Saturday, April 27, 2024
33.7 C
Jayapura

IRT dengan 10 Anak, Belajar dari Pengalaman Hidup, Referensinya dari Internet

Ibu Yuliana Rumaseb, Perempuan Papua Pertama yang Menulis Kamus (Bilingual) Tok Pisin (PNG) -Indonesia

Ia seorang perempuan asli Papua, bukan lulusan perguruan tinggi, bukan seorang ahli bahasa, ia hanya seorang ibu rumah tangga lulusan SMA, namun mampu memberikan sumbangsih besar bagi ilmu pengetahuan literasi dan bahasa dengan berhasil menulis Kamus Dwi Bahasa (bilingual) Papua New Guinea (Tok Pisin)-Indonesia. Dia adalah Yuliana Rumaseb. Berikut penuturannya kepada Lucky Ireeuw-Cenderawasih Pos

————————————————————————————————

Menulis buku cerita, novel, cerpen, atau buku tentang topik tertentu sudah banyak dilakukan oleh penulis di Papua, dan Indonesia. Namun penulis kamus, khususnya Kamus  dalam dua bahasa yang berbeda, pasti tidak banyak penulisnya. Ibu Yuliana Rumaseb bisa menjadi wanita Papua pertama yang menulis kamus dalam 2 bahasa dengan ribuan kata.

Ibu Yuliana bukan ahli bahasa, apalagi mendalami ilmu leksikografi, cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang teknik penyusunan kamus.

Ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa, namun kegigihannya, semangat dan pengalaman hidup selama belasan tahun mendorongnya menulis sebuah kamus dwi bahasa, yakni Tok Pisin (PNG) dan Bahasa Indonesia.

Saat bertemu dengannya, wanita berpenampilan sederhana ini nampak  santai, dipangkuannya ada buku kamus Tok Pisin—Bahasa Indonesia hasil karyanya. Buku berukuran cukup besar dangan warna kuning cerah, tulisan Tok Pisin berwana hitam dan merah dengan gambar bendera PNG, sedangkan tulisan Indonesia berwarna merah putih.

Kamus ini mulai ditulisnya 6 tahun lalu. Berawal dari komunikasi online dalam komunitas di website yaswarau.com ( kini sudah berganti nama) belasan tahun silam, tepatnya sekitar tahun 2006. Dalam komunitas tersebut, terdapat anak-anak Papua dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri. Disana sempat dimunculkan kamus online Tok Pisin, namun karena sering terhapus dan data-datanya hilang, sehingga tidak dilanjutkan berinteraksi disana. Lalu kemudian, bersama sudari perempuanya, Renne, keduanya membuat group di Facebook “ mari belajar bahasa Pidgin PNG”. Anggotanya ribuan. Group FB ini Berjalan beberapa tahun, dan akhirnya tidak dilanjutkan lagi.” Masalahnya, pertanyaan yang sama, diulang—ulang lagi sehigga benar-benar tidak ada kemajuan,” ujarnya.

Dari situlah kemudian muncul ide untuk membuat Kamus Lengkap Tok Pisin-Bahasa Indonesia dalam bentuk buku. Ide ini didukung dua saudaranya Renee dan Gerand yang siap membatu prosesnya. Tepatnya, tahun 2016, ibu Yuliana mulai menulis kamus ini. Mengawalinya juag tidak mudah, ia harus mencari referensi bagaimana menuis kamus dan mempelajari dengan membandingkan beberapa kamus popular yang dia peroleh dari internet, termasuk mempelajari sejarah dari bahasa Pidgin.

“ Tidak ada referensi buku tertentu, saya lalu melalui internet saya dapat 3 kamus online yakni kamus Tok Pisin, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), kamus Glosarium Bahasa Indonesia da nada 2 kamus online lainnya, semuanya saya pakai untuk  bahan perbandingan menulis kamus ini. Disamping itu, referensi dan informasi lain dari sisi sosiologi dan antropologi budaya juga saya pelajari agar sesuai dalam penggunaan dan pemaknaan kata dan kalimat,” jelasnya.   

Membuat kamus Tok Pisin-Indonesia ini cukup unik dan menantang, terutama soal tata bahasa, makna kata dan penggunaannya.  Dalam bahasa Tok Pisin, satu kata bisa mengandung banyak arti, tergantung situasi dan kondisi saat kata itu dipakai.

