Saturday, April 27, 2024
33.7 C
Jayapura

Tak Perlu Turuti Keinginan Tukang Palang dengan Dalih Hak Ulayat

Mencermati Kasus Pemalangan yang Marak Terjadi di Lokasi Tanah Aset Pemerintah

Kantor atau aset milik pemerintah daerah dalam beberapa minggu terakhir ini banyak dipalang oleh sekelompok masyarakat dengan dalih masalah hak ulayat. Terbaru, sekelompok masyarakat memalang Kantor Gubernur Provinsi Papua. Hal ini juga menjadi perhatian Ketua DPC Peradi SAI Kota Jayapura dan Ahli Hukum Tata Negara, Dr. Anthon Raharusun, S.H.,M.H. Seperti apa pendapatnya?

Laporan: Elfira-Jayapura

Dalam satu bulan terakhir ini, kasus pemalangan aset/kantor pemerintah cukup marak terjadi, seperti di lokasi Stadion Mandala, Kantor KONI, lokasi Kantor Gubernur Papua, hingga jalan kantor BPBD Provinsi Papua. Bahkan, untuk kantor gubernur Papua di dok II Jayapura ini, sempat dua kali dipalang, meski akhirnya dibuka setelah ada pertemuan dengan masyarakat pemalang.

Dr. Anthon Raharusun, SH.,MH (FOTO:Elfira/Cepos)

Menurut Anthon Raharusun, Kantor Gubernur merupakan fasilitas pemerintah dan fasilitas negara yang tidak boleh dipalang. Bahkan, fasilitas pemerintah/negara tidak boleh disita oleh siapapun atau atas perintah siapapun.

  “Kantor Gubernur merupakan fasilitas publik milik pemerintah yang semestinya tidak boleh terganggu atau diganggu oleh kepentingan apapun, termasuk tindakan tindakan pemalangan yang dilakukan masyarakat tertentu terhadap tuntutan hak ulayat,” terang Anthon kepada Cenderawasih Pos yang ditemui di Kantornya, Selasa (26/9).

  Dijelaskan Anthon, roda pemerintahan tidak boleh berhenti dan tidak boleh ada tindakan yang menghalangi roda pemeritahan dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat.

  “Aparat keamanan tidak boleh membiarkan fasilitas pemerintah dipalang atau diduduki, harus ditindak tegas agar tidak menganggu aktivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik,” tegasnya.

  Menurut Anthon, tak ada hak ulayat di Kota Jayapura. Pasalnya saat zaman pengalihan dari pemerintahan Belanda kepada pemerintah Indonesia, ada kewajiban pemerintah untuk melakukan konversi hak hak barat kepada hak Indonesia. Dimana tanah peninggalan Belanda menjadi milik negara.

  “Kalaupun masyarakat menganggap tanah itu merupakan tanah hak ulayat, maka buktikan hak ulayat itu sampai sejauh mana. Tuntutan  terhadap hak ulayat dari waktu ke waktu terkait dengan tanah Kantor Gubernur tak pernah selesai,” ucapnya.

Baca Juga :  Pemkab Yalimo Lakukan Pembayaran Tanah Tempat Pemakaman Umum di Elelim

  Kata Anthon, dalam Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 menyatakan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya yang lebih tinggi.

  Artinya bahwa hak ulayat itu diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan masih dikuasai oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, dan yang paling penting adalah hak ulayat itu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional atau negara serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

  “Jadi, kalau saat ini terjadi tuntutan bahwa tanah kantor Gubernur masih merupakan hak ulayat, ya buktikan saja di Pengadilan bahwa tanah yang dipakai sebagai kantor Gubernur itu adalah tanah hak ulayat. Tidak perlu menyelesaikan masalah dengan cara palang memalang,” bebernya.

   Kata Anthon, sebaiknya Pemerintah Provinsi abaikan saja tuntutan dengan dalil hak ulayat. Sebab tuntutan tersebut tidak berdasar. Kalau Pemerintah selalu merespons semua tuntutan masyarakat terkait hak ulayat sesuai keinginan masyarakat, maka pemerintah selain tidak punya wibawa juga tuntutan  tersebut akan terus terjadi secara turun temurun dan tidak ada henti-hentinya sepanjang masa.

  “Pada akhirnya pemerintah hanya disibukkan dengan membayar hak ulayat dari waktu ke waktu, lalu pertanyaannya kapan selesai pemerintah membayar hak ulayat,” tegasnya.

Kata Anthon, Pemerintah Papua harusnya tegas. Jika kelompok masyarakat terus menerus melakukan pemalangan terhadap Kantor Gubernur, harusnya dibuktikan di Pengadilan. Selain itu, Pemerintah diminta tidak selalu merespon tuntutan tuntutan masyarakat terkait dengan  hak ulayat.

  “Jika mau membuktikan adanya kepemilikan hak ulayat, silahkan dibuktikan di Pengadilan. Tetapi jangan sampai tuntutan itu menganggu aktivitas pemerintahan atau melakukan  pemalangan terhadap kantor pemerintah,” pintanya.

Baca Juga :  Jika Terkait Isu Lingkungan, seperti Kurang Peka

  Anthon meyakini jika Pemerintah Provinsi Papua memiliki dokumen resmi soal kepemilikan tanah Kantor Gubernur. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah dengan menunjukkan dokumen lantas menyelesaikan masalah ? Menurutnya, masyarakat tetap melakukan tuntutan karena tuntutan tersebut memiliki kepentingan lain.

  “Sebaiknya pemerintah mempersilahkan mereka untuk melakukan gugatan ke Pengadilan dalam rangka membuktikan apakah benar tuntutan itu berdasar, dan apakah benar mereka adalah pemilik hak ulayat. Sebab menurut saya tidak ada hak ulayat di kota ini termasuk tanah di Kantor Gubernur Papua,” tegasnya.

  Menurut Anthon, tuntutan sekelompok orang terkait hak ulayat di Kantor Gubernur tidak berdasar. Sebatas memakai cerita sejarah sebelum Papua berintegrasi ke NKRI ataupun cerita zaman Pepera sampai hari ini.

   Anthon menyarankan Pemerintah Provinsi Papua tidak perlu memenuhi tuntutan mereka. Langkah tepat adalah mengarahkan sekelompok orang yang melakukan pemalangan tersebut untuk menggugat ke pengadilan agar memperjelas.

  “Anehnya, setiap kali ada tuntutan pemerintah menyediakan sejumlah uang dengan nominal fantastis hanya untuk membayar hak ulayat. Selanjutnya, generasi berikutnya yang akan menuntut lagi. Hingga dari waktu ke waktu tak pernah selesai tuntutan hak ulayat, dari turun temurun. Lantas pertanyannya kapan selesai ?,” tanya Anthon.

  Yang dikhwatirkan, jangan sampai ada aktor di balik sering terjadinya pemalangan ada orang orang pemerintah di dalam lingkungan Pemprov sendiri yang justru ikut bermain.

“Di situ kita khawatirnya, baiknya pemerintah tidak mudah menuruti permintaan dari mereka yang kerap melakukan pemalangan. Apakah ada jaminan ketika pemerintah sudah membayar hak ulayat lalu permasalahannya selesai,” bebernya.

   Sekedar diketahui, belakangan ini ada sejumlah faslitas umum yang menjadi sasaran daripada tuntutan masyarakat pemilik hak ulayat. Bahkan selama September sudah dua kali Kantor Gubernur dipalang, sebelumnya juga sekelompok masyarakat melakukan pemalangan di Stadion Mandala. (*/tri)

Mencermati Kasus Pemalangan yang Marak Terjadi di Lokasi Tanah Aset Pemerintah

Kantor atau aset milik pemerintah daerah dalam beberapa minggu terakhir ini banyak dipalang oleh sekelompok masyarakat dengan dalih masalah hak ulayat. Terbaru, sekelompok masyarakat memalang Kantor Gubernur Provinsi Papua. Hal ini juga menjadi perhatian Ketua DPC Peradi SAI Kota Jayapura dan Ahli Hukum Tata Negara, Dr. Anthon Raharusun, S.H.,M.H. Seperti apa pendapatnya?

Laporan: Elfira-Jayapura

Dalam satu bulan terakhir ini, kasus pemalangan aset/kantor pemerintah cukup marak terjadi, seperti di lokasi Stadion Mandala, Kantor KONI, lokasi Kantor Gubernur Papua, hingga jalan kantor BPBD Provinsi Papua. Bahkan, untuk kantor gubernur Papua di dok II Jayapura ini, sempat dua kali dipalang, meski akhirnya dibuka setelah ada pertemuan dengan masyarakat pemalang.

Dr. Anthon Raharusun, SH.,MH (FOTO:Elfira/Cepos)

Menurut Anthon Raharusun, Kantor Gubernur merupakan fasilitas pemerintah dan fasilitas negara yang tidak boleh dipalang. Bahkan, fasilitas pemerintah/negara tidak boleh disita oleh siapapun atau atas perintah siapapun.

  “Kantor Gubernur merupakan fasilitas publik milik pemerintah yang semestinya tidak boleh terganggu atau diganggu oleh kepentingan apapun, termasuk tindakan tindakan pemalangan yang dilakukan masyarakat tertentu terhadap tuntutan hak ulayat,” terang Anthon kepada Cenderawasih Pos yang ditemui di Kantornya, Selasa (26/9).

  Dijelaskan Anthon, roda pemerintahan tidak boleh berhenti dan tidak boleh ada tindakan yang menghalangi roda pemeritahan dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat.

  “Aparat keamanan tidak boleh membiarkan fasilitas pemerintah dipalang atau diduduki, harus ditindak tegas agar tidak menganggu aktivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik,” tegasnya.

  Menurut Anthon, tak ada hak ulayat di Kota Jayapura. Pasalnya saat zaman pengalihan dari pemerintahan Belanda kepada pemerintah Indonesia, ada kewajiban pemerintah untuk melakukan konversi hak hak barat kepada hak Indonesia. Dimana tanah peninggalan Belanda menjadi milik negara.

  “Kalaupun masyarakat menganggap tanah itu merupakan tanah hak ulayat, maka buktikan hak ulayat itu sampai sejauh mana. Tuntutan  terhadap hak ulayat dari waktu ke waktu terkait dengan tanah Kantor Gubernur tak pernah selesai,” ucapnya.

Baca Juga :  Tingkatkan Minat Baca, Mulai Galakkan Pojok Baca Digital di Kampung

  Kata Anthon, dalam Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 menyatakan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya yang lebih tinggi.

  Artinya bahwa hak ulayat itu diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan masih dikuasai oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, dan yang paling penting adalah hak ulayat itu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional atau negara serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

  “Jadi, kalau saat ini terjadi tuntutan bahwa tanah kantor Gubernur masih merupakan hak ulayat, ya buktikan saja di Pengadilan bahwa tanah yang dipakai sebagai kantor Gubernur itu adalah tanah hak ulayat. Tidak perlu menyelesaikan masalah dengan cara palang memalang,” bebernya.

   Kata Anthon, sebaiknya Pemerintah Provinsi abaikan saja tuntutan dengan dalil hak ulayat. Sebab tuntutan tersebut tidak berdasar. Kalau Pemerintah selalu merespons semua tuntutan masyarakat terkait hak ulayat sesuai keinginan masyarakat, maka pemerintah selain tidak punya wibawa juga tuntutan  tersebut akan terus terjadi secara turun temurun dan tidak ada henti-hentinya sepanjang masa.

  “Pada akhirnya pemerintah hanya disibukkan dengan membayar hak ulayat dari waktu ke waktu, lalu pertanyaannya kapan selesai pemerintah membayar hak ulayat,” tegasnya.

Kata Anthon, Pemerintah Papua harusnya tegas. Jika kelompok masyarakat terus menerus melakukan pemalangan terhadap Kantor Gubernur, harusnya dibuktikan di Pengadilan. Selain itu, Pemerintah diminta tidak selalu merespon tuntutan tuntutan masyarakat terkait dengan  hak ulayat.

  “Jika mau membuktikan adanya kepemilikan hak ulayat, silahkan dibuktikan di Pengadilan. Tetapi jangan sampai tuntutan itu menganggu aktivitas pemerintahan atau melakukan  pemalangan terhadap kantor pemerintah,” pintanya.

Baca Juga :  Dukung Penyelesaian Sengketa Tanah dengan Kearifan Lokal

  Anthon meyakini jika Pemerintah Provinsi Papua memiliki dokumen resmi soal kepemilikan tanah Kantor Gubernur. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah dengan menunjukkan dokumen lantas menyelesaikan masalah ? Menurutnya, masyarakat tetap melakukan tuntutan karena tuntutan tersebut memiliki kepentingan lain.

  “Sebaiknya pemerintah mempersilahkan mereka untuk melakukan gugatan ke Pengadilan dalam rangka membuktikan apakah benar tuntutan itu berdasar, dan apakah benar mereka adalah pemilik hak ulayat. Sebab menurut saya tidak ada hak ulayat di kota ini termasuk tanah di Kantor Gubernur Papua,” tegasnya.

  Menurut Anthon, tuntutan sekelompok orang terkait hak ulayat di Kantor Gubernur tidak berdasar. Sebatas memakai cerita sejarah sebelum Papua berintegrasi ke NKRI ataupun cerita zaman Pepera sampai hari ini.

   Anthon menyarankan Pemerintah Provinsi Papua tidak perlu memenuhi tuntutan mereka. Langkah tepat adalah mengarahkan sekelompok orang yang melakukan pemalangan tersebut untuk menggugat ke pengadilan agar memperjelas.

  “Anehnya, setiap kali ada tuntutan pemerintah menyediakan sejumlah uang dengan nominal fantastis hanya untuk membayar hak ulayat. Selanjutnya, generasi berikutnya yang akan menuntut lagi. Hingga dari waktu ke waktu tak pernah selesai tuntutan hak ulayat, dari turun temurun. Lantas pertanyannya kapan selesai ?,” tanya Anthon.

  Yang dikhwatirkan, jangan sampai ada aktor di balik sering terjadinya pemalangan ada orang orang pemerintah di dalam lingkungan Pemprov sendiri yang justru ikut bermain.

“Di situ kita khawatirnya, baiknya pemerintah tidak mudah menuruti permintaan dari mereka yang kerap melakukan pemalangan. Apakah ada jaminan ketika pemerintah sudah membayar hak ulayat lalu permasalahannya selesai,” bebernya.

   Sekedar diketahui, belakangan ini ada sejumlah faslitas umum yang menjadi sasaran daripada tuntutan masyarakat pemilik hak ulayat. Bahkan selama September sudah dua kali Kantor Gubernur dipalang, sebelumnya juga sekelompok masyarakat melakukan pemalangan di Stadion Mandala. (*/tri)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya