“Otsus rupanya tak bisa berorientasi pada perdamaian. Bahkan tim dialog yang dibentuk mantan Presiden Habibie, SBY hingga Jokowi tidak bisa menghentikan konflik yang terjadi di Tanah Papua,” kata Frits kepada Cenderawasih Pos, Minggu (25/5).
Nah, yang paling strategis menurut Frits adalah kepolisian yang setiap tahunnya dalam penerimaan Polri ada kuota 60 hingga 70 persen untuk OAP. Dengan banyak merekrut anak Papua sebagai polisi, maka menjadi potensi untuk pendidikan konflik.
Karena itu, Frits mendorong buku ’Polisi OAP Sebuah Jembatan Baru Merebut Kepercayaan Orang Papua dan Memitigasi Konflik’ agar bagaimana anak Papua yang sudah direkrut dan yang sudah berdinas ke depannya memiliki kemampuan lebih dalam rangka memberikan pendidikan konflik yang mampu merubah konflik kekerasan menjadi konflik yang lebih berpartisipatif. “Itu yang melatar belakangi penulisan buku ini,” ujarnya.
Melalui buku ini, ada ribuan anak-anak Papua yang diharapkan ketika mereka kembali ke kampung maka dia menjadi fasilitator sekaligus inspirator dan penggerak pembangunan ekonomi, pendidikan dan kesejahteraan di kampung mereka.
Tak hanya itu, anggota polisi saat pulang ke kampungnya tidak harus menenteng senjata. Namun melakukan pendekatan yang lebih partisipatif dan humanis untuk mereduksi potensi-potensi konflik kekerasan.
“Di Papua saat ini bukan soal konflik kelompok sipil bersenjata, angkat senjata saja, namun bagaimana dia melihat potensi-potensi misalnya problema agraria, kehutanan, pertanian dan persoalan lainnya,” terangnya.
Melalui buku ini juga, Frits ingin memberikan sebuah jawaban tetapi juga mitigasi konflik kepada orang Indonesia non Papua yang ada di Papua. Bahwa kesempatan harus diberikan kepada anak-anak Papua.
Anak-anak Papua harus dihargai dan kemudian mereka didukung supaya lebih berkemampuan dalam rangka kembali ke kampung untuk bekerja.
“Kami harap para pembaca buku ini secara moral dan materil memberi dukungan kepada OAP di kepolisian. Lainnya, buku ini juga menjadi triger di instansi lainnya termasuk TNI untuk memberikan alokasi kepada OAP dalam jumlah yang banyak. Tetapi harus mempertimbangkan aspek kultural, kearifan lokal tapi juga bagaimana mengembangkan pola moderasi,” bebernya.