Baca Juga :  Lebih  Banyak Program Sosial dan Pemberdayan Ekonomi Masyarakat

“ Satu kata bisa sampai lebih dari 20 arti, orang tidak akan akan paham jika kita hanya jelaskan satu arti saja, tetapi harus melihat dulu, kata tersebut dipakai dalam kalimat apa dan dalam situasi apa, artinya bisa berbeda ketika kata yang sama dipakai dalam kalimat yang situasinya berbeda,” ujarnya seraya mencontohkan, kata ‘Kandungan’, dalam Tok Pisin disebut ‘Bilum Bilong Pikikini’ Bilum itu Noken/tas, Bilong: Dari, sementara Pikinini adalah anak. Rangkaian kata ini bisa mempunyai dua arti. Pertama, Noken/tas tempat anak-anak/bayi, bisa juga berarti Kandungan  (perempuan,red).

Dengan situasi tersebut, pekerjaan menyusun kamus ini benar-benar dilakukan dengan cermat, yakni terjemahkan arti, lalu bagaimana menempatkan kata tersebut dalam kalimat, lalu terjemahkan lagi kedalam bahasa Indonesia, jika belum cukup jelas, ditambah dengan menggunakan gambar. “ Berbeda dengan bahasa Indonesia yang sudah punya gramatika yang baku, Tok Pisin belum punya gramatika baku dan terus berkembang, sehingga ini menjadi tantangan dalam penulisan kamus ini,” jelasnya.

Tidak hanya itu, asal sebuah kata juga perlu dipelajari. “ Mengapa kata ini ada, bagaimana kata ini terbentuk, di tempat seperti apa kata ini dimunculkan dan lainnya. Semua itu harus saya pelajari, karena bahasa Tok Pisin sejarahnya lahir karena kebutuhan masyarakat dan terus berkembang terutama digunakan oleh masyarakat akar rumput di PNG,” urai Yuliana.

Dengan banyaknya perberdaan kata dan struktur bahasa yang tidak sama juga, antara kedua Negara,  dirinya berusaha semaksimal mungkin menulis dan menjelaskan setiap kata dan maknanya agar pembaca atau pengguna kamus ini tidak bingung ketika menggunakan Kamus tersebut. “ itu sebabnya kenapa kamus ini tebal, karena isisnya tidak hanya kata dan artinya saja dalam dua bahasa,tetapi ada berbagai macam contoh-contoh kalimat juga  untuk lebih memperjelas,” terannya.

Menurut ibu Yuliana,  kamus yang ditulisnya ini hanya merupakan dasar atau awal saja, kelanjutkan untuk pengembangan dua bahasa ini, saya serahkan ke Universitas Okmin Papua di Pegubin, Universitas Cenderawasih Jayapura dan universitas di Papua New Guinea untuk mengembangkannya.

Keberaniannya menilis kamus ini juga karena Yuliana pernah tinggal di Papua Nugini selama 14 tahun, bekerja mengelola perpustakaan dan sebagai guru, membuatnya benar-benar memahami karakter, budaya dan bahasa Negara tentangga Indonesia itu.  Pengalaman hidup belasan tahun itulah yang menjadi modal ia belajar mengenal Tok Pisin dan kemudian menjadi dorongan menulis kamus Dwi bahasa ini.

“ Saya terdorong dari situasi dimana saya pernah hadapi di Papua New Guinea ketika awal saya ke sana, saya tidak mengerti bahasa pidgin sama sekali, saya bisa lihat orang bicara, mulut mereka komat kamit, tetapi saya punya telinga tuli, mata buta, otak mati. Siapapun dia, pasti alami kondisi yang sama seperti saya, jika tiba di suatu tempat yang dia tidak paham bahasa setempat,  jadi hanya terdorong untuk membantu saja, saja mulai menulis kamus ini,“ jelasnya.

Ditanya, apa tantangan terbesar dalam penulisan kamus ini, perempuan asal Biak yang kini bermukim di Belanda ini mengatakan, membagi waktu adalah tantaangan terbesarnya. Bagaimana mengasuh 10 anak, menyekolahkan, mengawasi, mengerjakan perjaan rumah tangga, tetapi juga kerja sosial yang dirinya harus lakukan setiap hari.

Baca Juga :  Diikuti 34 Tim dari Seluruh Papua, Pemenang Lomba Bisa Masuk Kuliah Tanpa Test

Kadang ia menulis sambil menemani 10 anaknya belajar atau mengerjakan PR. Kadang sampai subuh, saat anak-anaknya nya tidur, dia pun tidur sebentar lalu bangun lagi siapkan sarapan dan bantu siapkan anak-anaknya ke sekolah atau kuliah. Selain itu, dia juga punya kewajiban bekerja social yakni melayani para penyandang cacat. Disela-sela kesibukan itulan dia menulis kamus ini.

“Saya hanya ibu rumah tangga dengan 10 anak, saya juga pekerja sosial, harus benar-benar membagi waktu dengan baik, agar penulisan kamus ini bisa saya selesaikan. Itu tantangan terbesar yang saya hadapi,” ujarnya.

Yuliana lahir  di Manokwari Papua, ia mengenyam pendidikan dasar SD di Bomakia di Mappi, lalu SMP di Boven Dogoel, kemudian dilanjutkan di Sentani.  Tahun 1980an, Yuliana melanjutkan pendidikan di SMA YPPK Santo Agustinus Sorong. Karena mendapat nilai bahasa Jerman yang bagus, dia direkomendasikan untuk melanjutkan pendidikan di Perguruan TInggi Atmajaya Jogyakarta. Yuliana menolak, dan memilih masuk Uncen melalui tes SIPENMARU jurusan Sejarah. Di Uncen, ia tidak menyelesaikan studinya karena situasi dan kondisi saat itu, Yuliana hijrah ke PNG. Kini Yuliana dan keluarganya bermukin di Negeri Kincir Angin Belanda.

Selama 6 tahun menulis ( 2016-2022), Maha karyanya tersebut akhirnya tuntas. Kamus setebal 2.600 halaman (yang kemudian dipadatnya menjadi 1.600 halaman) berisi lebih dari 7.500 kosa kata disertai contoh gambar dan kalimat.

Ditanya, apa yang menjadi motivasi dan semangat sehingga ditengah berbagai tantangan dan kendala, dia bisa menyelesaikan penulisan Kamus ini. Dengan lugas, Yuliana mengatakan, nasihan dan kata-kata ayahnya menjadi motivasi dia menulis hingga selesai. “ Bapa saya selalu bilang, kamu kalau buat sesuatu, jangan umumkan dulu, tetapi jika kamu sudah umumkan ( ke public), kamu harus selesaikan, sebab jika tidak, kamu akan ditertawakan orang, kata-kata ini yang memotivasi saya menuntaskan penulisan kamus ini,” ujarnya.

Yuliana bercerita, penulisan kamus ini dia telah umumkan ke public melalui Facebook beberapa tahun lalu, dan kata-kata ayahnya itu menjadi semangat untuk terus  menulis hingga selesai.

Kamus ini kemudian diberikan kepercayaan kepada Universitas Okmin Papua di Pegunungan Bintang untuk mengurus penerbitannya hingga peluncurkannya yang direncanakan dilakukan tahun 2022 ini.

Baginya, Menulis itu penting, sebab jika Cuma bicara-bicara saja, setelah  orang dengar, pasti orang akan lupa, tetapi dengan menulis akan tersimpan selamanya.” Ketika menulis, semua ide dan pikiran kita terekam dan tersimpan dengan baik, ketika menulis, kita dapat mengirim orang lain untuk masuk kedalam pikiran kita. Ketika kita mampu membukukan tulisan kita, maka sesungguhnya kita telah memperpanjang usia kita puluhan bahkan ratusan tahun kedepan. Jasad kita akan menyatu dengan tanah tetapi pikiran dan jiwa kita mampu hidup di bumi ini berates-ratus tahun  lewat tulisan kita,” ungkapnya.

Yuliana berpesan, kamus ini penting untuk membangun komunikasi, terutama bagi orang Papua (Indonesia)  dan orang Papua New Guinea, tetapi lebih dari itu bagi dunia ilmu pengetahuan di kedua Negara, dan masyarakat internasional. “ Ini tantangan bagi anak muda untuk berkarya. Saya yang hanya seorang ibu rumah tangga memberikan tantangan ini bagi anak-anak muda di Papua untuk maju dan berkarya,” tuturnya.***

Ibu Yuliana Rumaseb, Perempuan Papua Pertama yang Menulis Kamus (Bilingual) Tok Pisin (PNG) -Indonesia

Ia seorang perempuan asli Papua, bukan lulusan perguruan tinggi, bukan seorang ahli bahasa, ia hanya seorang ibu rumah tangga lulusan SMA, namun mampu memberikan sumbangsih besar bagi ilmu pengetahuan literasi dan bahasa dengan berhasil menulis Kamus Dwi Bahasa (bilingual) Papua New Guinea (Tok Pisin)-Indonesia. Dia adalah Yuliana Rumaseb. Berikut penuturannya kepada Lucky Ireeuw-Cenderawasih Pos

————————————————————————————————

Menulis buku cerita, novel, cerpen, atau buku tentang topik tertentu sudah banyak dilakukan oleh penulis di Papua, dan Indonesia. Namun penulis kamus, khususnya Kamus  dalam dua bahasa yang berbeda, pasti tidak banyak penulisnya. Ibu Yuliana Rumaseb bisa menjadi wanita Papua pertama yang menulis kamus dalam 2 bahasa dengan ribuan kata.

Ibu Yuliana bukan ahli bahasa, apalagi mendalami ilmu leksikografi, cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang teknik penyusunan kamus.

Ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa, namun kegigihannya, semangat dan pengalaman hidup selama belasan tahun mendorongnya menulis sebuah kamus dwi bahasa, yakni Tok Pisin (PNG) dan Bahasa Indonesia.

Saat bertemu dengannya, wanita berpenampilan sederhana ini nampak  santai, dipangkuannya ada buku kamus Tok Pisin—Bahasa Indonesia hasil karyanya. Buku berukuran cukup besar dangan warna kuning cerah, tulisan Tok Pisin berwana hitam dan merah dengan gambar bendera PNG, sedangkan tulisan Indonesia berwarna merah putih.

Kamus ini mulai ditulisnya 6 tahun lalu. Berawal dari komunikasi online dalam komunitas di website yaswarau.com ( kini sudah berganti nama) belasan tahun silam, tepatnya sekitar tahun 2006. Dalam komunitas tersebut, terdapat anak-anak Papua dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri. Disana sempat dimunculkan kamus online Tok Pisin, namun karena sering terhapus dan data-datanya hilang, sehingga tidak dilanjutkan berinteraksi disana. Lalu kemudian, bersama sudari perempuanya, Renne, keduanya membuat group di Facebook “ mari belajar bahasa Pidgin PNG”. Anggotanya ribuan. Group FB ini Berjalan beberapa tahun, dan akhirnya tidak dilanjutkan lagi.” Masalahnya, pertanyaan yang sama, diulang—ulang lagi sehigga benar-benar tidak ada kemajuan,” ujarnya.

Dari situlah kemudian muncul ide untuk membuat Kamus Lengkap Tok Pisin-Bahasa Indonesia dalam bentuk buku. Ide ini didukung dua saudaranya Renee dan Gerand yang siap membatu prosesnya. Tepatnya, tahun 2016, ibu Yuliana mulai menulis kamus ini. Mengawalinya juag tidak mudah, ia harus mencari referensi bagaimana menuis kamus dan mempelajari dengan membandingkan beberapa kamus popular yang dia peroleh dari internet, termasuk mempelajari sejarah dari bahasa Pidgin.

“ Tidak ada referensi buku tertentu, saya lalu melalui internet saya dapat 3 kamus online yakni kamus Tok Pisin, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), kamus Glosarium Bahasa Indonesia da nada 2 kamus online lainnya, semuanya saya pakai untuk  bahan perbandingan menulis kamus ini. Disamping itu, referensi dan informasi lain dari sisi sosiologi dan antropologi budaya juga saya pelajari agar sesuai dalam penggunaan dan pemaknaan kata dan kalimat,” jelasnya.   

Membuat kamus Tok Pisin-Indonesia ini cukup unik dan menantang, terutama soal tata bahasa, makna kata dan penggunaannya.  Dalam bahasa Tok Pisin, satu kata bisa mengandung banyak arti, tergantung situasi dan kondisi saat kata itu dipakai.

Baca Juga :  Beri Edukasi Masyarakat, Sanksi Hukum Tidak Hanya Kurungan Badan Saja

“ Satu kata bisa sampai lebih dari 20 arti, orang tidak akan akan paham jika kita hanya jelaskan satu arti saja, tetapi harus melihat dulu, kata tersebut dipakai dalam kalimat apa dan dalam situasi apa, artinya bisa berbeda ketika kata yang sama dipakai dalam kalimat yang situasinya berbeda,” ujarnya seraya mencontohkan, kata ‘Kandungan’, dalam Tok Pisin disebut ‘Bilum Bilong Pikikini’ Bilum itu Noken/tas, Bilong: Dari, sementara Pikinini adalah anak. Rangkaian kata ini bisa mempunyai dua arti. Pertama, Noken/tas tempat anak-anak/bayi, bisa juga berarti Kandungan  (perempuan,red).

Dengan situasi tersebut, pekerjaan menyusun kamus ini benar-benar dilakukan dengan cermat, yakni terjemahkan arti, lalu bagaimana menempatkan kata tersebut dalam kalimat, lalu terjemahkan lagi kedalam bahasa Indonesia, jika belum cukup jelas, ditambah dengan menggunakan gambar. “ Berbeda dengan bahasa Indonesia yang sudah punya gramatika yang baku, Tok Pisin belum punya gramatika baku dan terus berkembang, sehingga ini menjadi tantangan dalam penulisan kamus ini,” jelasnya.

Tidak hanya itu, asal sebuah kata juga perlu dipelajari. “ Mengapa kata ini ada, bagaimana kata ini terbentuk, di tempat seperti apa kata ini dimunculkan dan lainnya. Semua itu harus saya pelajari, karena bahasa Tok Pisin sejarahnya lahir karena kebutuhan masyarakat dan terus berkembang terutama digunakan oleh masyarakat akar rumput di PNG,” urai Yuliana.

Dengan banyaknya perberdaan kata dan struktur bahasa yang tidak sama juga, antara kedua Negara,  dirinya berusaha semaksimal mungkin menulis dan menjelaskan setiap kata dan maknanya agar pembaca atau pengguna kamus ini tidak bingung ketika menggunakan Kamus tersebut. “ itu sebabnya kenapa kamus ini tebal, karena isisnya tidak hanya kata dan artinya saja dalam dua bahasa,tetapi ada berbagai macam contoh-contoh kalimat juga  untuk lebih memperjelas,” terannya.

Menurut ibu Yuliana,  kamus yang ditulisnya ini hanya merupakan dasar atau awal saja, kelanjutkan untuk pengembangan dua bahasa ini, saya serahkan ke Universitas Okmin Papua di Pegubin, Universitas Cenderawasih Jayapura dan universitas di Papua New Guinea untuk mengembangkannya.

Keberaniannya menilis kamus ini juga karena Yuliana pernah tinggal di Papua Nugini selama 14 tahun, bekerja mengelola perpustakaan dan sebagai guru, membuatnya benar-benar memahami karakter, budaya dan bahasa Negara tentangga Indonesia itu.  Pengalaman hidup belasan tahun itulah yang menjadi modal ia belajar mengenal Tok Pisin dan kemudian menjadi dorongan menulis kamus Dwi bahasa ini.

“ Saya terdorong dari situasi dimana saya pernah hadapi di Papua New Guinea ketika awal saya ke sana, saya tidak mengerti bahasa pidgin sama sekali, saya bisa lihat orang bicara, mulut mereka komat kamit, tetapi saya punya telinga tuli, mata buta, otak mati. Siapapun dia, pasti alami kondisi yang sama seperti saya, jika tiba di suatu tempat yang dia tidak paham bahasa setempat,  jadi hanya terdorong untuk membantu saja, saja mulai menulis kamus ini,“ jelasnya.

Ditanya, apa tantangan terbesar dalam penulisan kamus ini, perempuan asal Biak yang kini bermukim di Belanda ini mengatakan, membagi waktu adalah tantaangan terbesarnya. Bagaimana mengasuh 10 anak, menyekolahkan, mengawasi, mengerjakan perjaan rumah tangga, tetapi juga kerja sosial yang dirinya harus lakukan setiap hari.

Baca Juga :  Papua masih Tergantung Daerah Produsen, Rawan Terpapar Risiko Tekanan Harga

Kadang ia menulis sambil menemani 10 anaknya belajar atau mengerjakan PR. Kadang sampai subuh, saat anak-anaknya nya tidur, dia pun tidur sebentar lalu bangun lagi siapkan sarapan dan bantu siapkan anak-anaknya ke sekolah atau kuliah. Selain itu, dia juga punya kewajiban bekerja social yakni melayani para penyandang cacat. Disela-sela kesibukan itulan dia menulis kamus ini.

“Saya hanya ibu rumah tangga dengan 10 anak, saya juga pekerja sosial, harus benar-benar membagi waktu dengan baik, agar penulisan kamus ini bisa saya selesaikan. Itu tantangan terbesar yang saya hadapi,” ujarnya.

Yuliana lahir  di Manokwari Papua, ia mengenyam pendidikan dasar SD di Bomakia di Mappi, lalu SMP di Boven Dogoel, kemudian dilanjutkan di Sentani.  Tahun 1980an, Yuliana melanjutkan pendidikan di SMA YPPK Santo Agustinus Sorong. Karena mendapat nilai bahasa Jerman yang bagus, dia direkomendasikan untuk melanjutkan pendidikan di Perguruan TInggi Atmajaya Jogyakarta. Yuliana menolak, dan memilih masuk Uncen melalui tes SIPENMARU jurusan Sejarah. Di Uncen, ia tidak menyelesaikan studinya karena situasi dan kondisi saat itu, Yuliana hijrah ke PNG. Kini Yuliana dan keluarganya bermukin di Negeri Kincir Angin Belanda.

Selama 6 tahun menulis ( 2016-2022), Maha karyanya tersebut akhirnya tuntas. Kamus setebal 2.600 halaman (yang kemudian dipadatnya menjadi 1.600 halaman) berisi lebih dari 7.500 kosa kata disertai contoh gambar dan kalimat.

Ditanya, apa yang menjadi motivasi dan semangat sehingga ditengah berbagai tantangan dan kendala, dia bisa menyelesaikan penulisan Kamus ini. Dengan lugas, Yuliana mengatakan, nasihan dan kata-kata ayahnya menjadi motivasi dia menulis hingga selesai. “ Bapa saya selalu bilang, kamu kalau buat sesuatu, jangan umumkan dulu, tetapi jika kamu sudah umumkan ( ke public), kamu harus selesaikan, sebab jika tidak, kamu akan ditertawakan orang, kata-kata ini yang memotivasi saya menuntaskan penulisan kamus ini,” ujarnya.

Yuliana bercerita, penulisan kamus ini dia telah umumkan ke public melalui Facebook beberapa tahun lalu, dan kata-kata ayahnya itu menjadi semangat untuk terus  menulis hingga selesai.

Kamus ini kemudian diberikan kepercayaan kepada Universitas Okmin Papua di Pegunungan Bintang untuk mengurus penerbitannya hingga peluncurkannya yang direncanakan dilakukan tahun 2022 ini.

Baginya, Menulis itu penting, sebab jika Cuma bicara-bicara saja, setelah  orang dengar, pasti orang akan lupa, tetapi dengan menulis akan tersimpan selamanya.” Ketika menulis, semua ide dan pikiran kita terekam dan tersimpan dengan baik, ketika menulis, kita dapat mengirim orang lain untuk masuk kedalam pikiran kita. Ketika kita mampu membukukan tulisan kita, maka sesungguhnya kita telah memperpanjang usia kita puluhan bahkan ratusan tahun kedepan. Jasad kita akan menyatu dengan tanah tetapi pikiran dan jiwa kita mampu hidup di bumi ini berates-ratus tahun  lewat tulisan kita,” ungkapnya.

Yuliana berpesan, kamus ini penting untuk membangun komunikasi, terutama bagi orang Papua (Indonesia)  dan orang Papua New Guinea, tetapi lebih dari itu bagi dunia ilmu pengetahuan di kedua Negara, dan masyarakat internasional. “ Ini tantangan bagi anak muda untuk berkarya. Saya yang hanya seorang ibu rumah tangga memberikan tantangan ini bagi anak-anak muda di Papua untuk maju dan berkarya,” tuturnya.***

Berita Terbaru

Artikel Lainnya