Pekerjaan seperti halnya storyboard artist sudah bercabang sesuai konten yang diolahnya, semacam animasi edukasi dan animasi simulasi berbasis pelatihan,” terangnya.

Kini yang tengah marak, lanjut dia, mulai dibangun aset-aset animasi. Sebut saja dunia metaverse. Bisa dibilang, keahlian dasar animasi memiliki potensi besar di industri kreatif. Apalagi prospek kerjanya bervariasi. Dari storyboard artist, animator, visual effect artist, 3D artist, hingga motion graphic artist.

”Saya berasumsi bisa saja keahlian dasar animasi akan menjadi salah satu keahlian pokok yang harus dikuasai generasi mendatang. Seperti halnya saat ini computational thinking yang menjadi keahlian dasar bagi generasi sekarang supaya berdaya saing unggul,” tambahnya.

Samuel juga melihat perkembangan film dan animasi di Indonesia semakin baik. Efek visual yang bagus sudah bisa diproduksi oleh studio-studio dalam negeri. Banyak juga studio animasi di Indonesia yang menjadi bagian dalam produksi karya serial animasi ternama skala internasional.

”Bahkan, SDM (sumber daya manusia) kita ada yang menjadi tenaga ahli di film-film Marvel atau Disney yang selalu kita tonton di bioskop,” imbuhnya.

Animasi karya anak bangsa seperti Kiko and Friends telah diputar di lebih dari 56 negara di dunia. Ada pula The Beachbuds yang berhasil menarik rumah produksi Warner Bros untuk membelinya. Tak sedikit pula animator asal Indonesia yang terlibat dalam proyek film-film Hollywood. Salah satunya David Ardinaryas Lojaya yang berkarier di Disney.

Baca Juga :  Antre BBM Dua sampai Tiga Hari pun Belum Tentu Dapat

Vyra Garint Khairunissa Ramadhan, mahasiswi semester V Program Studi Animasi ISI Jogjakarta, termasuk yang terinspirasi karya David. ”Dari dulu memang suka menggambar dan nonton film kartun. Terus lihat karya-karya Kak David yang keren-keren dan bisa kerja di Disney jadi termotivasi,” ungkap Vyra.

Meski tidak begitu familier dengan bidang animasi, kedua orang tua mendukung penuh pilihannya. Dari sekian banyak posisi, dia menjatuhkan minatnya sebagai animator 2D. Saat ini pun Vyra tengah disibukkan dengan rutinitas magang sebagai animator Kampoong Monster di bagian coloring.

”Pengin belajar bidang lain juga, kayak 3D modeling, background artist gitu. Semoga nanti bisa bikin film sendiri,” harapnya.

Fakhri pun bercita-cita memiliki studio animasi sendiri. ”Industri animasinya memang udah mantep, tapi membangun IP lokal yang susah, terkait budgeting salah satunya. Jadi, saya memutuskan perbanyak karya dulu, selanjutnya bisa bikin studio mini dari portofolio yang pernah saya bikin,” lanjutnya.

Minat generasi muda pada bidang animasi terus mengalami kenaikan. Misalnya, peminat jurusan animasi di ISI. Dari yang semula hanya 35 mahasiswa baru, kini menerima 100 orang. ”Ini bukti makin terbukanya wawasan bangsa Indonesia akan peluang industri animasi yang semakin besar,” tutur Samuel.

Gilang menambahkan, untuk mereka yang berniat terjun ke bidang animasi tapi tidak jago menggambar, tidak perlu risau. Sebab, ada banyak peminatan seperti storyboard, 3D modeling, dan animasi.

”Misalnya, 3D modeling, pada divisi ini kita tinggal membuat sebuah model karakter ataupun props dengan menggunakan software di komputer/laptop. Nah, untuk desain 2D- nya sudah dibuat oleh divisi concept art,” tuturnya.

Namun bagaimanapun, skill menggambar akan menjadi poin plus di bidang itu. Memperbanyak nonton film dan karya animasi sebagai bahan referensi akan sangat membantu. Sisanya, pengetahuan seputar software bisa menyusul untuk dipelajari.

”Yang penting, paling nggak bisa meniru suatu objek dan mau mempelajari basic seni, yaitu menggambar,” ujar Fakhri. (*/c6/ttg)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya