Friday, April 26, 2024
32.7 C
Jayapura

Antre BBM Dua sampai Tiga Hari pun Belum Tentu Dapat

Pengalaman Sejumlah Perempuan Indonesia di Tengah Krisis Ekonomi Sri Lanka

Ada yang berjuang puluhan jam mendapatkan bahan bakar, ada yang mengalami pemadaman listrik sampai 13 jam, dan ada pula yang membelanjakan voucher dari tempat kerja untuk dibagikan warga lokal. 

DINDA JUWITA, Jakarta

TAK terhitung berapa kali Nani Melani de Silva bolak-balik dari tempat mobilnya antre BBM ke rumahnya. Entah untuk ke toilet, mengambil penganan, atau meracik kopi. Saking lamanya dia berjuang mendapatkan bahan bakar di SPBU yang berjarak sekitar 500 meter dari kediamannya di Kolombo, Sri Lanka.

Negeri Asia Selatan itu tengah dihantam krisis ekonomi terburuk sejak memproklamasikan kemerdekaan pada 1948. Harga barang-barang kebutuhan pokok meroket, pemadaman listrik di mana-mana, sekolah-sekolah diliburkan, dan bahan bakar sulit didapat.

Nani, warga negara Indonesia (WNI) yang bersuami warga Sri Lanka, antre sejak Sabtu (25/6) pagi. Memasuki dini hari, di tengah jam-jam menanti BBM itu, Nani yang sudah 40 tahun tinggal di negeri bekas jajahan Belanda dan Inggris tersebut mendengar kabar bahwa harga bahan bakar bakal dinaikkan lagi. Naiknya edan-edanan pula.

Bensin oktan 92, misalnya, melonjak dari Rs 50 menjadi Rs 470 per liter dan bensin oktan 95 dari Rs 100 menjadi Rs 550 per liter. Auto diesel juga melonjak dari Rs 60 menjadi Rs 460 per liter dan super diesel Rs 75 jadi Rs 520 per liter.

Itu pun peruntukannya diprioritaskan untuk transportasi umum, pembangkit listrik, dan industri. Patah semangat, setelah sekitar 30 jam berjuang di antrean yang mengulur sampai sepanjang 3–4 kilometer, Nani akhirnya memutuskan pulang tanpa setetes BBM pun bisa didapat.

’’Kondisi di Sri Lanka sekarang lebih gawat dibanding dengan Mei lalu waktu kita bicara,’’ ujar Nani ketika dihubungi Jawa Pos untuk kali kedua Minggu (26/6) lalu.   

Di kesempatan pertama pada 31 Mei lalu, Nani menyebut situasi krisis di Sri Lanka masih cukup bisa dikendalikan. Namun, semuanya berubah drastis saat ini.

Pada Mei lalu itu pula, untuk kali pertama sepanjang sejarah, Sri Lanka gagal membayar utang luar negerinya. Pemerintahan Mahinda Rajapaksa, yang kemudian dipaksa mundur dari kursi kepresidenan pada 9 Mei lalu dan digantikan sang adik, Gotabaya Rajapaksa, menyebut pandemi Covid-19 sebagai biang keterpurukan. Pagebluk tersebut mengakibatkan turis enggan berkunjung. Padahal, turisme adalah pendapatan andalan negeri tetangga India tersebut.

Baca Juga :  Monyet-Monyet Liar pun Sering Temani Peselancar Menunggu Ombak 

Rangkaian pengeboman gereja di negeri berpenduduk 21 juta jiwa itu pada 2019 turut memperburuk keadaan. Tapi, mengutip BBC, banyak analis yang meyakini mismanajemen perekonomianlah yang jadi sumber utama kebangkrutan Sri Lanka saat ini.

Sejak perang saudara melawan pemberontak Tamil selesai pada 2009, negeri yang dulu bernama Ceylon itu lebih fokus pada penyediaan suplai makanan di dalam negeri, tak menyisakan banyak untuk impor. Jadilah cadangan devisa Sri Lanka kempes dan habis untuk membiayai impor yang biayanya kian mencekik.   ’’Sri Lanka sudah tidak punya reserve fuel (cadangan bahan bakar) lagi,’’ kata Nani.

BBM bukan satu-satunya persoalan yang dihadapi siapa saja yang tinggal di Sri Lanka sekarang. Pembelian beras lokal dibatasi hanya 2 kg. Padahal, dulu negeri tersebut dikenal sebagai lumbung padi. Tarif transportasi umum juga dinaikkan menjadi tiga kali lipat. Belum lagi pemadaman listrik yang dilakukan bergilir.

Sebagai pemilik restoran khas Indonesia bernama Far East Indonesian Cuisine, Nani pun sulit mencari bahan baku makanan. ’’Nyari kecap (produk Indonesia) saja susah sekarang, jadi saya berusaha bikin kecap manis sendiri walaupun rasanya tidak sama. Saya selalu bilang ke customer ’you know, kita nggak ada imported kecap manis’,’’ tuturnya.

Far East Indonesian Cuisine berada di salah satu pusat perbelanjaan di episentrum krisis Sri Lanka. Meski begitu, Nani bersyukur omzet jualannya tak banyak berkurang. Menurut dia, masyarakat menengah ke atas yang menjadi pelanggan masih bisa relatif leluasa melakukan aktivitas harian.

’’Orang-orang kaya di sini itu ndak masalah kalau harga dinaikkan. Mereka juga tetap belanja, bisa ke mal. Tapi, yang ekonomi bawah itu yang benar-benar ketampar sama krisis ini,’’ jelasnya.

Ada 300–350 WNI di Sri Lanka. Di Tengalle, hampir 200 km jaraknya dari ibu kota Kolombo, I Gusti Nyoman Parta Karminawati juga merasakan dampak krisis ekonomi. Di wilayah selatan Sri Lanka itu, Parta menceritakan sedang diberlakukan kunci sementara (lockdown).

Kebijakan yang ditetapkan sejak 23 Juni 2022 itu diambil untuk membatasi mobilitas karena ketiadaan BBM. ’’Lockdown dilakukan sampai dua pekan ke depan. Di sini (Tengalle) juga sama seperti di Kolombo, orang ngantre BBM sampai tiga hari belum tentu dapat,’’ ungkapnya kepada Jawa Pos.

Baca Juga :  Kehadiran Pemerintah dalam Menjawab Kebutuhan Masyarakat Lebih Terasa

Parta yang bekerja di Anantara Peace Haven Tangalle Resort menjelaskan, setiap hari dirinya tetap bekerja seperti biasa. Namun, nahas bagi rekan-rekannya yang warga lokal. Rata-rata mereka dirumahkan.

Padahal, gaji warga lokal sebenarnya sudah terbilang minim. ’’Gaji teman-teman di sini itu less than USD 100 (sekitar Rp 1,4 juta, kurs Rp 14.850, Red). Sedangkan harga bahan pokok di sini itu naik semua,” katanya.

Dia memberi contoh beras yang dulu per kilogram itu Rs 150 sekarang jadi Rs 600. ’’Jadi, umur gaji mereka paling hanya satu mingguan,’’ ujar perempuan asal Bali itu.

Parta mengaku masih beruntung. Sebab, gaji yang diterimanya jauh di atas warga lokal. Apalagi, karena bekerja di hotel, kebutuhan sehari-harinya dicukupi oleh manajemen.

Meski demikian, Parta tak mau mendayung di tengah arus luka orang lain. Belum lama ini, pihak hotel memberinya sebuah voucher senilai Rs 10 ribu yang bisa ditukarkan untuk membeli bahan pokok. ’’Saya ke minimarket, saya tukarkan voucher itu, beli beras, dan lainnya. Lalu, saya berikan semuanya ke warga yang membutuhkan. Bukan saya artinya tidak butuh, tapi mereka jauh lebih butuh daripada saya,’’ tutur perempuan 31 tahun itu.

Sri Lanka, lanjut Parta, sejatinya negeri yang dianugerahi kecantikan alam. Tapi, krisis yang pemicunya kompleks memukul negara tersebut sampai terhuyung-huyung, khususnya industri pariwisata.

Di Kandy, kota terbesar kedua setelah Kolombo, Dwi Nur Aini, perempuan Indonesia lainnya, mengaku mulai merasakan cikal bakal krisis sejak tahun lalu. Dan makin memburuk per Februari lalu. ’’Mulai ada pemadaman listrik bergilir. Ada abjadnya, hari ini wilayah apa, besok apa,’’ jelas Dwi yang sekarang sudah balik ke tanah air setelah menyelesaikan studinya.

Hingga suatu hari ada pemadaman listrik sampai 13 jam. Kesabaran rakyat pun habis. Mereka lantas turun ke jalan.

’’Sebetulnya warga di Sri Lanka itu sangat ramah, baik-baik orangnya. Ya karena pemerintahnya yang ruwet, jadi kondisinya makin parah,’’ kata perempuan yang lebih dari empat tahun tinggal di Sri Lanka itu. (*/c17/ttg/JPG)

Pengalaman Sejumlah Perempuan Indonesia di Tengah Krisis Ekonomi Sri Lanka

Ada yang berjuang puluhan jam mendapatkan bahan bakar, ada yang mengalami pemadaman listrik sampai 13 jam, dan ada pula yang membelanjakan voucher dari tempat kerja untuk dibagikan warga lokal. 

DINDA JUWITA, Jakarta

TAK terhitung berapa kali Nani Melani de Silva bolak-balik dari tempat mobilnya antre BBM ke rumahnya. Entah untuk ke toilet, mengambil penganan, atau meracik kopi. Saking lamanya dia berjuang mendapatkan bahan bakar di SPBU yang berjarak sekitar 500 meter dari kediamannya di Kolombo, Sri Lanka.

Negeri Asia Selatan itu tengah dihantam krisis ekonomi terburuk sejak memproklamasikan kemerdekaan pada 1948. Harga barang-barang kebutuhan pokok meroket, pemadaman listrik di mana-mana, sekolah-sekolah diliburkan, dan bahan bakar sulit didapat.

Nani, warga negara Indonesia (WNI) yang bersuami warga Sri Lanka, antre sejak Sabtu (25/6) pagi. Memasuki dini hari, di tengah jam-jam menanti BBM itu, Nani yang sudah 40 tahun tinggal di negeri bekas jajahan Belanda dan Inggris tersebut mendengar kabar bahwa harga bahan bakar bakal dinaikkan lagi. Naiknya edan-edanan pula.

Bensin oktan 92, misalnya, melonjak dari Rs 50 menjadi Rs 470 per liter dan bensin oktan 95 dari Rs 100 menjadi Rs 550 per liter. Auto diesel juga melonjak dari Rs 60 menjadi Rs 460 per liter dan super diesel Rs 75 jadi Rs 520 per liter.

Itu pun peruntukannya diprioritaskan untuk transportasi umum, pembangkit listrik, dan industri. Patah semangat, setelah sekitar 30 jam berjuang di antrean yang mengulur sampai sepanjang 3–4 kilometer, Nani akhirnya memutuskan pulang tanpa setetes BBM pun bisa didapat.

’’Kondisi di Sri Lanka sekarang lebih gawat dibanding dengan Mei lalu waktu kita bicara,’’ ujar Nani ketika dihubungi Jawa Pos untuk kali kedua Minggu (26/6) lalu.   

Di kesempatan pertama pada 31 Mei lalu, Nani menyebut situasi krisis di Sri Lanka masih cukup bisa dikendalikan. Namun, semuanya berubah drastis saat ini.

Pada Mei lalu itu pula, untuk kali pertama sepanjang sejarah, Sri Lanka gagal membayar utang luar negerinya. Pemerintahan Mahinda Rajapaksa, yang kemudian dipaksa mundur dari kursi kepresidenan pada 9 Mei lalu dan digantikan sang adik, Gotabaya Rajapaksa, menyebut pandemi Covid-19 sebagai biang keterpurukan. Pagebluk tersebut mengakibatkan turis enggan berkunjung. Padahal, turisme adalah pendapatan andalan negeri tetangga India tersebut.

Baca Juga :  Produk Bagus Harus Didaftarkan Mereknya, Supaya Makin Banyak Produk Unggulan

Rangkaian pengeboman gereja di negeri berpenduduk 21 juta jiwa itu pada 2019 turut memperburuk keadaan. Tapi, mengutip BBC, banyak analis yang meyakini mismanajemen perekonomianlah yang jadi sumber utama kebangkrutan Sri Lanka saat ini.

Sejak perang saudara melawan pemberontak Tamil selesai pada 2009, negeri yang dulu bernama Ceylon itu lebih fokus pada penyediaan suplai makanan di dalam negeri, tak menyisakan banyak untuk impor. Jadilah cadangan devisa Sri Lanka kempes dan habis untuk membiayai impor yang biayanya kian mencekik.   ’’Sri Lanka sudah tidak punya reserve fuel (cadangan bahan bakar) lagi,’’ kata Nani.

BBM bukan satu-satunya persoalan yang dihadapi siapa saja yang tinggal di Sri Lanka sekarang. Pembelian beras lokal dibatasi hanya 2 kg. Padahal, dulu negeri tersebut dikenal sebagai lumbung padi. Tarif transportasi umum juga dinaikkan menjadi tiga kali lipat. Belum lagi pemadaman listrik yang dilakukan bergilir.

Sebagai pemilik restoran khas Indonesia bernama Far East Indonesian Cuisine, Nani pun sulit mencari bahan baku makanan. ’’Nyari kecap (produk Indonesia) saja susah sekarang, jadi saya berusaha bikin kecap manis sendiri walaupun rasanya tidak sama. Saya selalu bilang ke customer ’you know, kita nggak ada imported kecap manis’,’’ tuturnya.

Far East Indonesian Cuisine berada di salah satu pusat perbelanjaan di episentrum krisis Sri Lanka. Meski begitu, Nani bersyukur omzet jualannya tak banyak berkurang. Menurut dia, masyarakat menengah ke atas yang menjadi pelanggan masih bisa relatif leluasa melakukan aktivitas harian.

’’Orang-orang kaya di sini itu ndak masalah kalau harga dinaikkan. Mereka juga tetap belanja, bisa ke mal. Tapi, yang ekonomi bawah itu yang benar-benar ketampar sama krisis ini,’’ jelasnya.

Ada 300–350 WNI di Sri Lanka. Di Tengalle, hampir 200 km jaraknya dari ibu kota Kolombo, I Gusti Nyoman Parta Karminawati juga merasakan dampak krisis ekonomi. Di wilayah selatan Sri Lanka itu, Parta menceritakan sedang diberlakukan kunci sementara (lockdown).

Kebijakan yang ditetapkan sejak 23 Juni 2022 itu diambil untuk membatasi mobilitas karena ketiadaan BBM. ’’Lockdown dilakukan sampai dua pekan ke depan. Di sini (Tengalle) juga sama seperti di Kolombo, orang ngantre BBM sampai tiga hari belum tentu dapat,’’ ungkapnya kepada Jawa Pos.

Baca Juga :  Monyet-Monyet Liar pun Sering Temani Peselancar Menunggu Ombak 

Parta yang bekerja di Anantara Peace Haven Tangalle Resort menjelaskan, setiap hari dirinya tetap bekerja seperti biasa. Namun, nahas bagi rekan-rekannya yang warga lokal. Rata-rata mereka dirumahkan.

Padahal, gaji warga lokal sebenarnya sudah terbilang minim. ’’Gaji teman-teman di sini itu less than USD 100 (sekitar Rp 1,4 juta, kurs Rp 14.850, Red). Sedangkan harga bahan pokok di sini itu naik semua,” katanya.

Dia memberi contoh beras yang dulu per kilogram itu Rs 150 sekarang jadi Rs 600. ’’Jadi, umur gaji mereka paling hanya satu mingguan,’’ ujar perempuan asal Bali itu.

Parta mengaku masih beruntung. Sebab, gaji yang diterimanya jauh di atas warga lokal. Apalagi, karena bekerja di hotel, kebutuhan sehari-harinya dicukupi oleh manajemen.

Meski demikian, Parta tak mau mendayung di tengah arus luka orang lain. Belum lama ini, pihak hotel memberinya sebuah voucher senilai Rs 10 ribu yang bisa ditukarkan untuk membeli bahan pokok. ’’Saya ke minimarket, saya tukarkan voucher itu, beli beras, dan lainnya. Lalu, saya berikan semuanya ke warga yang membutuhkan. Bukan saya artinya tidak butuh, tapi mereka jauh lebih butuh daripada saya,’’ tutur perempuan 31 tahun itu.

Sri Lanka, lanjut Parta, sejatinya negeri yang dianugerahi kecantikan alam. Tapi, krisis yang pemicunya kompleks memukul negara tersebut sampai terhuyung-huyung, khususnya industri pariwisata.

Di Kandy, kota terbesar kedua setelah Kolombo, Dwi Nur Aini, perempuan Indonesia lainnya, mengaku mulai merasakan cikal bakal krisis sejak tahun lalu. Dan makin memburuk per Februari lalu. ’’Mulai ada pemadaman listrik bergilir. Ada abjadnya, hari ini wilayah apa, besok apa,’’ jelas Dwi yang sekarang sudah balik ke tanah air setelah menyelesaikan studinya.

Hingga suatu hari ada pemadaman listrik sampai 13 jam. Kesabaran rakyat pun habis. Mereka lantas turun ke jalan.

’’Sebetulnya warga di Sri Lanka itu sangat ramah, baik-baik orangnya. Ya karena pemerintahnya yang ruwet, jadi kondisinya makin parah,’’ kata perempuan yang lebih dari empat tahun tinggal di Sri Lanka itu. (*/c17/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya