Saturday, April 27, 2024
33.7 C
Jayapura

Generasi Muda Papua Harus Budayakan Menulis dan Membaca

Ketika Pemuda Gereja Baptis Wets Papua Wilayah Tabi Gelar Pelatihan Jurnalistik

Untuk memberikan pemahaman tentang jurnalistik kepada anggotanya, Pemuda Gereja Baptis West Papua Wilayah Tabi menggelar pelatihan jurnalistik. Bagaimana jalannya kegiatan tersebut ?

Laporan: Noel Wenda, Jayapura

MARAKNYA berita hoax atau kabar bohong di media sosial mendapat perhatian dari Pemuda Gereja Baptis West Papua Wilayah Tabi. Agar pemuda Gereja Baptis West Papua di wilayah Tabi bisa lebih memahami dan lebih bijak dalam merespon setiap berita atau kabar yang beredar, Pemuda Gereja Baptis West Papua Wilayah Tabi menggelar pelatihan jurnalistik di Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura akhir pekan kemarin.

Salah satu pemateri dalam kegiatan pelatihan tersebut adalah Ketua Pemuda Katolik Komisariat Daerah (Komda) Papua, Alfonsa Wayap. Di hadapan 30 pemuda/pemudi Gereja Baptis West Papua, Alfonsa Wayap menyampaikan, pemuda Papua harus mengutamakan menulis dan membaca. Selain itu, menurutnya pemuda juga harus bisa mengenal diri sendiri.

“Selanjutnya fokus belajar yang terkait dengan kaidah jurnalistik serta cara membuat berita foto. Keduanya erat kaitannya dengan lieterasi –melatih ketajaman pengamatan, menulis dan membaca,” bebernya.

Dalam pelatihan ini, Alfonsa yang merupakan pegiat literasi  mengingatkan kepada peserta supaya lebih banyak meluangkan waktu dalam kegiatan literasi (membaca dan menulis). “Sebab untuk bisa menulis dengan baik, peserta harus memperbanyak membaca. Entah itu buku, koran atau tulisan di media daring. Literasi perlu terus dikembangkan, jangan hanya sampai dipelatihan ini saja tetapi melek literasi,” paparnya.

Baca Juga :  Ibu yang Cemas Itu Gendong Anaknya Seberangi Sungai

Terkait dengan jurnalisme damai, Alfonsa menyampaikan bahwa jurnalisme damai biasanya dilakukan oleh orang yang anti kekerasan. Diakuinya, jurnalisme damai tersebut sangat penting dalam membangun kehidupan bermasyarakat.

“Sebab, kekerasan terjadi akibat salah informasi atau hasutan dari pihak lain, sehingga berujung pada tindakan kekerasan,” jelas Alfonsa.

“Dengan konteks Papua, jurnalisme aamai penting sekali dilakukan khususnya dalam peliputan di wilayah-wilayah konflik bersenjata di Papua. Kebutuhan hari ini dan ke depan harus dilakukan generasi Baptis yang ikut pelatihan ini,” pintanya.

Diakuinya, jurnalisme damai sebagai alternatif peliputan konflik di Papua. Pasalnya, saat ini lebih banyak jurnalis soal sosial politik (Sipol). Padahal di Papua menurutnya bukan saja soal Sipol, dimana masih banyak isu liputan lainnya.

Alfonsa menambahkan bahwa tulisan yang disajikan ke publik memiliki dampak positif dan negatif maka harus dinicarakan.

“Di sini, mengapa saya katakan apa hubungan kekerasan dengan pemberitaan? Konflik akan diesploitasi  hanya untuk menaikan rating pemberitaan media tertentu atau koran cetak  laku terjual. Tanpa disadari, pemberitaan itu telah mendiskreditkan satu golongan. Dan, ini merupakan gunung es yang setiap saat mengancam keselamatan media atau penulis itu sendiri,” tutur Alfonsa.

Menurutnya, meliput di wilayah konflik, sebaiknya peliput juga harus bisa melihat konflik  secara menyeluruh dan menggali proses terjadinya konflik. Dalam meliput konteks liputan jurnalisme damai, peliput wajib menentukan sudut padangan liputan di luar dari konflik. Misalnya, menyoroti sisi lain korban konflik yang adalah warga sipil dan hak-haknya yang diabaikan.

Baca Juga :  Panas saat Terik Matahari, Jalanan Becek dan Sepi Pengunjung Saat Hujan

“Merekalah yang terkena dampak konflik politik. Entah disadari atau tidak?  Karya-karya jurnalistik yang terus menyoroti kekerasan juga bisa berdampak pada trauma bagi pembaca dan terlebih korban dan keluarganya. Serta trauma kolektif.”katanya.

Selain itu, akibat lain dari liputan konflik  kepada pembaca berita, dimana ada juga yang merasa jenuh akan sajian informasi kekerasan dan konflik yang berkepanjangan.

Pelatihan ini mendapat respon positif dari para peserta. Dalam pelatihan ini, para peserta mengaku mendapat hal baru yang mereka pelajari yaitu  tentang jurnalisme Damai.

“Kami sering dengar hanya seputar jurnalistik atau jurnalisme saja. Setelah mendapat pemaparan dari pemateri, baru kami paham. Pentingnya literasi dan memahami isi konten produk Jurnalisme Damai. Begitu juga dengan dunia menulis yang begitu luas dan dapat mengugah pembaca serta warga dunia,” ungkap Ketua Pemuda Baptis Wilayah Tabi, Patinus R. Wenda.

Dirinya memberikan apresiasi kepada pemateri yang dengan tulus ikhlas berbagi ilmu dan pengetahuan untuk membuka wawasan pemuda/pemudi Baptis di tanah Tabi.

“Materi ini telah membuka wawasan peserta. Sebab, sudah lama sekali, kami telah dibangun dengan konstruksi informasi pemberitaan yang ekstrim. Kami terus-menerus mengonsumsi itu dan sampai pada pembentukan  cara pandang kami generasi muda. Maka, Jurnalisme Perdamiaan secara jujur dengan tenang, itu yang diharapkan pembaca,” tutupnya.***

Ketika Pemuda Gereja Baptis Wets Papua Wilayah Tabi Gelar Pelatihan Jurnalistik

Untuk memberikan pemahaman tentang jurnalistik kepada anggotanya, Pemuda Gereja Baptis West Papua Wilayah Tabi menggelar pelatihan jurnalistik. Bagaimana jalannya kegiatan tersebut ?

Laporan: Noel Wenda, Jayapura

MARAKNYA berita hoax atau kabar bohong di media sosial mendapat perhatian dari Pemuda Gereja Baptis West Papua Wilayah Tabi. Agar pemuda Gereja Baptis West Papua di wilayah Tabi bisa lebih memahami dan lebih bijak dalam merespon setiap berita atau kabar yang beredar, Pemuda Gereja Baptis West Papua Wilayah Tabi menggelar pelatihan jurnalistik di Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura akhir pekan kemarin.

Salah satu pemateri dalam kegiatan pelatihan tersebut adalah Ketua Pemuda Katolik Komisariat Daerah (Komda) Papua, Alfonsa Wayap. Di hadapan 30 pemuda/pemudi Gereja Baptis West Papua, Alfonsa Wayap menyampaikan, pemuda Papua harus mengutamakan menulis dan membaca. Selain itu, menurutnya pemuda juga harus bisa mengenal diri sendiri.

“Selanjutnya fokus belajar yang terkait dengan kaidah jurnalistik serta cara membuat berita foto. Keduanya erat kaitannya dengan lieterasi –melatih ketajaman pengamatan, menulis dan membaca,” bebernya.

Dalam pelatihan ini, Alfonsa yang merupakan pegiat literasi  mengingatkan kepada peserta supaya lebih banyak meluangkan waktu dalam kegiatan literasi (membaca dan menulis). “Sebab untuk bisa menulis dengan baik, peserta harus memperbanyak membaca. Entah itu buku, koran atau tulisan di media daring. Literasi perlu terus dikembangkan, jangan hanya sampai dipelatihan ini saja tetapi melek literasi,” paparnya.

Baca Juga :  Tak Perlu Turuti Keinginan Tukang Palang dengan Dalih Hak Ulayat

Terkait dengan jurnalisme damai, Alfonsa menyampaikan bahwa jurnalisme damai biasanya dilakukan oleh orang yang anti kekerasan. Diakuinya, jurnalisme damai tersebut sangat penting dalam membangun kehidupan bermasyarakat.

“Sebab, kekerasan terjadi akibat salah informasi atau hasutan dari pihak lain, sehingga berujung pada tindakan kekerasan,” jelas Alfonsa.

“Dengan konteks Papua, jurnalisme aamai penting sekali dilakukan khususnya dalam peliputan di wilayah-wilayah konflik bersenjata di Papua. Kebutuhan hari ini dan ke depan harus dilakukan generasi Baptis yang ikut pelatihan ini,” pintanya.

Diakuinya, jurnalisme damai sebagai alternatif peliputan konflik di Papua. Pasalnya, saat ini lebih banyak jurnalis soal sosial politik (Sipol). Padahal di Papua menurutnya bukan saja soal Sipol, dimana masih banyak isu liputan lainnya.

Alfonsa menambahkan bahwa tulisan yang disajikan ke publik memiliki dampak positif dan negatif maka harus dinicarakan.

“Di sini, mengapa saya katakan apa hubungan kekerasan dengan pemberitaan? Konflik akan diesploitasi  hanya untuk menaikan rating pemberitaan media tertentu atau koran cetak  laku terjual. Tanpa disadari, pemberitaan itu telah mendiskreditkan satu golongan. Dan, ini merupakan gunung es yang setiap saat mengancam keselamatan media atau penulis itu sendiri,” tutur Alfonsa.

Menurutnya, meliput di wilayah konflik, sebaiknya peliput juga harus bisa melihat konflik  secara menyeluruh dan menggali proses terjadinya konflik. Dalam meliput konteks liputan jurnalisme damai, peliput wajib menentukan sudut padangan liputan di luar dari konflik. Misalnya, menyoroti sisi lain korban konflik yang adalah warga sipil dan hak-haknya yang diabaikan.

Baca Juga :  Ingin Buat Nduga Jadi Sesuatu yang Tak Terduga di Indonesia

“Merekalah yang terkena dampak konflik politik. Entah disadari atau tidak?  Karya-karya jurnalistik yang terus menyoroti kekerasan juga bisa berdampak pada trauma bagi pembaca dan terlebih korban dan keluarganya. Serta trauma kolektif.”katanya.

Selain itu, akibat lain dari liputan konflik  kepada pembaca berita, dimana ada juga yang merasa jenuh akan sajian informasi kekerasan dan konflik yang berkepanjangan.

Pelatihan ini mendapat respon positif dari para peserta. Dalam pelatihan ini, para peserta mengaku mendapat hal baru yang mereka pelajari yaitu  tentang jurnalisme Damai.

“Kami sering dengar hanya seputar jurnalistik atau jurnalisme saja. Setelah mendapat pemaparan dari pemateri, baru kami paham. Pentingnya literasi dan memahami isi konten produk Jurnalisme Damai. Begitu juga dengan dunia menulis yang begitu luas dan dapat mengugah pembaca serta warga dunia,” ungkap Ketua Pemuda Baptis Wilayah Tabi, Patinus R. Wenda.

Dirinya memberikan apresiasi kepada pemateri yang dengan tulus ikhlas berbagi ilmu dan pengetahuan untuk membuka wawasan pemuda/pemudi Baptis di tanah Tabi.

“Materi ini telah membuka wawasan peserta. Sebab, sudah lama sekali, kami telah dibangun dengan konstruksi informasi pemberitaan yang ekstrim. Kami terus-menerus mengonsumsi itu dan sampai pada pembentukan  cara pandang kami generasi muda. Maka, Jurnalisme Perdamiaan secara jujur dengan tenang, itu yang diharapkan pembaca,” tutupnya.***

Berita Terbaru

Artikel Lainnya