Saturday, April 27, 2024
30.7 C
Jayapura

Warga pun Sukarela Sumbang Sepeda Ontel, Pakaian, dan Lampu untuk Properti

Kolaborasi Lintas Komunitas dengan Pemkot Surabaya di Balik ”Koesno”

Lintas komunitas dan Pemkot Surabaya berbagi tugas mencari lokasi syuting, melakukan riset, sampai memasok kru serta pemeran. Ajang pencarian bakat juga dihelat lewat festival film pendek.

UMAR WIRAHADI, Surabaya

KAWASAN Peneleh, Surabaya, sudah diubek-ubek. Tapi, tempat Soekarno dilahirkan itu sudah sangat berubah sekarang. Sulit menghadirkan suasana tempo doeloe di sana.

Padahal, Koesno, film tentang lintasan hidup sang proklamator hasil kolaborasi lintas komunitas dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, jelas sangat membutuhkan suasana lawasan itu. Rumah H.O.S. Tjokroaminoto, mertua sekaligus mentor Soekarno, di kawasan yang sama yang kini menjadi museum juga tidak memungkinkan. ”Setelah ubek-ubek akhirnya ketemulah dua rumah kuno,” kata Andre Arisotya dari Tim Produksi TVRI Jawa Timur.

Keduanya rumah warga di Jalan Pandean Gang I dan Jalan Pelampitan Gang XI, masih di kawasan Peneleh juga. Keduanya masih mempertahankan bagian interior dan eksterior gaya tahun-tahun awal 1900-an. Termasuk beberapa perabotan kuno di dalamnya.

Akhirnya diputuskan rumah di Jalan Pandean Gang I dijadikan sebagai lokasi lahirnya Koesno. Adapun yang di Jalan Pelampitan Gang XI menjadi tempat syuting orang tua menggendong Koesno. ”Jadi, lokasi ini klop,” tutur Andre.

Warga pemilik kedua rumah pun mengikhlaskan. Bahkan, warga sekitar juga turut menyumbang sejumlah properti pendukung secara sukarela. Di antaranya, sepeda ontel tua, tempat tidur, pakaian, serta lampu. Ada pula mimbar tua produksi 1950-an yang dipinjam dari sebuah musala di Kampung Peneleh. ”Semua properti ini gratis,” ujar Andre.

Sebagaimana lazimnya film berlatar sejarah, riset tentu menjadi pilar penting Koesno. Buku-buku yang membincang si Bung Besar selama periode di Surabaya ditelaah. Rentang waktunya mulai masa kelahiran hingga pria yang terlahir dengan nama Koesno itu berusia 21 tahun.

Baca Juga :  Sempat Gugup, Akhirnya Bisa Kalahkan Pesaing dari  Sekolah Unggulan di Jakarta 

Urusan riset ini melibatkan Begandring Soerabaia dengan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair). Founder Begandring Kuncarsono Prasetyo sekaligus bertindak sebagai narator dalam film tersebut.

Dia menceritakan ada belasan buku yang ditelaah. Selain koleksi Begandring dan FIB, pihaknya mendapat sokongan buku dari perpustakaan milik keluarga Roeslan Abdulgani, menteri luar negeri di masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Tidak kurang dari 130-an buku masuk daftar untuk dipelajari. Khusus yang mengisahkan masa kelahiran hingga sekolah di HBS ada sekitar 13 buku.

Termasuk momen pernikahan pertama Bung Karno dengan Oetari, putri H.O.S. Tjokroaminoto. ”Sejak awal ini memang hasil kolaborasi semua pihak,” katanya.

Buku-buku yang dipakai disesuaikan dengan kebutuhan adegan dalam cerita. Salah satunya buku yang ditulis Cindy Adams berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.

Selain setting sepenuhnya di Surabaya, para pemeran dalam film itu menghadirkan warga Kota Pahlawan. Bahkan, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi ikut berperan sebagai Bung Karno saat menjabat presiden. Syuting adegan penyusunan pidato pun dilakukan di Lodji Besar, Jalan Makam Peneleh.

Alhasil, kerja bareng lintas institusi itu berbuah manis dengan ditayangkannya film Koesno di layar lebar pada Minggu (14/8) lalu. Di hari yang sama, film lain yang berkisah tentang Surabaya yang juga ditayangkan adalah Jack.

Film tersebut karya Ainun Ridho, sineas asli Surabaya. Film itu diproduksi 2019 dan sudah ditayangkan di layar lebar. Tapi, di hari yang sama pada Minggu lalu, Jack diputar ulang di bioskop XXI Tunjungan Plaza, Surabaya.

Baca Juga :  IRT dengan 10 Anak, Belajar dari Pengalaman Hidup, Referensinya dari Internet

Pemutaran dua film itu menandai dimulainya program Festival Film Pendek Surabaya (FFPS). Event tersebut digelar Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga serta Pariwisata (Disbudporapar) Kota Surabaya. ”Saat ini sudah dibuka pendaftaran,” kata Kabid Pariwisata Disbudporapar Surabaya Farah Andita Ramdhani.

Pendaftaran dibuka pada 14–27 Agustus. FFPS 2022 adalah ajang pembuatan film pendek tingkat pelajar sampai mahasiswa. Tujuannya, menggali talenta anak muda asli Surabaya.

Event tersebut diproyeksikan bisa menghidupkan industri kreatif Kota Pahlawan. Mulai promosi destinasi wisata, fashion, kriya, hingga kuliner. ”Surabaya sangat kaya dengan potensi ini. Dan, lewat film pendek ini bisa dimaksimalkan,” ujar Farah.

Dosen FIB Unair Kukuh Yudha Karnanta menyebut kolaborasi lintas komunitas dengan Pemkot Surabaya itu momen yang sangat jarang terjadi. ”Antusiasme publik terhadap film bertema Surabaya juga sangat terlihat,” katanya.

FFPS juga diharapkan bisa menjadi trigger bagi kelahiran sineas muda lain dari Surabaya. Karena itu, program tersebut sepakat memilih Jack sebagai salah satu model ”film Suroboyo”, film yang hampir 100 persen Surabaya. Mulai aktor, kru, latar, sampai bahasa . ”Jack adalah film yang Suroboyo nyel,” tutur Kukuh.

Bekerja sama dengan SMK dr Soetomo Surabaya, Jack memotret drama masyarakat perkotaan yang multikultural dibalut dialek, celetukan, dan diksi khas Suroboyoan dengan kualitas sinematografi yang terjaga. ”Lokalitas Suroboyo ini bisa diangkat lagi dalam film yang menarik,” kata Kukuh. (*/c19/ttg/JPG)

Kolaborasi Lintas Komunitas dengan Pemkot Surabaya di Balik ”Koesno”

Lintas komunitas dan Pemkot Surabaya berbagi tugas mencari lokasi syuting, melakukan riset, sampai memasok kru serta pemeran. Ajang pencarian bakat juga dihelat lewat festival film pendek.

UMAR WIRAHADI, Surabaya

KAWASAN Peneleh, Surabaya, sudah diubek-ubek. Tapi, tempat Soekarno dilahirkan itu sudah sangat berubah sekarang. Sulit menghadirkan suasana tempo doeloe di sana.

Padahal, Koesno, film tentang lintasan hidup sang proklamator hasil kolaborasi lintas komunitas dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, jelas sangat membutuhkan suasana lawasan itu. Rumah H.O.S. Tjokroaminoto, mertua sekaligus mentor Soekarno, di kawasan yang sama yang kini menjadi museum juga tidak memungkinkan. ”Setelah ubek-ubek akhirnya ketemulah dua rumah kuno,” kata Andre Arisotya dari Tim Produksi TVRI Jawa Timur.

Keduanya rumah warga di Jalan Pandean Gang I dan Jalan Pelampitan Gang XI, masih di kawasan Peneleh juga. Keduanya masih mempertahankan bagian interior dan eksterior gaya tahun-tahun awal 1900-an. Termasuk beberapa perabotan kuno di dalamnya.

Akhirnya diputuskan rumah di Jalan Pandean Gang I dijadikan sebagai lokasi lahirnya Koesno. Adapun yang di Jalan Pelampitan Gang XI menjadi tempat syuting orang tua menggendong Koesno. ”Jadi, lokasi ini klop,” tutur Andre.

Warga pemilik kedua rumah pun mengikhlaskan. Bahkan, warga sekitar juga turut menyumbang sejumlah properti pendukung secara sukarela. Di antaranya, sepeda ontel tua, tempat tidur, pakaian, serta lampu. Ada pula mimbar tua produksi 1950-an yang dipinjam dari sebuah musala di Kampung Peneleh. ”Semua properti ini gratis,” ujar Andre.

Sebagaimana lazimnya film berlatar sejarah, riset tentu menjadi pilar penting Koesno. Buku-buku yang membincang si Bung Besar selama periode di Surabaya ditelaah. Rentang waktunya mulai masa kelahiran hingga pria yang terlahir dengan nama Koesno itu berusia 21 tahun.

Baca Juga :  Peran Jurnalis Papua Diharap Bisa jadi Perekat dan Pemersatu Bangsa.

Urusan riset ini melibatkan Begandring Soerabaia dengan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair). Founder Begandring Kuncarsono Prasetyo sekaligus bertindak sebagai narator dalam film tersebut.

Dia menceritakan ada belasan buku yang ditelaah. Selain koleksi Begandring dan FIB, pihaknya mendapat sokongan buku dari perpustakaan milik keluarga Roeslan Abdulgani, menteri luar negeri di masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Tidak kurang dari 130-an buku masuk daftar untuk dipelajari. Khusus yang mengisahkan masa kelahiran hingga sekolah di HBS ada sekitar 13 buku.

Termasuk momen pernikahan pertama Bung Karno dengan Oetari, putri H.O.S. Tjokroaminoto. ”Sejak awal ini memang hasil kolaborasi semua pihak,” katanya.

Buku-buku yang dipakai disesuaikan dengan kebutuhan adegan dalam cerita. Salah satunya buku yang ditulis Cindy Adams berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.

Selain setting sepenuhnya di Surabaya, para pemeran dalam film itu menghadirkan warga Kota Pahlawan. Bahkan, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi ikut berperan sebagai Bung Karno saat menjabat presiden. Syuting adegan penyusunan pidato pun dilakukan di Lodji Besar, Jalan Makam Peneleh.

Alhasil, kerja bareng lintas institusi itu berbuah manis dengan ditayangkannya film Koesno di layar lebar pada Minggu (14/8) lalu. Di hari yang sama, film lain yang berkisah tentang Surabaya yang juga ditayangkan adalah Jack.

Film tersebut karya Ainun Ridho, sineas asli Surabaya. Film itu diproduksi 2019 dan sudah ditayangkan di layar lebar. Tapi, di hari yang sama pada Minggu lalu, Jack diputar ulang di bioskop XXI Tunjungan Plaza, Surabaya.

Baca Juga :  IRT dengan 10 Anak, Belajar dari Pengalaman Hidup, Referensinya dari Internet

Pemutaran dua film itu menandai dimulainya program Festival Film Pendek Surabaya (FFPS). Event tersebut digelar Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga serta Pariwisata (Disbudporapar) Kota Surabaya. ”Saat ini sudah dibuka pendaftaran,” kata Kabid Pariwisata Disbudporapar Surabaya Farah Andita Ramdhani.

Pendaftaran dibuka pada 14–27 Agustus. FFPS 2022 adalah ajang pembuatan film pendek tingkat pelajar sampai mahasiswa. Tujuannya, menggali talenta anak muda asli Surabaya.

Event tersebut diproyeksikan bisa menghidupkan industri kreatif Kota Pahlawan. Mulai promosi destinasi wisata, fashion, kriya, hingga kuliner. ”Surabaya sangat kaya dengan potensi ini. Dan, lewat film pendek ini bisa dimaksimalkan,” ujar Farah.

Dosen FIB Unair Kukuh Yudha Karnanta menyebut kolaborasi lintas komunitas dengan Pemkot Surabaya itu momen yang sangat jarang terjadi. ”Antusiasme publik terhadap film bertema Surabaya juga sangat terlihat,” katanya.

FFPS juga diharapkan bisa menjadi trigger bagi kelahiran sineas muda lain dari Surabaya. Karena itu, program tersebut sepakat memilih Jack sebagai salah satu model ”film Suroboyo”, film yang hampir 100 persen Surabaya. Mulai aktor, kru, latar, sampai bahasa . ”Jack adalah film yang Suroboyo nyel,” tutur Kukuh.

Bekerja sama dengan SMK dr Soetomo Surabaya, Jack memotret drama masyarakat perkotaan yang multikultural dibalut dialek, celetukan, dan diksi khas Suroboyoan dengan kualitas sinematografi yang terjaga. ”Lokalitas Suroboyo ini bisa diangkat lagi dalam film yang menarik,” kata Kukuh. (*/c19/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya