Monday, November 25, 2024
25.7 C
Jayapura

Diberi Nama Oleh Seorang Kapten, Toko Massar Dikenal Es Krimnya

Napak Tilas Lokasi Bersejarah yang Menjadi Saksi Bisu Terbentuknya Kota Jayapura

Kota Jayapura menjadi satu daerah yang sempat didarati penjajah. Mulai dari Belanda hingga Jepang. Ada sejumlah tempat atau situs dan bekas-bekas peninggalan yang masih ada hingga kini. Hanya sayangnya, tak terjaga dan banyak yang rusak.

Laporan: Abdel Gamel Naser – Jayapura

Ada kalimat bijak yang menyebut, belajarlah dari masa lalu untuk menata masa depan. Bahkan sang proklamator bangsa, Bung Karno mengingatkan untuk jangan sekali – kali melupakan sejarah.

   Begitu juga yang disampaikan Matin Luther King, Jr bahwa kita  bukan pembuat sejarah tetapi kita dibuat sejarah. Pentingnya sejarah untuk membentuk peradaban yang jauh lebih baik ke depan. Jayapura bukan tidak memiliki jejak sejarah. Masih ada sejumlah lokasi dan spot yang menjadi saksi biru lahirnya sebuah peradaban.

   Hanya sayangnya  dari sekian banyak lokasi tersebut  sebagian besar tak terawat dan  rusak tanpa ada upaya untuk memperbaiki atau memugar agar bisa tetap diketahui. “Memang cukup disayangkan, kalau kondisinya masih seperti ini, maka bangunan atau situs sejarah akan hilang dengan sendirinya,” kata Marzuki Jafar, Wakil Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Provinsi Papua,  Rabu (23/3).

    Marzuki sendiri kelahiran tahun 1960-an yang sejak kecil sudah tinggal di Jayapura. Jayapura sendiri terbentuk pada 1910 dengan nama Hollandia berdasarkan besleit atau surat keputusan Gubernur Hindia Belanda No 4 tanggal 28 Agustus 1909. Kota Jayapura masuk dalam pemerintahan Belanda dengan fungsi awal, yaitu untuk mengatur strategi perang pada masa itu (PD-II) oleh tentara Hindia Belanda.

   Menariknya dari berbagai literasi menyebutkan bahwa Kota Jayapura didirikan oleh Kapten Infanteri F.J.P Sachse dari kerajaan Belanda pada 7 Maret 1910. Kemudian dari tahun 1910 ke 1962  kota ini dikenal sebagai Hollandia dan merupakan ibu kota distrik.  Namun setelah Belanda menyerahkan Irian Jaya (Papua saat itu) ke UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) terjadi perubahan penamaan.

   Diubah menjadi Kota Baru. Hanya saja nama ini kembali berubah, diganti menjadi Soekarnopura. Nah Presiden pertama, Bung Karno juga pernah menginjakkan kaki di kota ini pada 7 Mei 1963. Tepatnya di Jl Irian atau di depan Gedung Kesenian Jayapura.

   “Ada kekhawatiran bahwa jejak yang dulu sangat kuat akhirnya hilang akibat tidak diperhatikan. Ini harus kita akui,” beber Marzuki.

Baca Juga :  Total Parkiran 6 Hektare, Helipad di Sisi Kiri Aula

   Iapun mulai meniti beberapa titik  sejarah tersebut yang dimulai dari titik nol Kota Jayapura, Taman Imbi. Di lokasi ini kata Marzuki ada Tugu Yos Sudarso yang menjadi saksi bisu pertempuran di Laut Aru pada tahun 1962 antara Indonesia dan Belanda. Di sini dibangun tugu sang nahkoda KRI Macan Tutul, Laksmana Madya TNI Yosaphat Soedarso yang dikenal Yosudarso. Hanya saja ada banyak bagian yang terbiar akhirnya rusak. Salah satunya adalah nama – nama prajurit yang ada di atas KRI tersebut.

   Tempatnya juga pernah dibuat  café, namun kini rusak dan tidak digunakan. Taman Imbi juga sempat menjadi satu tempat yang kerap dipakai untuk hal – hal negatif. Untungnya kini mulai “dimasuki” Ekenomi kreatif (Ekraf)  Kota Jayapura sehingga nampak lebih hidup. Menurut Marzuki tugu titik nol ini sepatutnya dirawat sebaik mungkin. Sama seperti spot lainnya yang memiliki nilai sejarah.

   “Saya juga melihat masih jarang atau hampir tidak ada anak – anak sekolah yang diajar tour untuk melihat tempat-tempat bersejarah di kota mereka, padahal ada nilai edukasi yang sangat baik yang bisa ditanamkan,” beber Marzuki.

   Lalu lokasi lain yang masih di sekitar Taman Imbi adalah Gedung Sarinah. Sarinah sendiri menjadi swalayan pertama pribumi di era penjajahan atau kemerdekaan. Akan tetapi sekali lagi bangunan Sarinah kini berubah fungsi. Menjadi Kantor Bawaslu dan tulisan Sarinah tersebut tertutup sebuah bangunan yang sempat dipakai sebagai warung minuman kesehatan.

  Lalu Gedung Kesenian, Gedung Percetakan Sinode di Klofkam atau samping POM. Kemudian Gedung Gramedia atau Labor yang juga sudah dilakukan pemugaran.

  “Yang saya tahu hanya tersisa prasasti. Di sekitar Gramedia ini juga terhubung Toko Makassar yang pemiliknya Peranakan Cina – Makassar makanya dinamakan Toko Massar,” cerita Marzuki.

   Kata pria pemilik Belantara Bunga ini, toko Makassar dulunya terkenal dengan es krimnya. Kadang anak – anak sekolah senang sekali ke toko ini karena es krimya enak. Lalu  yang masih berjejer dengan bangunan Toko Massar adalah SPBU yang disebut dulunya dimiliki oleh putera daerah.

   “Iya itu SPBU pertama sepertinya, dulunya disebut Shell dan Pak Numberi pemiliknya, tapi tempat ini kini dijadikan tempat –tempat sol sepatu. Ada juga bangunan Merpati yang sebelumnya dikelola oleh British Air Ways,” sambungnya.

   Ada juga gedung St Fransiscus Katedal disamping RS Provita yang menjadi bangunan lama di Jayapua termasuk Tugu Pepera dan makam  muslim  tua di APO Bukit Barisan. “Yang saya tahu di Polimak 4 juga ada barak –  barak pegawai – pegawai yang bekerja di era Belanda ketika itu. Bangunan ini setahu saya masih ada,” bebernya. Kemudian ke arah Hamadi disebut ada tugu pendaratan sekutu.

Baca Juga :  Latih 17.394 Tim Pendamping Keluarga, Indentifikasi Resiko Terjadinya Stunting

   “Tapi sekali lagi tugu ini seperti dibiarkan  begitu saja. Paling hanya dibersihkan,” sindir Marzuki.

   Untuk lokasi sekitar Paldam dikatakan di di belakang Hotel Triton, ada masjid tua yang disebut – sebut masjid pertama di Jayapura. “Tapi jangan lupa gedung SMA Gabungan itu juga bagian dari sejarah dan gedung gereja pengharapan,” papar Marzuki.

  Bahkan konon kabarnya bangunan Gereja Pengharapan ini dibangun dengan andil warga asal Buton, Tidore, Sulawesi. “Saya pikir jejak – jejak peradaban soal kontribusi warga dari Buton, Tidore dan Ternate itu jelas. Mereka punya makam tua di APO dan dulunya mereka masuk karena  berdagang. Daerah pelabuhan paling banyak,” imbuhnya.

   Marzuki yang juga suka memotret ini menyatakan bahwa  masih banyak lokasi sejarah lain di wilayah Jayapura Utara, Distrik Abepura maupun Muara Tami yang hingga kini belum terdata dengan baik. Ia menyarankan pemerintah kota bisa berinisiatif memproteksi lokasi – lokasi di atas.

    “Memang di Jayapura ini tak ada kelompok atau komunitas heritage atau pemerhati yang memang mempertahankan tempat – tempat bersejarah. Dinas pariwisata yang saya pikir harus berdiri di depan,  ini bisa dikelola menjadi spot wisata maupun edukasi bagi anak – anak sekolah. Jangan justru dibiarkan dan akhirnya hilang,” katanya.

    Ia mencontohkan bahwa kota Paris, perancis justru dikenal karena banyak bangunan tua dan kuliner. Harusnya Jayapura bisa memikirkan  hal tersebut. “Orang pikun itu ibarat orang gila karena tidak ada lagi yang diingat. Nah kalau mau dikaitkan dengan tempat sejarah, jika tak ada lagi tempat yang bisa dijadikan rujukan, maka kota ini seperti kota yang sudah mau gila karena tidak ada tempat untuk mengingat sejarah,” singgung Marzuki.

   “Kalau perlu gedung lama DPR Papua bagian depan itu dijadikan museum saja. Tapi ini kembali ke pemimpin kita, mau memikirkan ke arah sana atau tidak,” tutup Marzuki. (*/tri)

Napak Tilas Lokasi Bersejarah yang Menjadi Saksi Bisu Terbentuknya Kota Jayapura

Kota Jayapura menjadi satu daerah yang sempat didarati penjajah. Mulai dari Belanda hingga Jepang. Ada sejumlah tempat atau situs dan bekas-bekas peninggalan yang masih ada hingga kini. Hanya sayangnya, tak terjaga dan banyak yang rusak.

Laporan: Abdel Gamel Naser – Jayapura

Ada kalimat bijak yang menyebut, belajarlah dari masa lalu untuk menata masa depan. Bahkan sang proklamator bangsa, Bung Karno mengingatkan untuk jangan sekali – kali melupakan sejarah.

   Begitu juga yang disampaikan Matin Luther King, Jr bahwa kita  bukan pembuat sejarah tetapi kita dibuat sejarah. Pentingnya sejarah untuk membentuk peradaban yang jauh lebih baik ke depan. Jayapura bukan tidak memiliki jejak sejarah. Masih ada sejumlah lokasi dan spot yang menjadi saksi biru lahirnya sebuah peradaban.

   Hanya sayangnya  dari sekian banyak lokasi tersebut  sebagian besar tak terawat dan  rusak tanpa ada upaya untuk memperbaiki atau memugar agar bisa tetap diketahui. “Memang cukup disayangkan, kalau kondisinya masih seperti ini, maka bangunan atau situs sejarah akan hilang dengan sendirinya,” kata Marzuki Jafar, Wakil Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Provinsi Papua,  Rabu (23/3).

    Marzuki sendiri kelahiran tahun 1960-an yang sejak kecil sudah tinggal di Jayapura. Jayapura sendiri terbentuk pada 1910 dengan nama Hollandia berdasarkan besleit atau surat keputusan Gubernur Hindia Belanda No 4 tanggal 28 Agustus 1909. Kota Jayapura masuk dalam pemerintahan Belanda dengan fungsi awal, yaitu untuk mengatur strategi perang pada masa itu (PD-II) oleh tentara Hindia Belanda.

   Menariknya dari berbagai literasi menyebutkan bahwa Kota Jayapura didirikan oleh Kapten Infanteri F.J.P Sachse dari kerajaan Belanda pada 7 Maret 1910. Kemudian dari tahun 1910 ke 1962  kota ini dikenal sebagai Hollandia dan merupakan ibu kota distrik.  Namun setelah Belanda menyerahkan Irian Jaya (Papua saat itu) ke UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) terjadi perubahan penamaan.

   Diubah menjadi Kota Baru. Hanya saja nama ini kembali berubah, diganti menjadi Soekarnopura. Nah Presiden pertama, Bung Karno juga pernah menginjakkan kaki di kota ini pada 7 Mei 1963. Tepatnya di Jl Irian atau di depan Gedung Kesenian Jayapura.

   “Ada kekhawatiran bahwa jejak yang dulu sangat kuat akhirnya hilang akibat tidak diperhatikan. Ini harus kita akui,” beber Marzuki.

Baca Juga :  Pertegas di Vietnam dan Tekan Seminim Mungkin 3C

   Iapun mulai meniti beberapa titik  sejarah tersebut yang dimulai dari titik nol Kota Jayapura, Taman Imbi. Di lokasi ini kata Marzuki ada Tugu Yos Sudarso yang menjadi saksi bisu pertempuran di Laut Aru pada tahun 1962 antara Indonesia dan Belanda. Di sini dibangun tugu sang nahkoda KRI Macan Tutul, Laksmana Madya TNI Yosaphat Soedarso yang dikenal Yosudarso. Hanya saja ada banyak bagian yang terbiar akhirnya rusak. Salah satunya adalah nama – nama prajurit yang ada di atas KRI tersebut.

   Tempatnya juga pernah dibuat  café, namun kini rusak dan tidak digunakan. Taman Imbi juga sempat menjadi satu tempat yang kerap dipakai untuk hal – hal negatif. Untungnya kini mulai “dimasuki” Ekenomi kreatif (Ekraf)  Kota Jayapura sehingga nampak lebih hidup. Menurut Marzuki tugu titik nol ini sepatutnya dirawat sebaik mungkin. Sama seperti spot lainnya yang memiliki nilai sejarah.

   “Saya juga melihat masih jarang atau hampir tidak ada anak – anak sekolah yang diajar tour untuk melihat tempat-tempat bersejarah di kota mereka, padahal ada nilai edukasi yang sangat baik yang bisa ditanamkan,” beber Marzuki.

   Lalu lokasi lain yang masih di sekitar Taman Imbi adalah Gedung Sarinah. Sarinah sendiri menjadi swalayan pertama pribumi di era penjajahan atau kemerdekaan. Akan tetapi sekali lagi bangunan Sarinah kini berubah fungsi. Menjadi Kantor Bawaslu dan tulisan Sarinah tersebut tertutup sebuah bangunan yang sempat dipakai sebagai warung minuman kesehatan.

  Lalu Gedung Kesenian, Gedung Percetakan Sinode di Klofkam atau samping POM. Kemudian Gedung Gramedia atau Labor yang juga sudah dilakukan pemugaran.

  “Yang saya tahu hanya tersisa prasasti. Di sekitar Gramedia ini juga terhubung Toko Makassar yang pemiliknya Peranakan Cina – Makassar makanya dinamakan Toko Massar,” cerita Marzuki.

   Kata pria pemilik Belantara Bunga ini, toko Makassar dulunya terkenal dengan es krimnya. Kadang anak – anak sekolah senang sekali ke toko ini karena es krimya enak. Lalu  yang masih berjejer dengan bangunan Toko Massar adalah SPBU yang disebut dulunya dimiliki oleh putera daerah.

   “Iya itu SPBU pertama sepertinya, dulunya disebut Shell dan Pak Numberi pemiliknya, tapi tempat ini kini dijadikan tempat –tempat sol sepatu. Ada juga bangunan Merpati yang sebelumnya dikelola oleh British Air Ways,” sambungnya.

   Ada juga gedung St Fransiscus Katedal disamping RS Provita yang menjadi bangunan lama di Jayapua termasuk Tugu Pepera dan makam  muslim  tua di APO Bukit Barisan. “Yang saya tahu di Polimak 4 juga ada barak –  barak pegawai – pegawai yang bekerja di era Belanda ketika itu. Bangunan ini setahu saya masih ada,” bebernya. Kemudian ke arah Hamadi disebut ada tugu pendaratan sekutu.

Baca Juga :  Akibat Pandemi Target PAD Tidak Tercapai, Pansus Diharap Beri Masukan

   “Tapi sekali lagi tugu ini seperti dibiarkan  begitu saja. Paling hanya dibersihkan,” sindir Marzuki.

   Untuk lokasi sekitar Paldam dikatakan di di belakang Hotel Triton, ada masjid tua yang disebut – sebut masjid pertama di Jayapura. “Tapi jangan lupa gedung SMA Gabungan itu juga bagian dari sejarah dan gedung gereja pengharapan,” papar Marzuki.

  Bahkan konon kabarnya bangunan Gereja Pengharapan ini dibangun dengan andil warga asal Buton, Tidore, Sulawesi. “Saya pikir jejak – jejak peradaban soal kontribusi warga dari Buton, Tidore dan Ternate itu jelas. Mereka punya makam tua di APO dan dulunya mereka masuk karena  berdagang. Daerah pelabuhan paling banyak,” imbuhnya.

   Marzuki yang juga suka memotret ini menyatakan bahwa  masih banyak lokasi sejarah lain di wilayah Jayapura Utara, Distrik Abepura maupun Muara Tami yang hingga kini belum terdata dengan baik. Ia menyarankan pemerintah kota bisa berinisiatif memproteksi lokasi – lokasi di atas.

    “Memang di Jayapura ini tak ada kelompok atau komunitas heritage atau pemerhati yang memang mempertahankan tempat – tempat bersejarah. Dinas pariwisata yang saya pikir harus berdiri di depan,  ini bisa dikelola menjadi spot wisata maupun edukasi bagi anak – anak sekolah. Jangan justru dibiarkan dan akhirnya hilang,” katanya.

    Ia mencontohkan bahwa kota Paris, perancis justru dikenal karena banyak bangunan tua dan kuliner. Harusnya Jayapura bisa memikirkan  hal tersebut. “Orang pikun itu ibarat orang gila karena tidak ada lagi yang diingat. Nah kalau mau dikaitkan dengan tempat sejarah, jika tak ada lagi tempat yang bisa dijadikan rujukan, maka kota ini seperti kota yang sudah mau gila karena tidak ada tempat untuk mengingat sejarah,” singgung Marzuki.

   “Kalau perlu gedung lama DPR Papua bagian depan itu dijadikan museum saja. Tapi ini kembali ke pemimpin kita, mau memikirkan ke arah sana atau tidak,” tutup Marzuki. (*/tri)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya