Saturday, April 20, 2024
30.7 C
Jayapura

Ibu yang Cemas Itu Gendong Anaknya Seberangi Sungai

Anak-Anak Sekolah pada Setiap Pagi di Dam yang Ambrol karena Lahar Semeru

Agar bisa pergi pulang sekolah, puluhan anak harus menyeberangi sungai berarus deras yang menjadi aliran lahar Semeru. Demi keselamatan anak-anak itu pula, tiap kali mendung atau hujan, para guru meminta mereka pulang lebih cepat atau sekalian tak perlu ke sekolah.

EDI SUSILO, Lumajang

”JANGAN ke situ. Airnya dalam. Yang sebelah sana aja,” kata Hafiza Nur Maulida kepada temannya yang sedang berada di tengah Kali Regoyo kemarin (8/2). Bocah kelas V di SDN Jugosari 03, Lumajang, itu sedang memandu seorang kawan agar tak terjerembap ke bagian sungai yang dalam.

Pukul 06.30, puluhan bocah asal Dusun Sumberlangsep, Desa Jugosari, Lumajang, Jawa Timur, tersebut tengah menyeberang melewati kali selebar lebih dari 50 meter itu untuk sampai ke sekolah. Menekuk celana dan rok di atas lutut, mereka menyusuri sungai yang masih penuh dengan pasir hitam dan bongkahan batu. Sambil menjinjing sepatu.

Rute berisiko tersebut harus mereka tempuh sejak dam yang difungsikan warga sebagai jembatan terputus pada awal tahun lalu (2/1). Itu terjadi setelah tak kuat menahan arus banjir lahar dingin Gunung Semeru yang mengalir ke Regoyo. Aliran kali itu pula yang ikut meluluhlantakkan Kampung Renteng saat Semeru meletus pada 4 Desember tahun lalu.

Akibatnya, Sumberlangsep pun terisolasi. Terpisah dari dusun-dusun lain di Desa Jugosari. Termasuk SDN Jugosari 03 yang berada di Dusun Sumber Kajar.

Jadilah tiap pagi, di hari-hari sekolah, jalur berisiko itulah yang harus ditempuh puluhan anak sekolah. Pada kemarin pagi itu, misalnya, Regoyo memang sedang surut. Ketinggian air di bawah dengkul. Tapi, arusnya masih cukup kencang. Sehingga bisa terpeleset jika tak hati-hati.

Baca Juga :  Pertegas di Vietnam dan Tekan Seminim Mungkin 3C

Perkara arus itulah yang membuat sebagian anak yang ingin menyeberang mengurungkan niat. Lalu memilih jalan memutar, melewati jalanan bukit untuk sampai ke jembatan gantung. Jaraknya lebih dari 2 kilometer untuk sampai ke seberang: Dusun Sumber Kajar, tempat mereka bersekolah.

Ada pula yang tetap menunggu di tepi sungai. Sekadar menunggu bantuan dan mengumpulkan keberanian untuk melintas. Misalnya, yang dilakukan Angga, siswa kelas VII SMPN 3 Candipuro.

Dari pantauan Jawa Pos, nangkring di atas motor bebek, dia hanya terdiam melihat aliran sungai yang airnya berwarna keruh kecokelatan. Angga baru berani menyeberang ketika diboncengkan pemuda desa yang kebetulan sedang berada di sungai. Lalu mengantarkannya ke seberang.

”Saya takut kepeleset saja tadi,” katanya setengah malu, lalu bersegera mengegas motornya menuju ke sekolah.

Langkah lebih berani diambil Aini. Upik 12 tahun itu sigap melaju di atas motor. Tapi, ketika sampai di tengah, motornya sempat oleng. Kakinya yang tak sempurna menapak ke dasar sungai berpasir membuat sandalnya terlepas. Hanyut.

Sempat panik, dia kembali tenang menyeimbangkan motor agar tak terguling. Beruntung, ada orang yang berlari dan menangkap sandalnya. ”Tadi sebenarnya sudah tak relakan. Tapi, untung kok diambil,” katanya, lantas tersenyum.

Selain berangkat sendiri, beberapa anak tampak diantar orang tua mereka. Sambil digendong melintasi sungai. ”Saya ini khawatir sekali, makanya selalu tak antar,” ucap Supriati setelah menggendong putra sulungnya, Arif.

Buyung berusia 9 tahun tersebut memang takut menyeberang sendirian. ”Pulang pun saya jemput,” kata perempuan 29 tahun itu.

Karena itu, Supriati selalu menghubungi guru kelas untuk menanyakan kapan putranya boleh dijemput pulang. Apalagi ketika cuaca mendung dan debit air Regoyo sedang naik serta berarus deras. Kondisi yang membuat orang tua dan siswa ketir-ketir.

Baca Juga :  Digitalisasi Transaksi Keuangan Dorong Jayapura Menjadi Smart City

Terputusnya dam Sumberlangsep sebenarnya juga merepotkan warga Dusun Sumber Kajar. Sebab, kebun kopi dan cengkih mereka berada di perbukitan Sumberlangsep. Dam yang terputus otomatis mengganggu aktivitas mereka merawat dan menengok hasil kebun.

”Dusun Sumberlangsep dan Sumber Kajar itu saling membutuhkan,” kata Samsul, warga Sumber Kajar.

Praktis, sejak dam yang berusia 5 tahun itu jebol, warga kedua dusun kebingungan. Mereka bertambah cemas lantaran hingga kemarin tak ada kepastian dari Pemerintah Kabupaten Lumajang kapan dam atau jembatan baru dibangun.

”Kami berharap jembatan segera dibangun lagi. Kalau bisa lebih tinggi dari posisi semula,” ucap lelaki yang bekerja sebagai penambang pasir tersebut. Permintaan Samsul itu tak muluk. Sebab, jika dibangun dengan posisi semula, jembatan akan mudah jebol. Apalagi, kini Kali Regoyo makin cetek lantaran tebalnya endapan pasir dan batu akibat erupsi Semeru. Saat banjir lahar, ketinggian air sudah di atas dam.

Para guru di SDN Jugosari 03 pun memaklumi kondisi murid asal Sumberlangsep. Mereka memberikan kelonggaran bagi 33 siswa yang berasal dari sana.

Bahkan, kalau mendung dan hujan, guru cukup memberikan tugas agar siswa mengerjakan dari rumah. Tak perlu menempuh risiko berjibaku melewati sungai.

”Selama dua minggu ini, sudah tiga kali murid-murid kami asal Sumberlangsep belajar dari rumah,” ucap guru kelas VI, Naning Suprihatin.

Kalaupun sudah sampai di sekolah dan mendung tak kunjung pergi, anak-anak diminta pulang lebih awal. ”Semua demi keselamatan anak-anak,” katanya. (*/c19/ttg/JPG)

Anak-Anak Sekolah pada Setiap Pagi di Dam yang Ambrol karena Lahar Semeru

Agar bisa pergi pulang sekolah, puluhan anak harus menyeberangi sungai berarus deras yang menjadi aliran lahar Semeru. Demi keselamatan anak-anak itu pula, tiap kali mendung atau hujan, para guru meminta mereka pulang lebih cepat atau sekalian tak perlu ke sekolah.

EDI SUSILO, Lumajang

”JANGAN ke situ. Airnya dalam. Yang sebelah sana aja,” kata Hafiza Nur Maulida kepada temannya yang sedang berada di tengah Kali Regoyo kemarin (8/2). Bocah kelas V di SDN Jugosari 03, Lumajang, itu sedang memandu seorang kawan agar tak terjerembap ke bagian sungai yang dalam.

Pukul 06.30, puluhan bocah asal Dusun Sumberlangsep, Desa Jugosari, Lumajang, Jawa Timur, tersebut tengah menyeberang melewati kali selebar lebih dari 50 meter itu untuk sampai ke sekolah. Menekuk celana dan rok di atas lutut, mereka menyusuri sungai yang masih penuh dengan pasir hitam dan bongkahan batu. Sambil menjinjing sepatu.

Rute berisiko tersebut harus mereka tempuh sejak dam yang difungsikan warga sebagai jembatan terputus pada awal tahun lalu (2/1). Itu terjadi setelah tak kuat menahan arus banjir lahar dingin Gunung Semeru yang mengalir ke Regoyo. Aliran kali itu pula yang ikut meluluhlantakkan Kampung Renteng saat Semeru meletus pada 4 Desember tahun lalu.

Akibatnya, Sumberlangsep pun terisolasi. Terpisah dari dusun-dusun lain di Desa Jugosari. Termasuk SDN Jugosari 03 yang berada di Dusun Sumber Kajar.

Jadilah tiap pagi, di hari-hari sekolah, jalur berisiko itulah yang harus ditempuh puluhan anak sekolah. Pada kemarin pagi itu, misalnya, Regoyo memang sedang surut. Ketinggian air di bawah dengkul. Tapi, arusnya masih cukup kencang. Sehingga bisa terpeleset jika tak hati-hati.

Baca Juga :  Digitalisasi Transaksi Keuangan Dorong Jayapura Menjadi Smart City

Perkara arus itulah yang membuat sebagian anak yang ingin menyeberang mengurungkan niat. Lalu memilih jalan memutar, melewati jalanan bukit untuk sampai ke jembatan gantung. Jaraknya lebih dari 2 kilometer untuk sampai ke seberang: Dusun Sumber Kajar, tempat mereka bersekolah.

Ada pula yang tetap menunggu di tepi sungai. Sekadar menunggu bantuan dan mengumpulkan keberanian untuk melintas. Misalnya, yang dilakukan Angga, siswa kelas VII SMPN 3 Candipuro.

Dari pantauan Jawa Pos, nangkring di atas motor bebek, dia hanya terdiam melihat aliran sungai yang airnya berwarna keruh kecokelatan. Angga baru berani menyeberang ketika diboncengkan pemuda desa yang kebetulan sedang berada di sungai. Lalu mengantarkannya ke seberang.

”Saya takut kepeleset saja tadi,” katanya setengah malu, lalu bersegera mengegas motornya menuju ke sekolah.

Langkah lebih berani diambil Aini. Upik 12 tahun itu sigap melaju di atas motor. Tapi, ketika sampai di tengah, motornya sempat oleng. Kakinya yang tak sempurna menapak ke dasar sungai berpasir membuat sandalnya terlepas. Hanyut.

Sempat panik, dia kembali tenang menyeimbangkan motor agar tak terguling. Beruntung, ada orang yang berlari dan menangkap sandalnya. ”Tadi sebenarnya sudah tak relakan. Tapi, untung kok diambil,” katanya, lantas tersenyum.

Selain berangkat sendiri, beberapa anak tampak diantar orang tua mereka. Sambil digendong melintasi sungai. ”Saya ini khawatir sekali, makanya selalu tak antar,” ucap Supriati setelah menggendong putra sulungnya, Arif.

Buyung berusia 9 tahun tersebut memang takut menyeberang sendirian. ”Pulang pun saya jemput,” kata perempuan 29 tahun itu.

Karena itu, Supriati selalu menghubungi guru kelas untuk menanyakan kapan putranya boleh dijemput pulang. Apalagi ketika cuaca mendung dan debit air Regoyo sedang naik serta berarus deras. Kondisi yang membuat orang tua dan siswa ketir-ketir.

Baca Juga :  Kalau Pasar Besar Itu Dimatikan, Bakal Hancur Karya-Karya Anak Bangsa

Terputusnya dam Sumberlangsep sebenarnya juga merepotkan warga Dusun Sumber Kajar. Sebab, kebun kopi dan cengkih mereka berada di perbukitan Sumberlangsep. Dam yang terputus otomatis mengganggu aktivitas mereka merawat dan menengok hasil kebun.

”Dusun Sumberlangsep dan Sumber Kajar itu saling membutuhkan,” kata Samsul, warga Sumber Kajar.

Praktis, sejak dam yang berusia 5 tahun itu jebol, warga kedua dusun kebingungan. Mereka bertambah cemas lantaran hingga kemarin tak ada kepastian dari Pemerintah Kabupaten Lumajang kapan dam atau jembatan baru dibangun.

”Kami berharap jembatan segera dibangun lagi. Kalau bisa lebih tinggi dari posisi semula,” ucap lelaki yang bekerja sebagai penambang pasir tersebut. Permintaan Samsul itu tak muluk. Sebab, jika dibangun dengan posisi semula, jembatan akan mudah jebol. Apalagi, kini Kali Regoyo makin cetek lantaran tebalnya endapan pasir dan batu akibat erupsi Semeru. Saat banjir lahar, ketinggian air sudah di atas dam.

Para guru di SDN Jugosari 03 pun memaklumi kondisi murid asal Sumberlangsep. Mereka memberikan kelonggaran bagi 33 siswa yang berasal dari sana.

Bahkan, kalau mendung dan hujan, guru cukup memberikan tugas agar siswa mengerjakan dari rumah. Tak perlu menempuh risiko berjibaku melewati sungai.

”Selama dua minggu ini, sudah tiga kali murid-murid kami asal Sumberlangsep belajar dari rumah,” ucap guru kelas VI, Naning Suprihatin.

Kalaupun sudah sampai di sekolah dan mendung tak kunjung pergi, anak-anak diminta pulang lebih awal. ”Semua demi keselamatan anak-anak,” katanya. (*/c19/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya